HomeNalar PolitikGanjar Presiden, Tiongkok-Rusia Diuntungkan?

Ganjar Presiden, Tiongkok-Rusia Diuntungkan?

Menurut politisi Partai NasDem Zulfan Lindan, Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo dapat menguntungkan Tiongkok-Rusia apabila menjadi Presiden RI. Mungkinkah pernyataan itu adalah sebuah kesesatan bernalar?


PinterPolitik.com

Terdapat berbagai variabel yang digunakan untuk menentukan potensi kemenangan kandidat di Pilpres 2024. Dalam literasi politik, variabel-variabel itu disebut sebagai political capital atau modal politik. Dalam tulisannya Defining Political Capital, Kimberly L. Casey menekankan modal politik adalah konsep penting untuk memahami pertukaran dan hubungan politik. 

Konsep ini adalah metafora yang digunakan untuk menggambarkan gabungan berbagai modal yang membuat politisi memiliki daya tawar. 

Mengutip teori interconvertibility dari Pierre Bourdieu, Casey memetakan berbagai jenis modal yang dapat menjadi modal politik, yakni modal institusional, modal sumber daya manusia, modal sosial, modal ekonomi, modal kultural, modal simbolik, dan modal moral.

Meskipun dapat dipetakan menjadi tujuh jenis, Casey menegaskan pada dasarnya tidak ada modal politik yang baku. Artinya, besar tidaknya daya tawar suatu modal tergantung atas pasar politik atau modal apa yang tengah dibutuhkan.

Jika berbicara pilpres, setidaknya terdapat lima modal utama yang menentukan. Modal ekonomi, modal partai politik, modal elektabilitas, modal popularitas, dan modal koneksi internasional. 

Terkait yang terakhir, modal ini tengah menjadi diskursus hangat setelah politisi Partai NasDem Zulfan Lindan menyebut nama-nama spesifik yang berpotensi menguntungkan negara tertentu jika menjadi Presiden RI.

Dari sekian nama yang disebutkan Zulfan, yang paling menarik adalah Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo. Menurutnya, Ganjar adalah kandidat capres yang berpotensi menguntungkan Tiongkok dan Rusia.  

Sedikit memberi konteks, dalam pemaparannya Zulfan menyinggung tiga negara yang saat ini menjadi aktor utama di panggung politik internasional, yakni Amerika Serikat (AS), Tiongkok, dan Rusia. 

Dengan kata lain, jika Ganjar lebih menguntungkan Tiongkok dan Rusia, maka secara logis dapat dikatakan AS berada di belakang kedua negara itu.

Pertanyaannya, tepatkah analisis Zulfan tersebut? Lalu, yang terpenting, apakah Ganjar memiliki pengaruh politik sebesar itu?

ganjar tak diundang pdip lagi

AS Masih Nomor Satu

Untuk menguji sahih tidaknya simpulan Zulfan, kita dapat menggunakan studi ilmu logika, khususnya logika simbolik (symbolic logic). Pertama-tama, kita akan mengkonversi alur penalaran Zulfan yang membuatnya menyimpulkan Ganjar dapat menguntungkan Tiongkok dan Rusia.

Baca juga :  “Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Berikut adalah konversinya dalam bentuk silogisme hipotesis (hypothetical syllogism):

Premis 1:   P -> Q    (Jika Ganjar lebih menguntungkan Tiongkok-Rusia, maka AS kurang diuntungkan)

Premis 2:   Q -> R    (Jika AS kurang diuntungkan, maka Ganjar memiliki pengaruh politik yang sangat besar)

Konklusi:   ჻ P -> R  (Kesimpulan, jika Ganjar lebih menguntungkan Tiongkok-Rusia, maka Ganjar memiliki pengaruh politik yang sangat besar)

Konklusi dalam silogisme hipotesis tersebut bertolak pada satu fakta empiris, yakni AS masih menjadi kekuatan paling dominan saat ini. Meminjam istilah filsuf politik Antonio Gramsci, AS adalah negara yang menyandang predikat sebagai hegemon.

Setidaknya ada dua variabel kunci untuk membuktikannya. 

Pertama, AS masih mendominasi perekonomian global. Pada 2021, agregat ekonomi AS dari ekonomi dunia sebesar 23,93 persen. Tiongkok di posisi dua dengan 18,45 persen, dan Rusia di posisi sebelas dengan 7,96 persen.

Kenneth Rapoza dalam tulisannya China Is Nowhere Near Replacing the Dollar di Forbes juga mempertegasnya melalui paparan data sebaran mata uang dalam ekonomi dunia. 

Pada 2018, dolar AS mengambil porsi yang luar biasa besar dengan 84,6 persen. Yuan Tiongkok yang digadang-gadang akan menggantikan dolar AS ternyata hanya mengambil porsi sebesar 1,5 persen.

Pun demikian dalam special drawing rights (SDR) International Monetary Fund (IMF), dolar AS masih menjadi mata uang yang paling banyak proporsinya dengan 41,7 persen. Yuan Tiongkok masih jauh di belakang dengan kisaran 10 persen.

Kedua, dari segi kekuatan militer, AS masih tidak terkalahkan. Anthony H. Cordesman dalam penelitiannya Ranking the World’s Major Powers: A Graphic Comparison of the United States, Russia, China, and Other Selected Countries, menunjukkan pengeluaran militer AS jauh di atas Tiongkok dan Rusia. 

Mengutip data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), pada 2021 AS masih di peringkat satu dengan pengeluaran sebesar USD801 miliar. Tiongkok di peringkat dua dengan USD289 miliar, dan Rusia di peringkat lima dengan USD65,9 miliar. 

Pada 2017-2021, ekspor alutsista AS dalam perdagangan global lagi-lagi di posisi pertama dengan 39 persen. Rusia di posisi kedua dengan 19 persen, sedangkan Tiongkok hanya 4,6 persen.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Singkatnya, dengan dominasi kuat AS di dua alat penekan utama, yakni ekonomi dan militer, Ganjar mestilah memiliki pengaruh, daya tawar (bargain), dan kemampuan diplomasi politik yang luar biasa hebat sehingga mampu menempatkan kepentingan Paman Sam di belakang kepentingan Tiongkok dan Rusia.

Sekarang pertanyaannya, apakah Ganjar memiliki pengaruh politik sebesar itu?

ganjar kandas pindah ke prabowoed.

False Equivalence?

Sayangnya, suka atau tidak, Ganjar tidak memiliki pengaruh politik sebesar itu. Ada satu pembuktian sederhana atas ini. Jangankan memiliki pengaruh politik internasional yang besar, pada level domestik saja pengaruh politik Ganjar kalah kuat dari Puan Maharani di PDIP.

Seperti yang terlihat saat ini, kesempatan Ganjar untuk maju sebagai capres dapat dipastikan kandas apabila masih di PDIP. Ini yang membuat politisi Partai NasDem Zulfan Lindan menantang keberanian Ganjar untuk keluar dari partai banteng jika ingin maju sebagai capres di Pilpres 2024.

Ketua Ganjar Pranowo Mania (GP Mania) Immanuel Ebenezer bahkan sudah menyiapkan opsi jika Ganjar gagal maju di Pilpres 2024 dengan mendukung Prabowo Subianto. 

Melihat kasus Presiden Soekarno yang mampu bermadu kasih dengan Rusia sembari menekan AS, syarat mutlak yang harus dimiliki adalah pengaruh yang begitu kuat terlebih dahulu di level domestik. Saking kuatnya pengaruh Soekarno, Bapak Proklamator ini bahkan sempat dinobatkan sebagai “Presiden seumur hidup”.

Dengan demikian, melihat pada fakta-fakta politik yang ada, sekiranya cukup meyakinkan untuk mengatakan Zulfan Lindan telah terjebak pada false equivalence. Ini adalah kesesatan bernalar (fallacy) yang terjadi ketika suatu komparasi keliru dilakukan.

Berbeda jauh dengan sosok besar Soekarno, sang Gubernur Jawa Tengah dapat dikatakan hanya kader partai biasa. Jangankan dengan Soekarno, membandingkan Ganjar dengan Prabowo Subianto dan Puan Maharani secara pengaruh politik bahkan dapat dikatakan tidak apple to apple.

Prabowo memiliki kendali atas Partai Gerindra. Sementara Puan, posisinya sebagai Ketua DPP PDIP dan putri dari Megawati Soekarnoputri membuatnya begitu berpengaruh di partai benteng.

Pada akhirnya, sebagai penutup, kita dapat mengatakan kesimpulan Zulfan bahwa Ganjar akan lebih menguntungkan Tiongkok dan Rusia tidak dapat dibenarkan secara logis dan empiris. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...