Drone militer lokal Elang Hitam yang sempat jadi proyeksi andalan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto baru saja dialihkan ke penggunaan sipil oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Lalu, mungkinkah ada peran kepentingan tertentu di balik gagalnya proyek pertahanan ini?
Impian Indonesia, mungkin termasuk Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, untuk memiliki drone militer/kombatan buatan lokal pupus. Itu setelah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) secara resmi mengumumkan pengalihan drone militer Elang Hitam ke penggunaan sipil.
Padahal, Prabowo telah mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada awal 2020 silam untuk melihat secara langsung prototipe Elang Hitam yang kala itu risetnya masih di bawah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Saat itu, di depan Presiden Jokowi dan Prabowo, Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan langkah percepatan pengembangan drone lokal akan dilakukan untuk mewujudkan kepemilikan Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) dengan spesifikasi tempur atau Unmanned Combat Aerial Vehicle (UCAV) bagi pertahanan Indonesia.
Bahkan, rencananya, jangka waktu pengembangan drone tempur Elang Hitam dipercepat dari sebelumnya rampung pada tahun 2024, menjadi tahun 2022.
Sebelumnya, Elang Hitam diproyeksikan bisa bersaing dengan drone kombatan lain seperti MQ-9 Reaper buatan Amerika Serikat (AS), CH-4 Rainbow buatan Tiongkok, hingga Bayraktar TB2 buatan Turki yang populer di konflik Rusia-Ukraina.
Singkat cerita, setelah BPPT diintegrasi ke BRIN, pengembangan Elang Hitam seolah melambat. Konsorsium yang terlibat dalam drone Elang Hitam sendiri memang sejak awal telah melibatkan keterlibatan instansi yang begitu gemuk.
Mulai dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan), TNI AU, PT Dirgantara Indonesia (PTDI), PT Len Industri, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta Institut Teknologi Bandung (ITB).
Diketahui, pengalihan peruntukan Elang Hitam dari drone kombatan ke penggunaan sipil terjadi setelah evaluasi dan audit mendalam.
Pasca kegagalan uji terbang pada Desember 2021 silam, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengatakan keputusan pengalihan itu terpaksa dilakukan.
Selain itu, Laksana menyebut terdapat berbagai masalah teknis lain terkait mitra pemilik teknologi kunci Elang Hitam dalam peruntukannya sebagai drone tempur.
Jika dikritisi lebih dalam dan selain alasan yang dikemukakan Laksana, mengapa pengembangan drone tempur Elang Hitam terkesan gagal?
Kita Tidak Punya Uang?
Dalam debat calon presiden (capres) 2019, Prabowo Subianto yang kini menjabat Menhan pernah berujar satu frasa menarik terkait pertahanan.
“Saya menilai pertahanan Indonesia terlalu lemah, jauh dari yang diharapkan. Kenapa? Karena kita tidak punya uang,” begitu kata Prabowo dalam debat keempat Pilpres 2019 yang diselenggarakan di Hotel Shangri-La, Jakarta, pada 30 Maret 2019 silam.
“Karena kita tidak punya uang” kemudian viral karena dijadikan parodi oleh netizen dalam berbagai hal.
Sayangnya, frasa itu juga diduga menjadi biang keladi mandeknya pengembangan Elang Hitam. BRIN yang ditunjuk sebagai wadah konsorsium dan ujung tombak riset drone kombatan itu tampak begitu keteteran setelah target percepatan proyek dimajukan.
Masalah anggaran riset lantas ditengarai menjadi salah satu faktornya. Secara umum, alokasi dana untuk riset lintas disiplin di Indonesia sendiri masih terbilang sangat kecil.
Itu bahkan pernah disinggung Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin pada Oktober 2020 lalu mengakui bahwa anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk pengembangan riset hanya sebesar 0,3 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB).
Sebagai perbandingan, berdasarkan data 2018 saja, negara-negara Asia yang kuat dalam riset dan inovasi seperti Korea Selatan dan Jepang mengalokasikan anggaran 4,3 persen dan 3,5 persen dari PDB mereka untuk kebutuhan tersebut.
Sedangkan negara tetangga terdekat Indonesia, seperti Singapura dan Malaysia, juga memiliki alokasi anggaran yang cukup besar, yaitu masing-masing sebesar 2,6 persen dan 1,3 persen dari PDB mereka.
Khusus untuk anggaran pengembangan drone Elang Hitam PinterPolitik menemukan angka Rp300 miliar yang dibocorkan oleh LAPAN sebelum melebur dengan BRIN.
Sayangnya, peleburan sejumlah konsorsium ke dalam BRIN juga disebut menjadi penghambat. Impresi tumpang tindih dan proporsionalitas anggaran muncul ke permukaan sebagai isu utama penyebab terhambatnya riset dan pengembangan Elang Hitam.
Keputusan pemerintah yang menggabungkan beberapa instansi dalam konsorsium pengembangan Elang Hitam ke dalam BRIN ditengarai membuat proyek itu menjadi jalan di tempat.
Kepala BRIN bahkan terkesan tidak mendukung proyek tersebut dengan alasan ketiadaan dana.
Eksistensi BRIN sejak awal memang menuai tanggapan kritis. Aspek riset ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dianggap beririsan dengan kepentingan politik ketika jajaran atas BRIN diisi oleh sejumlah elite penguasa seperti Megawati Soekarnoputri.
Padahal, Antoni Putra, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dalam artikelnya Urgensi Mewujudkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan bahwa BRIN diharapkan dapat menyelesaikan masalah pembuangan anggaran dan sulit berkembangnya riset di Indonesia.
Masih terkait dengan anggaran, faktor kedua yang kiranya menjadi musabab pengalihan fungsi Elang Hitam ialah mengenai oportunisme kebijakan pemerintah.
Hal itu agaknya dapat tercermin dari telaah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG) terhadap disertasi Hasto Kristiyanto berjudul Diskursus Pemikiran Geopolitik Soekarno dan Relevansinya terhadap Pertahanan Negara.
BG menilai Indonesia masih gamang dalam menghadapi perkembangan geopolitik karena tidak memiliki panduan dan pembelajaran yang berpihak kepada kepentingan nasional.
Perspektif itu turut menyiratkan tendensi pragmatis dan oportunis, termasuk kiranya dalam merumuskan kebijakan pertahanan.
Dengan biaya riset dan pengembangan Elang Hitam yang cenderung tentatif, opsi mengimpor drone militer/kombatan kemungkinan lebih logis bagi para stakeholder tanah air.
Bersamaan dengan gelagat terhambatnya pengembangan Elang Hitam, Indonesia santer disebut akan mengimpor drone militer asal Turki Bayraktar TB2.
Dalam sebuah seminar di kanal YouTube Pussenkav, Direktur Doktrin Angkatan Darat Brigjen TNI Agustinus Purboyo mengungkapkan bahwa Bayraktar TB2 mulai masuk ke dalam proses kontrak.
Bahkan, sebelum viral di konflik Rusia-Ukraina, drone Bayraktar ternyata telah diincar oleh Indonesia. Itu dikemukakan oleh Duta Besar Indonesia untuk Turki Dr. Lalu Muhammad Iqbal yang juga berharap agar ada transfer teknologi bersamaan dengan transaksi alutsista itu.
Kendati demikian, terdapat satu faktor menarik lain yang kiranya ikut menggagalkan Elang Hitam menjadi drone kombatan buatan lokal, apakah itu?
Mafia Tembak Elang Hitam?
Di balik pengadaan alutsista impor di sebuah negara, tidak jarang peluang vested interest atau kelompok dengan kepentingan personal yang berwujud pihak ketiga turut serta. Biasanya, mereka memanfaatkan celah regulasi maupun mekanisme panjang dari sebuah proyek pertahanan.
Di Indonesia sendiri, proses pengadaan alutsista membutuhkan proses yang tidak sederhana. Mulai dari tahap usulan kebutuhan, dinamika di DPR, hingga alokasi anggaran kemungkinan memeberikan ruang bagi para vested interest.
Menurut salah satu sumber yang diperoleh Penelitian dan Pengembangan PinterPolitik (Litbang PinterPolitik), dalam perundingan-perundingan ini tidak jarang ada beberapa kepentingan aktor-aktor domestik maupun asing yang ikut masuk.
Tentu publik masih ingat saat pemerhati militer dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie yang menyebut ada mafia berinisial M yang bermain dalam pengadaan alutsista di Indonesia.
Dugaan eksistensi mafia bisnis dalam sistem pertahanan nasional disebut memperburuk berbagai persoalan alat utama sistem pertahanan atau alutsista TNI, yang mungkin mencakup pula upaya pengembangan alutsista lokal seperti Elang Hitam.
Selain itu, jika diperhatikan, terdapat tren “diskriminasi” dan “pelabelan” saat alutsista lokal negara tertentu menantang pasar alutsista yang telah ada selama ini. Bahkan, ketika masih dalam tahap pengembangan.
Sebut saja tudingan miring terhadap alutsista buatan Rusia, Iran, hingga Tiongkok. Kendaraan kavaleri, jet tempur, rudal balistik dari ketiga negara itu tidak jarang mendapat label negatif yang mana objektivitas penilaiannya kerap diragukan.
Elang Hitam pun tampak demikian. Media bernama Defense Security Asia, misalnya, menilai drone tempur buatan anak bangsa itu dinilai tidak memiliki kemampuan militer.
Pelabelan itu seolah menjadi variabel justifikasi pendukung bagi para stakeholder pengembang Elang Hitam tanah air untuk tidak melanjutkan riset lebih lanjut.
Opsi alternatif untuk mengimpor drone militer seperti Bayraktar TB2, Akinci, hingga CH-4 Rainbow asal Tiongkok lantas tampak mengiringi pelabelan minor itu.
Oleh karena itu, pengembangan riset di bidang militer kiranya diharapkan tidak memberikan kesan mudah putus asa. Dukungan regulasi dan alokasi pendanaan juga tentu diinginkan demi terwujudnya pengembangan alutsista lokal yang mumpuni. (J61)