Desakan agar Partai NasDem dikeluarkan dari koalisi pemerintahan – usai mendeklarasikan dukungan untuk Anies Baswedan di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 – semakin deras. NasDem pun kembali mengungkit kesetiaan Ketua Umum (Ketum) Surya Paloh untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“‘Cause all of me loves all of you” – John Legend, “All of Me” (2013)
Dari sekian hal yang tidak dipahami oleh umat manusia – seperti bagaimana cara mengontrol dimensi waktu, cinta mungkin menjadi salah satunya. Sains bilang cinta merupakan efek dari hormon yang dihasilkan oleh otak kita. Namun, ada juga yang memaknainya lebih dari itu.
Beberapa dari kita bahkan memaknai cinta sebagai pengorbanan – melakukan segala hal demi memenangkan hati mereka yang kita cintai. Namun, ada juga yang tidak percaya pada cinta dengan melihatnya sebagai sebuah kebodohan manusia yang begitu keras berjuang untuk orang lain.
Namun, cinta tetaplah cinta – entah itu hanya reaksi kimia dalam tubuh kita atau lebih dari sekadar itu. Cinta eksis dan kadang membuat kita lupa siapa diri kita sendiri – hanya demi orang lain.
Mungkin, inilah yang tengah dirasakan oleh Ketua Umum (Ketum) Partai NasDem Surya Paloh kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Gimana nggak? Reaksi cinta inilah yang timbul setelah ada wacana agar Partai NasDem dikeluarkan dari koalisi pemerintahan Jokowi – setelah partai Paloh tersebut mendeklarasikan pencalonan untuk Anies Baswedan di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Melalui Ketua Pemenangan Pemilu DPP NasDem Effendy Choirie, NasDem mengingatkan bagaimana Paloh telah berjuang dan berkontribusi besar untuk Jokowi. Bahkan, seperti yang diketahui banyak orang, NasDem menjadi salah satu partai politik (parpol) pertama yang mendeklarasikan pencalonan Jokowi di Pilpres 2014 silam.
Boleh jadi, rasa cinta yang begitu besar itulah yang membuat Paloh dan NasDem rela berkorban untuk kesuksesan Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019 – layaknya lirik lagu John Legend yang berjudul “All of Me” (2013) yang dikutip di awal tulisan.
Memang sih, perjuangan dan pengorbanan itu berarti. Namun, dalam sebuah hubungan berdasarkan cinta, hal yang penting dan matters adalah masa depan.
Ketika apa yang ada di masa depan tidak lagi sejalan, apalah boleh buat? Kata “berpisah” kerap menjadi jawaban yang sudah hampir pasti akan terwujud – sekuat apapun kita menunda rasa sakit dan ketidakcocokan yang hadir di tengah-tengah hubungan.
Jangan sampai hubungan yang sudah tidak sejalan itu malah membuat luka yang lebih dalam di antara kedua belah pihak. Semakin lama ditunda, semakin terasa sakit perpisahan itu.
Kesetiaan yang sudah tidak terbentuk mutual ini pun berlaku dalam politik. Seperti penjelasan John H. Schaar dalam tulisannya “Political Loyalty” di Loyalty in America, kesetiaan dalam politik terbangun melalui campuran sentimen, pilihan, tradisi, dan alasan.
Bila alasan, sentimen, dan pilihan di antara keduanya udah nggak sejalan lagi, kesetiaan itu pun akan runtuh – entah cepat atau lambat. Jadi, bagaimana, Pak Jokowi dan Pak Paloh? Akankah kesetiaan kosong ini dipertahankan? Ataukah ini bakal menjadi toxic relationship ke depannya dalam menyongsong tahun 2024? (A43)