HomeHeadlineDampingi Anies, Andika Kalahkan AHY?

Dampingi Anies, Andika Kalahkan AHY?

Jelang purna tugas, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa semakin santer disebut menjadi kandidat ideal calon wakil presiden (cawapres) pendamping Anies Baswedan. Itu secara tidak langsung agaknya menenggelamkan ambisi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang sebelumnya juga dikabarkan  akan menemani Anies. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Nama Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa kembali memanaskan bursa kandidat di pemilihan presiden (Pilpres) 2024 sebagai pendamping Anies Baswedan. Sayangnya, itu tampak akan menjadi buruk bagi Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Ya, elemen masyarakat yang menamakan diri sebagai relawan Anies-Andika For 2024 (AK24) mendeklarasikan dukungan agar Jenderal Andika menemani Anies yang sebelumnya telah diusung Partai NasDem sebagai calon presiden (capres).

Bukan tanpa alasan, selain dari segi kinerja selama berkarier di TNI, Andika juga akan purna tugas pada akhir tahun ini dan seolah jadi momentum tepat untuk melanjutkan pengabdian ke Istana.

Merespons hal itu, Jenderal Andika tak banyak berkomentar saat ditanya awak media setelah menghadiri pelantikan putrinya sebagai dokter di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu 12 Oktober kemarin. Dia menyatakan selama ini tidak ada komunikasi yang mengarah pada konteks tersebut dengan pihak manapun.

Secara profesional, Komandan Paspampres ke-21 itu menekankan dirinya ingin fokus menyelesaikan tugas sebagai Panglima TNI.

Akan tetapi, kabar sokongan sejumlah pihak agar Jenderal Andika menjadi cawapres Anies bisa jadi akan membuat harapan AHY bertepuk sebelah tangan.

cawapres anies andika kalahkan ahy rk ed.

Meskipun nama Ridwan Kamil (RK) juga muncul untuk mendampingi Anies, Andika dan AHY tampaknya lebih memiliki kans sebagai kombinasi sipil-militer yang ideal.

Kembali, selama ini AHY telah beberapa kali tersorot kamera wartawan beriringan langkah dengan Anies dalam sejumlah kesempatan. Selain ditafsirkan para analis politik tanah air sebagai gestur pendekatan dan membangun chemistry, AHY sendiri telah berharap agar komunikasinya dengan Anies bisa semakin intensif.

Sayangnya, respons elite politik dan presumsi sejauh ini lebih mengarah pada Jenderal Andika, bukan AHY. Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai NasDem Ahmad Ali menjelaskan nama Jenderal Andika memang masuk ke dalam bursa cawapres pendamping Anies.

Tak hanya Partai NasDem, calon partai politik pengusung Anies, PKS juga menyiratkan sambutan positif. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai duet Anies-Andika sebagai pasangan menarik serta dapat saling melengkapi.

Lantas, mengapa respons positif lebih mengarah pada Jenderal Andika dibanding AHY untuk mendampingi Anies?

AHY Punya “Dosa”?

Untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, melakukan komparasi berdasarkan “modal” yang dimiliki oleh Jenderal Andika dan AHY kiranya dapat dijadikan titik tolak pertama.

Sosiolog asal Prancis Pierre Bourdieu mendeskripsikan modal sebagai sekumpulan sumber kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar dapat diutilisasi. Artinya, istilah “modal” digunakan Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuatan dan kekuasaan dalam masyarakat.

Ada beberapa jenis modal yang dipaparkan Bourdieu dalam bukunya yang berjudul The Forms of Capital, salah satunya adalah yang menjadi pisau bedah komparasi Andika-AHY, yakni modal sosial.

Baca juga :  Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?
image 66

Dalam pemikirannya, modal sosial adalah properti individual yang bersumber dari status sosial seseorang. Modal sosial kemudian dapat dimanfaatkan untuk memperoleh kekuasaan atas sekumpulan orang atau individu yang menguasai sumber daya.

Bourdieu juga mengatakan bahwa modal sosial tidak tersedia secara alamiah bagi semua orang, dan hanya dapat diakses oleh mereka yang berusaha memperolehnya dengan mencapai posisi kekuasaan dan status dengan mengembangkan niat baik.

Modal sosial antara Andika dan AHY agaknya dapat dibandingkan berdasarkan impresi kinerja keduanya saat menjabat di militer. Dalam hal ini, secara kasat mata hasil akhir komparasi agaknya dapat dengan mudah dilihat saat mengacu pada pencapaian dan prestasi hingga pangkat terakhir masing-masing.

Selain persoalan usia, AHY yang tampak “terpaksa” pensiun dini dengan pangkat Mayor boleh jadi memang telah tertinggal dari Jenderal Andika sejak awal.

Secara kemampuan komunikasi publik, keduanya memang memiliki karakteristik yang hampir serupa, yakni memiliki keluwesan dan mengutamakan etika berbicara terbaik di hadapan insan pers.

Akan tetapi, pencapaian profesional Jenderal Andika di bidang keprajuritan lagi-lagi menjadi tolok ukur yang agaknya sulit untuk disamakan AHY.

Sebut saja keberanian Jenderal Andika menelurkan kebijakan progresif setelah memiliki empat bintang di pundaknya, seperti menghapus tes renang, menghapus tes keperawanan bagi calon prajurit perempuan, memperbolehkan keturunan PKI untuk mendaftar TNI, hingga mengubah syarat tinggi badan minimal calon taruna Akademi TNI.

Itu bahkan belum termasuk pengalaman komplit di aspek tempur, intelijen, teritorial, doktrin dan pendidikan, hingga memimpin pasukan tiga divisi saat menjabat Pangkostrad.

Terlebih, AHY langsung terjun ke dunia politik saat pensiun dini. Sebuah realitas yang membuat setiap manuvernya hampir pasti memantik tanggapan kontra saat Partai Demokrat yang dipimpinnya kerap mengkritik pemerintah di tengah koalisi parpol pemerintah yang begitu besar.

Atas rekam jejak tersebut, impresi pemilih kelak boleh jadi akan lebih positif menaungi Jenderal Andika dibandingkan AHY.

Keunggulan modal sosial Jenderal Andika itu pun dapat dikonversi menjadi modal politik sebagaimana dijelaskan Regina Birner dan Heidi Wittmer dalam Converting Social Capital into Political Capital. Persis seperti frasa “memperoleh kekuasaan” yang dikemukakan Bourdieu.

Selain itu, kiprah AHY di politik belakangan juga tercoreng dengan dua pernyataan kontroversial plus satu kasus rasuah yang menjerat kader Partai Demokrat.

Setelah menyebut pemerintahan saat ini hanya “menggunting pita” proyek infrastruktur karena sebagian besar telah dikerjakan sejak era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), AHY kembali memantik reaksi keras koalisi parpol penguasa saat menyebut kondisi masyarakat saat ini lebih sulit dibanding tahun 2004-2014 saat SBY dan Partai Demokrat berkuasa.

Kasus korupsi yang menjerat Lukas Enembe plus riwayat kasus rasuah lain di era pemerintahan sang ayah kiranya juga akan menjadikan AHY sasaran empuk rival politik di kontestasi elektoral 2024.

Baca juga :  Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Fr Amado Picardal dalam publikasi yang berjudul Corruption is a social sins menyebut korupsi sebagai sebuah dosa di hadapan khalayak, baik secara harfiah maupun secara sosial.

Oleh karena itu, memasangkan Anies dan AHY tampaknya lebih berisiko untuk dihujani sentimen minor dibandingkan memasangkan Anies dan Jenderal Andika.

Selain itu, duet Anies-Andika juga kiranya dapat memicu sokongan politik luar biasa jia mengacu karakteristik personal politik keduanya. Mengapa demikian?

image 65

“Boneka” Ideal Oligarki?

Meskipun eksistensinya seolah abstrak, oligarki yang terdiri dari para pemegang pengaruh ekonomi-politik kerap disebut dapat memengaruhi signifikan hasil akhir sebuah pilpres.

Pada edisi 2014, misalnya, Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy and Democracy in Indonesia, tanpa adanya oligarki, potensi Jokowi untuk menjadi kandidat capres tidak mungkin teraktualisasi.

Indonesianis lainnya, yakni Vedi Hadiz dan Richard Robison, juga menyebutkan bahwa Jokowi pada akhirnya bersekutu dengan berbagai kelompok oligarki kawakan era Orde Baru (Orba) agar dapat menang menjadi RI-1.

Karakteristik yang ditampilkan Jokowi itu dengan seolah “dikendalikan” dan berkompromi itu kerap disebut sebagai puppet leader atau pemimpin boneka. Dennis R. Young dalam tulisannya Puppet Leadership: An Essay in honor of Gabor Hegyesi, menjelaskan puppet leader memiliki dua elemen fundamental.

Pertama, terdapat penarik tali (string-pullers), yakni kelompok atau individu kuat yang mengontrol tindakan dan keputusan pemimpin tanpa dianggap melakukannya. Entitas itu kerap disebut sebagai oligarki.

Kedua, kandidat puppet leader bersedia untuk berkompromi di bawah kondisi politik sedemikian rupa jika nantinya terpilih.

Pada konteks wacana duet Anies-Andika yang notabene bukan kader parpol manapun, menjadikan keduanya kemungkinan tampak ideal bagi akomodasi dan kompromi berbagai kepentingan plus oligarki, serta karakteristik puppet leader.

Meski di atas kertas tidak diharapkan, itu kemudian yang membuat peluang Anies-Andika untuk memenangkan Pilpres 2024 tampak cukup positif.

Berbeda halnya apabila AHY mendampingi Anies. Dengan posisi sebagai ketum parpol yang selama ini berada di luar pemerintahan, AHY bisa saja dianggap kurang kooperatif dan cenderung akan mematok konsesi politik besar di pemerintahan andai kata menang.

Oleh karena itu, jalan tengah menjadi mastermind bersama Ketum Partai NasDem Surya Paloh untuk menyokong pasangan Anies-Andika kiranya akan lebih tepat bagi AHY.

Selain untuk menghindari sentimen minor dan memperbesar peluang kemenangan koalisi, AHY bisa saja ditarik ke pemerintahan sebagai menteri yang membidangi pertahanan sebelum meniti karier politik lebih tinggi di edisi 2029.

Kendati demikian, penjelasan di atas masih sebatas interpretasi berdasarkan variabel komprehensif kasat mata. Secara praktik, tentu politik akan berjalan sangat dinamis serta bisa saja menelurkan kejutan. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).