HomeHeadlineHantam PDIP, Jenderal Dudung Auto Panglima?

Hantam PDIP, Jenderal Dudung Auto Panglima?

“Perlawanan balik” Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman kepada politisi PDIP Effendi Simbolon agaknya mengindikasikan bahwa partai banteng mengalami semacam ilusi kendali terhadap militer. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

“Do not think you command your way through like a Roman Emperor,” -Rolf Dobelli, The Art of Thinking Clearly

PDIP kemungkinan merasa tersentak saat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman mengkritik balik politikus PDIP Effendi Simbolon atas pernyataan “TNI seperti gerombolan”.

Jenderal Dudung tampak begitu emosional dan terdokumentasikan dalam sebuah video conference saat melakukan rapat dengan jajaran TNI-AD. Mantan Pangdam Jaya itu seolah mengungkapkan kegusaran hatinya atas pernyataan kontroversial Effendi.

Sebelumnya, dalam rapat kerja (Raker) Komisi I DPR dengan Kementerian Pertahanan dan TNI, Effendi mempertanyakan dugaan ketidakharmonisan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan Jenderal Dudung.

Sayangnya, pernyataan Effendi seolah menganalogikan TNI seperti gerombolan hingga ormas.

Kegusaran Jenderal Dudung lantas diterjemahkan oleh jajaran di bawahnya untuk bersuara. Mulai dari prajurit biasa hingga perwira menengah turut angkat suara menuntut permintaan maaf Effendi.

Tercatat, Komandan Kodim (Dandim) 0733 Semarang Letkol Inf. Honi Havana, Dandim 0719 Jepara Letkol Inf. Mokhamad Husnur Rofiq, hingga Dandim 0623 Cilegon Letkol Inf. Ari Widyo Prasetyo memprotes pernyataan Effendi lewat sebuah video.

image 52

Bahkan, video protes dari nama terakhir cukup viral karena sang Dandim Cilegon itu sampai menggebrak meja di akhir tuntutannya.

Reaksi plus arahan protes secara tidak langsung dari Jenderal Dudung tampak cukup mengejutkan. Pasalnya, Effendi merupakan politikus senior PDIP yang notabene kerap disebut sebagai parpol penyokong karier Jenderal Dudung.

Meski kemudian sang KSAD menyatakan keyakinan bahwa ucapan Effendi tidak mewakili PDIP, sejumlah praduga dan pertanyaan masih mengganjal.

Salah satu yang cukup menarik ialah, mengapa Jenderal Dudung seolah melakukan “perlawanan balik” semacam itu? Serta, apa yang dapat dimaknai dari intrik ini?

PDIP Terjebak Ilusi?

Walaupun Jenderal Dudung telah menegaskan pernyataan Effendi tidak mewakili PDIP, presumsi berbeda kiranya dapat ditafsirkan dari gestur permohonan maaf anggota Komisi I DPR itu.

Ya, dalam pengakuan kekhilafannya, Effendi tampak harus ditemani oleh Ketua Fraksi PDIP di DPR Utut Adianto. Langkah ini kemungkinan menjadi indikasi PDIP bisa saja terkejut atas reaksi dan “perintah perlawanan” Jenderal Dudung.

Dalam konteks ini, PDIP secara organisasi boleh jadi mengalami illusion of control atau ilusi kendali. Konsep psikologis itu dijelaskan oleh Justin Kruger, Steven Chan, dan Neal Roese dalam publikasi berjudul (Not so) positive illusions.

Pada dasarnya, ilusi kendali merupakan bagian dari bias kognitif, yang kerap serupa dengan bias optimisme. Secara umum, bias semacam ini memengaruhi pemikiran dan objektivitas, baik bagi seorang individu maupun di level logika organisasi.

Baca juga :  Hasan Nasbi-Qodari 24 Jubir Satset
image 53

Ilusi kendali juga lebih luas dari apa yang disebut sebagai ilusi positif karena bagi yang mengalaminya, akan mempertimbangkan diri mereka sendiri memiliki harga diri dan kendali atas suatu subyek.

Sederhananya, ilusi kendali merupakan fenomena yang terjadi ketika terdapat keyakinan akuisisi kendali atas situasi yang jelas berada di luar jangkauan pengaruhnya.

Hal itu kemungkinan juga dialami PDIP. Selama ini, bukan rahasia lagi bahwa karier seorang jenderal kerap dipengaruhi oleh variabel politik.

Pada case PDIP, mereka mungkin merasa “memiliki kendali” atas militer, khususnya melalui Jenderal Dudung. Itu dikarenakan, selama ini PDIP tampak telah memberikan karpet merah bagi karier eks Panglima Kostrad.

Paling tidak, itu dapat ditelusuri sejak Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri terkesan dengan pembangunan patung Bung Karno di Akademi Militer yang diinisiasi Jenderal Dudung.

Sebagai parpol penguasa, PDIP tampak berjasa meng-endorse Jenderal Dudung yang pada sisi berbeda juga turut andil dalam sebuah simbiosis hubungan lewat manuvernya “membenamkan” Front Pembela Islam (FPI).

Padahal, perasaan jumawa atas sebuah kendali semu merupakan sebuah kesalahan fatal sebagaimana dijabarkan Rolf Dobelli dalam The Art of Thinking Clearly.

Dobelli menguraikan sebuah pepatah era Romawi yang kurang lebih menyiratkan larangan untuk berlagak seperti emperor Roma, padahal hanya berkuasa atas entitas kecil dari kekaisaran Romawi yang begitu besar.

Jenderal Dudung bersama TNI-AD kemudian tampak memiliki daya tawar lebih dari pada yang mungkin selama ini dibayangkan PDIP. Itu terbukti dari komando “perlawanan” yang langsung diterjemahkan anggota di bawahnya.

Selain itu, terkuaknya daya tawar Jenderal Dudung sendiri kiranya tidak dapat dilepaskan dari momentum.

Luis Rubio dalam Time in Politics menyebut timing atau momentum sangat esensial dalam komunikasi dan manuver yang memiliki irisan dengan aspek politik. Preferensi timing disebut dapat menentukan perbedaan output yang cukup signifikan dari sebuah interaksi politik.

Singkatnya, semua peristiwa bertendensi politis erat dengan bagaimana konstruksi momentum itu dimaksimalkan.

Dalam konteks intrik Effendi dan Jenderal Dudung, momentum seolah cukup tepat bagi sebuah kepentingan tertentu. Blunder gerombolan dan ormas kemungkinan juga berbenturan dengan probabilitas intensi Jenderal Dudung untuk memanfaatkannya.

Lalu, apakah kiranya intensi tersebut?

Baca juga :  IKN dan Sejarah Tanah Kerajaan Tanah Kalimantan
image 51

Dudung Jadi Panglima TNI?

Intrik yang memunculkan nama Jenderal Dudung berhadapan dengan salah satu politisi PDIP tampak berdekatan dengan momentum pergantian jabatan Panglima TNI pada akhir tahun ini.

Jenderal Dudung sendiri masih berpeluang untuk dipercaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR sebagai penerus Jenderal Andika, meski hanya akan berdinas satu tahun sebelum pensiun.

Dalam mekanisme politik terkait usulan nama Panglima TNI, mengemukanya ekspresi berupa respons keberanian Jenderal Dudung di hadapan PDIP agaknya mengindikasikan sebuah bargain politik yang lebih dalam.

Pakar emotional intelligence atau kecerdasan emosional Stanford University Marwan Sinaceur dan Larissa Tiedens menyebut ekspresi emosional dapat memengaruhi kesimpulan secara sosial aktor lain dan perilaku selanjutnya dalam proses negosiasi.

Ekspresi emosional itu menjadi bagian penting dalam ranah praktik bargain theory atau teori tawar-menawar (negosiasi).

Sebagai bagian dari game theory, ekspresi emosi mewakili pendekatan dinamis dan strategis sekaligus. Dalam sebuah situasi yang terkesan tidak kooperatif, gestur tersebut dapat menjadi solusi di dalam sebuah keseimbangan permainan.

Mengacu pada ekspresi emosional dan bargain theory itu, Jenderal Dudung tampaknya begitu piawai memanfaatkan momentum blunder Effendi. Dalam hal ini soal kemungkinan impresi agar terlihat memiliki daya tawar dan kekuatan di depan PDIP.

Secara tidak langsung, PDIP bisa saja tersentak dan akan memengaruhi keputusan endorsement dan simbiosis, yang kemudian bukan tidak mungkin akan menguntungkan Jenderal Dudung, terutama dalam konteks suksesor Panglima TNI.

Akan tetapi, terdapat probabilitas menarik lain. Itu dikemukakan oleh anggota Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik yang juga pengamat militer Khairul Fahmi.

Menurutnya, respons jajaran TNI-AD yang impulsif terhadap Effendi justru kurang tepat. Para pimpinan, khususnya Jenderal Dudung sebagai KSAD seharusnya mampu menujukkan kematangan dalam mengarahkan dan mengendalikan para prajurit.

Membiarkan atau bahkan memerintahkan prajurit bereaksi dalam sudut pandang Fahmi tidak jauh berbeda dengan kecenderungan politisasi. Bagaimanapun, hal-hal yang disampaikan oleh Effendi merupakan bagian dari dinamika dan proses politik di parlemen.

Lebih lanjut, menurut Fahmi, Jenderal Dudung seyogianya menggunakan prosedur sesuai aturan untuk membantah Effendi. Terlebih, TNI-AD menjadi matra satu-satunya yang cukup prominen merespons politikus PDIP itu.

Oleh karenanya, respons Jenderal Dudung dan jajaran di bawahnya boleh jadi akan menjadi pertimbangan lain untuk menilai kepantasannya, termasuk di mata PDIP, dalam penentuan Panglima TNI pasca Jenderal Andika.

Bagaimanapun, penjabaran di atas masih sebatas interpretasi teoritis terhadap sebuah isu yang memiliki irisan dengan aspek politik. Meski demikian, akan cukup menarik untuk melihat dinamika lain yang bersifat politis pasca intrik blunder Effendi terkait TNI. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).