Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyebut dirinya hampir mustahil menjadi presiden ketika bertemu dengan Rocky Gerung. Sebagai double minoritas, yakni Batak dan Kristen, Luhut sadar peluangnya sangat kecil untuk menjadi RI-1. Lantas, apakah Presiden Indonesia harus orang Jawa? Atau ini hanya mitos yang telah lama dibangun?
Politisi senior PDIP Panda Nababan dalam bukunya Panda Nababan Lahir Sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi, Buku Kedua: Dalam Pusaran Kekuasaan, menceritakan kisah menarik soal Luhut Binsar Pandjaitan yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves).
Menurut Panda, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu, Luhut sebenarnya berkeinginan untuk menjadi cawapres Joko Widodo (Jokowi). Luhut pun membentuk Tim Bravo 5 pada 2013 untuk mengkampanyekan dirinya sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Saat itu, Luhut disebut telah menyiapkan uang tunai sebesar Rp200-300 miliar. Namun, jawaban Panda soal Luhut bukanlah seorang Muslim mengubah sikap eks-Dubes Singapura itu. Tim Bravo 5 yang berisi Akabri ’70 – angkatan Luhut – kemudian difokuskan untuk memenangkan Jokowi.
Cerita soal Luhut yang ingin maju di kompetisi pilpres kembali menjadi perbincangan akhir-akhir ini. Ketika bertemu dengan pengamat politik Rocky Gerung, Luhut mengaku hampir mustahil dirinya menjadi Presiden.
“Harus tahu diri juga lah kalau kau enggak orang Jawa,” ungkap Luhut pada 22 September 2022. “Saya double minoritas, udah Batak, Kristen lagi. Jadi, saya bilang sudah cukup itu. Ngapain saya nyakitin diri saya,” tambah sang Menko Marves.
Pengakuan Luhut bahwa dirinya bukan orang Jawa sehingga sulit menjadi presiden merupakan diskursus umum kita selama ini. Seolah ada aturan baku bahwa presiden Indonesia haruslah orang Jawa, ada ramalan Jayabaya, hingga akronim Notonegoro yang menasbihkan nama presiden Indonesia haruslah berakhiran “O”.
Lantas, seperti pernyataan Luhut, apakah Presiden Indonesia harus orang Jawa?
Kenapa Harus Jawa?
Ketika ditanya kenapa Presiden Indonesia harus Jawa, banyak pihak akan menyebutnya sebagai pertanyaan yang mudah. Tentu saja ini soal hitungan matematis sederhana. Sebanyak 154,34 juta (55,96 persen) dari 275,77 juta penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Kemudian, sebesar 40 persen dari penduduk Indonesia adalah etnis Jawa.
Menurut peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, dengan mengacu pada sistem one person-one vote, data itu menciptakan keyakinan bahwa menawarkan identitas Jawa adalah jalan termudah bagi pengusung untuk memenangkan kontestasi pilpres.
Senada dengan Fahmi, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah juga memberi penegasan serupa. Menurutnya, persepsi Presiden haruslah orang Jawa adalah keyakinan dari tim pengusung.
“Ini sebenarnya adalah primordialisme sebagian masyarakat Jawa, jadi bukan secara keseluruhan. Lalu, primordialisme itu juga ada di elite-elite politik,” ungkap Trubus pada 11 Oktober 2022.
Lanjut Trubus, akar dari primordialisme itu adalah etnosentrisme, yakni pandangan yang menganggap kebudayaan yang dimilikinya lebih baik dari budaya lainnya. Ini adalah persepsi superioritas etnis sehingga timbul keinginan kebudayaan atau etnisnya yang harus menjadi pemimpin.
Dengan kata lain, dapat dikatakan, pandangan bahwa Presiden Indonesia harus orang Jawa, bukanlah sebuah kausalitas, melainkan keyakinan yang tampaknya terus diproduksi demi kepentingan politis.
Meminjam penjelasan Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable, kesimpulan yang keliru itu disebut dengan narrative fallacy atau kesesatan narasi. Ini adalah tendensi psikologis yang membuat kita membuat tafsiran berlebihan berdasarkan preferensi yang kita miliki.
Dengan kata lain, keyakinan tim pengusung dan elite politik yang menilai Presiden haruslah orang Jawa adalah sebuah narrative fallacy. Karena mungkin kebetulan mereka adalah orang Jawa, dan statistik menunjukkan dominasi Jawa, mereka kemudian terjebak dalam narrative fallacy.
Dalam penjelasan yang lebih spesifik, Taleb menyebutnya dengan arrow of relationship – kita dapat menerjemahkannya dengan panah relasi. Terang Taleb, arrow of relationship adalah kekeliruan bernalar yang terjadi ketika kita keliru dalam melihat rangkaian fakta sehingga memaksakannya menjadi sebuah keterkaitan logis.
Lantas, jika keyakinan Presiden harus orang Jawa sudah tertanam luas dan eksis sejak lama, mungkinkah keyakinan itu didobrak?
Mendobrak Mitos
Secara cukup meyakinkan, kita dapat mengatakan jawabannya adalah “iya”. Sebagai pembuktian, kita dapat memulai dari buku Kaum Demokrat Kritis: Analisis Perilaku Pemilih Indonesia sejak Demokratisasi yang ditulis oleh Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi.
Menurut Mujani, Liddle, dan Ambardi, meskipun memainkan peran signifikan dalam pemilihan legislatif (pileg), faktor etnisitas pada pemilihan presiden justru tidak berdampak signifikan – setidaknya tidak konsisten terjadi.
Pada Pilpres 2004, misalnya, Hamzah Haz yang bukan merupakan etnis Jawa justru tidak mendapatkan suara signifikan dari pemilih non-Jawa. Suara-suara etnis Jawa dan etnis lainnya justru tersebar secara proporsional kepada semua calon.
Pun demikian pada Pilpres 2009, sama dengan kasus Hamzah Haz, Jusuf Kalla (JK) juga gagal menyerap suara maksimal dari pemilih non-Jawa.
Temuan Mujani, Liddle, dan Ambardi dalam buku Kaum Demokrat Kritis memberikan satu tumpuan penting yang sepertinya masih sedikit dipahami oleh berbagai aktor politik.
Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya pemilih Indonesia menjadi pemilih rasional dan kritis, pemilih tidak lagi terjebak pada sentimen kedaerahan, melainkan kepada calon yang paling mampu merepresentasikan dirinya sebagai harapan masyarakat.
Simpulan itu diperkuat dengan temuan menarik yang membantah argumentasi bahwa “keikutsertaan dalam pileg dan pilpres berbanding lurus dengan tingkat sosio-ekonomi”. Pada awalnya, karena mayoritas aktivitas ekonomi berpusat di Pulau Jawa, keikutsertaan pemilih di Jawa dinilai lebih tinggi dari luar Jawa.
Namun, dalam berbagai temuan, keikutsertaan dalam pileg dan pilpres justru lebih tinggi dari kelompok sosio-ekonomi rendah, yang kebanyakan dari luar Pulau Jawa. Menurut Mujani, Liddle, dan Ambardi, mobilisasi massa menggunakan politik uang lebih mudah dilakukan di masyarakat luar Jawa yang memiliki tingkat sosio-ekonomi yang lebih rendah.
Sejalan dengan itu, M. Arief Virgy dalam tulisannya Perburuan Rente Hantui Pilkada?, juga menyebutkan bahwa alasan dipandang lumrahnya politik uang oleh masyarakat, adalah karena masyarakat masih berkutat pada masalah ekonomi. Terjadi ketimpangan akses dan kesejahteraan yang luar biasa.
Nah, dengan kata lain, untuk mendobrak mitos Presiden haruslah orang Jawa, strategi yang harus dilakukan adalah menciptakan persepsi bahwa sang calon adalah harapan terbesar masyarakat, khususnya kelompok marjinal yang selama ini merasa tidak dilihat oleh negara.
Menariknya, strategi itu sebenarnya adalah rumus universal. Donald Miller dalam bukunya Building A Story Brand menyebut kata kunci dari suksesnya citra adalah kemampuannya dalam mengetuk insting terdalam psikologi manusia, yakni insting bertahan hidup.
“All great stories are about survival – either physical, emotional, relational, or spiritual,” tulis Miller. Menurutnya, kesalahan utama dan terbesar dari citra yang gagal adalah karena tidak fokus membantu masyarakat untuk bertahan hidup dan berkembang (survive and thrive).
Bukti simpulan itu dapat kita lihat pada Pilpres 2019. Jika faktor etnis lebih menentukan, bukankah seharusnya Prabowo Subianto yang cawapresnya bukan orang Jawa, yakni Sandiaga Uno, lebih unggul dari Jokowi di Indonesia timur?
Di Papua, misalnya, Jokowi-Ma’ruf Amin menang telak dengan 90,12 persen suara. Pun demikian di Nusa Tenggara Timur (NTT), kemenangan signifikan juga diperoleh. Dengan meraih 2.368.982 suara, Jokowi-Ma’ruf jauh meninggalkan Prabowo-Sandi yang hanya memperoleh 305.587 suara.
Besarnya dukungan itu jelas berkorelasi dengan kebijakan Jokowi yang membangun berbagai infrastruktur di Indonesia timur, seperti jalan layang tol di Papua. Dukungan besar masyarakat NTT dan Papua bukan karena Jokowi memiliki kesamaan etnis dengan mereka, melainkan karena Jokowi dinilai sebagai sosok yang dapat memberikan mereka harapan.
Dengan demikian, secara cukup meyakinkan, kita dapat mengatakan bahwa persepsi Presiden Indonesia haruslah orang Jawa mungkin adalah sebuah mitos semata.
Sebagai penutup, kata kunci untuk mendobrak mitos Presiden harus orang Jawa adalah menghadirkan diri sebagai harapan nyata bagi masyarakat, khususnya kelompok marjinal.
Jika persepsi itu dapat dibangun dengan kuat, siapa pun itu, sekalipun itu Luhut Binsar Pandjaitan yang merupakan orang Batak Kristen, ia dapat dipilih sebagai Presiden jika dipandang sebagai harapan terbesar untuk meningkatkan sosio-ekonomi masyarakat. (R53)