“Netizen kembali diramaikan soal kabar BBM Pertalite disebut-sebut hanya memiliki kadar oktan atau RON 86, padahal seharusnya RON 90. Meski Pertamina maupun Pemerintah Cq. Dirjen Migas sudah menjelaskan dan menyampaikan hasil pemeriksaan terhadap kualitas Pertalite ini. Namun nampaknya isu ini tidak mereda,” – Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meminta pemerintah ambil sikap terkait keluhan penurunan kualitas Pertalite. Sebab, kabar menurunnya kualitas Pertalite mendapat atensi yang cukup besar dari masyarakat.
Sebelumnya, tersiar informasi bahwa pasca-kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, masyarakat mengeluhkan dugaan adanya penurunan kualitas BBM jenis Pertalite.
Dilaporkan BBM jenis ini berubah warna menjadi lebih cerah, boros, dan akselerasinya lemah. Bahkan, dilaporkan adanya dugaan kualitas Pertalite lebih rendah dari Revvo-89 dari Vivo, BBM non-subsidi yang beroktan lebih rendah.
Merespons hal ini, Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan bahwa pengujian BBM harus dapat divalidasi dan alat yang digunakan haruslah yang sudah terkalibrasi.
Irto melanjutkan bahwa saat ini Lembaga Penelitian dan Pengembangan Industri Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) telah melakukan pengujian terhadap enam sampel Pertalite di SPBU wilayah Jakarta. Hasilnya, spek Pertalite masih sesuai dengan ketentuan.
Hmm, harusnya persoalan ini bisa dilihat dari perspektif yang lebih luas – bahwa ini bukan hanya masalah hubungan antara penyedia barang (pemerintah) dengan konsumen (masyarakat) – karena, jika hanya sebatas hubungan ekonomi seperti itu, maka akan berakhir dengan deadlock.
Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Abdul Hamid melihat fenomena BBM ini merupakan persoalan struktural yang terkesan memunculkan bias cara pandang yang berbeda.
Hamid mengandaikan perbedaan sudut pandang ini dengan istilah nalar pemerintah dan nalar publik. Sering kali, nalar pemerintah tidak mengakomodir nalar publik sehingga persoalan sulit ditemukan jalan keluarnya.
Persoalan Pertalite ini akan berakibat buruk jika dibiarkan berlarut-larut, sebab sangat mudah digunakan sebagai alat politik untuk mempertanyakan kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi).
By the way, soal alat kritik pemerintah, jadi nyambung sih kenapa isu Pertalite ini seolah sengaja didorong oleh PKS. Soalnya, kan, PKS bagian dari partai lingkar kekuasaan yang sedang beroposisi dengan pemerintah.
Tapi, muncul pertanyaan lain. Kenapa kok PKS terkesan menyerang pemerintah, berbeda dengan “calon kawan koalisi” laimnya yang saat ini lebih sering membangun narasi politik menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 seperti deklarasi capres maupun pertemuan antar-parpol.
Oh iya, gestur yang ditampilkan PKS ini juga jadi perbincangan loh. Sebagian orang menilai kalau PKS saat ini sudah berbeda dengan PKS sebelum sebagian mantan kadernya – seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah – mendirikan partai baru yaitu Partai Gelora.
Hmm, jangan-jangan PKS bicara RON Pertalite karena ada hubungannya dengan kadar PKS saat ini. Bisa jadi, PKS saat ini sudah bukan lagi PKS “RON 90”, mulai berkurang menjadi PKS “RON 86” karena udah beda spek-nya. Uppss. Hehehe. (I76)