Masih mengalungi tanda pengenal (ID Pers), Ricky Prayoga alias Yoga, wartawan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara, diseret oleh sejumlah aparat kepolisian saat meliput kejuaraan bulu tangkis Indonesia Terbuka di Jakarta Convention Center (JCC) Minggu (18/06) kemarin.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]K[/dropcap]ejadian berawal saat Yoga hendak mengambil uang di mesin anjungan tunai mandiri (ATM) terdekat di JCC. Ketika mengantre, ia berdiri di belakang SPG perempuan. Beberapa oknum Brimbob terlihat sedang duduk disana. “Tadinya mau antre, tapi tidak jadi. Terus ada anggota yang duduk melihat ke arah SPG, kemudian melihat saya. Saya diam saja, namun anggota itu mendekat dan menanyai saya,” terang Yoga.
Ia sempat mengira ada yang salah dengan penampilannya, lalu bertanya kepada oknum polisi berinisial A tersebut, “ada apa mas? Apa ada yang salah dengan penampilan saya?” tanyanya saat itu. Tanpa diduga, bukan jawaban yang diterima, Yoga malah disemprot dan dituduh menantang aparat, “Apa kau? Ada undang-undangnya jangan melihat? Pu**mai kau! Kalau tidak mau dilihat jangan jadi manusia,” gertaknya.
Melihat ada pertikaian, tiga anggota Brimob lainnya datang dan turut menyudutkan Yoga. Mereka bahkan melakukan kekerasan dengan memiting tangannya dan berusaha membantingnya ke lantai. Selanjutnya, pewarta berbaju merah dan masih memakai identitas wartawan tersebut digiring layaknya maling oleh para oknum polisi berseragam hitam. Ia memberontak, hingga diancam oleh polisi berinisial A, “Kau nantang–nantang petugas, kukokang (tembak) juga kau,” ancamnya sambil mengacungkan laras panjang ke arah Yoga. Kejadian tersebut berlangsung tepat di hadapan wartawan lain.
Peristiwa tersebut terekam dalam kamera wartawan lain dan oleh Yoga disebarkan melalui sosial media. Ancaman petugas polisi tak berhenti sampai di sana, ketika salah seorang panitia berusaha mendamaikan, oknum A menghardik, “sikap lu nantangin bro. Ayo kita selesaikan di luar, lu lepas ID lo dan gue lepas seragam.” Keadaan mulai tenang saat Brimob senior, Dwi, memediasi. Oknum polisi A menjabat tangannya lantas pergi tanpa mengatakan apapun.
Salah satu anggota Brimob yang berada di lokasi berkata, jika Yoga sempat menantangnya berkelahi dan mengeluarkan kata-kata bernada intimidasi. Sementara saat itu, Kepala Divisi Pemberitaan Umum LKBN ANTARA, Erafzon Saptiyuda, sudah melayangkan surat protes kepada pimpinan Polri atas aksi kekerasan oknum Brimob terhadap pekerja jurnalistik tersebut. “Kita tidak terima diperlakukan seperti itu,” tandasnya.
Pihak Mabes Polri juga telah memberikan atensi terhadap peristiwa beberapa oknum Brimob yang menginitmidasi jurnalis LKBN Antara. “Ya, diatensi (informasi) diteruskan ke Brimob,” kata Kepala Biro Penerangan Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Polisi Rikwanto saat dikonfrmasi Minggu malam lalu.
Polisi Mendominasi Kekerasan Terhadap Wartawan
Kekerasan yang dialami Yoga sebagai seorang jurnalis tak hanya kali ini saja terjadi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), bahkan mencatat tiap tahunnya kasus kekerasan terhadap jurnalis terus meningkat tiap tahun. Pada 2015 lalu, AJI mencatat ada 43 kasus kekerasan.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta memiliki catatan senada namun dengan jumlah yang berbeda. Menurut pihak mereka, ada 47 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi. Posisi polisi sebagai pelaku terbanyak yang kerap melakukan kekerasan terhadap jurnalis berjumlah 17 kasus, yakni sembilan kasus kekerasan fisik, sisanya kasus kekerasan non-fisik. Dengan demikian, institusi kepolisian dan polisi masih menempati urutan pertama dalam melakukan kekerasan, “ini membuktikan pada kita bahwa aparat kepolisisan belum belajar dari kesalahan,” tutur Asep Komarudin dari LBH Jakarta.
Lebih jauh, Asep menyebut jika praktek kekerasan kepada jurnalis yang dilakukan oknum polisi, terus terjadi karena adanya praktik impunitas. Kondisi tersebut membuat para pelaku kekerasan tak diproses sebagaimana mestinya, sehingga kekerasan terus berulang. “Para personelnya terus terlibat di berbagai kasus kekerasan dan terus menjalankan praktik impunitas yang membuat para pelaku bebas dari pertanggungjawaban hukum,” ujar Iman D. Nugroho, ketua bidang advokasi AJI Indonesia.
Polisi yang seharusnya berperan sebagai aktor pelindung bagi kebebasan pers, kini seakan berbalik arah menjadi “penghambat kebebasan pers”, hingga melanggar hak atas informasi masyarakat. AJI Indonesia lebih jauh menyebut, “polisi menjadi musuh utama kebebasan pers 2017”.
Tindakan kekerasan yang dilakukan institusi maupun personel kepolisian tentunya melanggar dasar hukum yang diatur dalam pasal 18 Undang-Undang 40 tahun 1999 tentang Pers, yaitu Penghalang-halangan peliputan berbunyi, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menhalangi kerja pers dipidana dengan pidana penjara paling dua tahun atau denda paling banyak Rp. 500 juta.”
Alasan apapun sama sekali tak bisa membenarkan tindakan kekerasan terhadap jurnalis. Jurnalis layak mendapatkan jaminan hukum untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Sesuai UU, bahkan yang berusaha menghalangi atau menghambat kerja seharusnya terancam pidana. Jurnalis juga mempunyai kewajiban untuk memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah, seperti yang diamanatkan dalam undang-undang.
Perlu Intervensi Pemerintah
“Kebebasan pers di indonesia adalah omong kosong.” Sonny Misdianto, adalah salah satu wartawan yang mengalami penganiayaan oleh tentara berseragam lengkap dari TNI AD 501 Raider Madiun. Ia mengalami perjalanan berliku akibat penganiayaan yang dialaminya. Ancaman bertubi-tubi datang padanya dan keluarga di tanah kelahirannya, hingga ia disodori sejumlah uang untuk menutup kasus. Semua ditolak dan ditepisnya.
Apa yang diucapkan Masdianto, sangat kontras dengan pernyataan Presiden Jokowi pada peringatan hari pers bulan Mei lalu. Pada perayaan Hari Kebebasan Pers Dunia, Jokowi menyebut, “Indonesia adalah rumah dari jurnalisme paling bebas dan paling bergarah di seluruh dunia.”
Namun hingga kini, potret buram dunia pers Indonesia semakin bertambah dan meyakinkan keabsenan pemerintah dalam memperbaiki kebebasan pers. Asep Komaruddin dari LBH Jakarta bahkan tak melihat adanya itikad baik Jokowi dan jajarannya untuk memperbaiki keamanan dan kebebasan pers di Indonesia.
LBH Jakarta mencatat hal yang wajib dilakukan pemerintah antara lain adalah, melakukan pembenahan pendidikan terhadap aparat kepolisian dengan memasukkan prinsip kebebasan pers dan kebebasan berpendapat dalam kurikulum pendidikan, memperbaiki peradilan internal Polri terhadap pelaku kekerasan terhadap pers serta menyelesaikan kasus pembunuhan terhadap wartawan.
Hal tersebut dilakukan, untuk mencapai kemajuan, “mampu membedakan hate speech, pencemaran, dan penghinaan serta kritik terhadap penyelenggaraan bernegara,” tandas LBH Jakarta (Berbagai Sumber/A27)