HomeHeadlineTurun Takhta, Anies Binasa?

Turun Takhta, Anies Binasa?

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akhirnya turut diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi Formula-E. Mencuatnya isu kasus ini dianggap akan menjadi akhir karier politik Anies. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Menjelang akhir masa jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dirundung kasus tak sedap, yakni rasuah Formula-E. Agenda internasional kebanggaan ibu kota itu juga tampaknya akan menjadi sentimen minor di tengah diskursus pencapresan dirinya di pemilihan presiden (Pilpres) 2024.

Anies dijadwalkan akan menghadiri pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari Rabu, 7 September, esok. Saat dimintai tanggapan mengenai pemeriksaan itu, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) menyebut akan membantu KPK untuk membuat perkara ini menjadi lebih jelas.

Kasus ini sendiri mencuat setelah Forum Masyarakat Untuk Keadilan melaporkan Anies ke KPK yang dibarengi dengan aksi unjuk rasa pada September 2021 lalu.

Mereka menilai penyelenggaraan Formula E tidak masuk akal karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tetap membayarkan commitment fee kepada penyelenggara meski pandemi Covid-19 belum mereda.

Mereka juga mengaku telah melaporkan Anies pada bulan Maret di tahun yang sama dengan alat bukti audit BPK dan bukti-bukti lainnya.

Selain itu, laporan juga kemudian datang dari Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto. Pada Juni 2022, Hari mengatakan pihaknya telah melaporkan dugaan korupsi commitment fee Formula-E ke KPK dan Bareskrim Mabes Polri.

image 22

Secara teknis, commitment fee merupakan biaya yang dikeluarkan tuan rumah ajang Formula-E untuk menjamin terselenggaranya acara di kota yang ditunjuk. Namun, biaya tersebut ternyata tidak baku dan berbeda nominalnya di berbagai kota penyelenggara lain.

Pada Formula-E Jakarta, commitment fee memang menimbulkan pertanyaan saat menyedot Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp2,3 triliun.

Nominal itu sendiri merupakan total biaya yang harus dikeluarkan dari lima seri balapan hingga tahun 2024.

Namun, biaya yang mencapai Rp390-570 miliar per tahun itu dinilai jauh lebih mahal dibanding kota-kota lain. Berdasarkan penelusuran PinterPolitik, penyelenggaraan Formula E di Montreal, Kanada hanya membutuhkan nomination fee sebesar Rp 1,7 miliar dan race fees sebesar Rp17 miliar dengan total biaya sebesar Rp18,7 miliar.

Bahkan, terdapat pemerintah kota yang tidak harus membayar sepeserpun untuk menggelar balap mobil listrik itu, yakni Berlin (Jerman), Monako, Paris (Prancis), Roma (Italia), dan Hong Kong.

Sejauh ini, KPK telah meminta keterangan dari sejumlah nama di antaranya mantan Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Syahrial, mantan Kadispora DKI Jakarta Ahmad Firdaus, mantan Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) Gatot S. Dewa Broto, hingga mantan Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Dino Patti Djalal.

Analisis politik kemudian berkembang dan bermuara pada postulat bahwa dugaan korupsi Formula-E yang “menyenggol” Anies akan berimbas negatif terhadap karier politiknya, terlepas dari terlibat atau tidaknya sang gubernur. Mengapa demikian?

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Anies “Berdosa”?

Isu rasuah selama ini menjadi momok bagi reputasi aktor politik dalam konteks persaingan di antara mereka. Impresi negatif atas rekam jejak atau keterkaitan seorang aktor politik dengan kasus korupsi acapkali menjadi senjata yang dimainkan sang rival.

image 21

Hal itu dikarenakan, korupsi tetap dianggap sebuah kekeliruan secara sosial. Fr Amado Picardal dalam publikasi berjudul Corruption is a social sins bahkan menyebut korupsi sebagai sebuah dosa di hadapan khalayak.

Ketika muncul ke permukaan, “dosa” itu tidak hanya ditemukan dan menggambarkan hati individu, tetapi tertanam dalam sistem dan struktur masyarakat, baik politik, ekonomi, dan sosial.

Picardal mengutip ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (kepedulian sosial), di mana St Yohanes Paulus II mengacu pada “struktur dosa” yang berakar pada dosa pribadi dan, dengan demikian, selalu dikaitkan dengan tindakan konkret individu yang memperkenalkan struktur-struktur ini, serta mengonsolidasikannya.

Oleh karena itu, ketika nurani dan integritas aktor politik tercemar oleh isu maupun kasus korupsi yang telah terbukti, seketika predikat “dosa” menurut Picardal tidak berlebihan untuk disematkan.

Konstruksi dari perspektif sosial, moral, dan keagamaan terhadap korupsi kiranya juga dapat menjadi sebuah ingatan kolektif di masyarakat.

Maurice Halbwachs, seorang filsuf dan ahli sosiologi asal Prancis menjelaskan bahwa ingatan atau memori kolektif terbangun dari konstruksi yang ada di masyarakat.

Dalam bukunya yang berjudul On Collective Memory, Halbwachs mengatakan peristiwa besar biasanya akan tetap tersimpan di benak anggota-anggota kelompok atau masyarakat.

Kebetulan, dia memberikan sampel ingatan kolektif yang terkait dengan dinamika politik dan pemerintahan, yakni Hari Kemerdekaan Amerika Serikat dan Hari Bastille.

Dalam dinamika lain seperti isu korupsi, ingatan kolektif mengenai “dosa korupsi” juga tampak cukup membekas di ingatan masyarakat di Indonesia. Partai Demokrat, misalnya, yang kerap tersudut saat masyarakat mengungkit iklan bertajuk “Katakan Tidak pada Korupsi” yang diperankan oleh kader partai yang justru terjerat korupsi.

Selain itu, ada PKS yang dalam ingatan publik kerap dikaitkan dengan kasus korupsi sapi. Sementara PDIP juga acap kali terkena sentimen minor saat masyarakat masih terus menuntut pengungkapan kasus Harun Masiku yang hingga kini masih buron.

Dalam konteks Pilpres 2024, nama Ganjar Pranowo juga seolah tak terlepas dari kesan negatif atas dugaan korupsi KTP elektronik kendatipun sampai saat ini belum terbukti.

Maka dari itu, isu korupsi Formula-E yang menyerempet Anies kiranya juga akan menjadi dosa sosial dan politik tersendiri. Apalagi, dirinya juga digadang akan menjadi kandidat di Pilpres 2024 mendatang.

Di sisi lain, dugaan korupsi Formula-E juga kiranya dapat pula mengancam karier politik Anies saat publik menilai ajang itu akibat bumerang egoismenya sendiri. Mengapa begitu?

Baca juga :  Pedang Bermata Dua Anies?

James Rachels dalam Egoism and Moral Skepticism menyebut egoisme selalu menjadi bagian dari sifat individu yang terkadang terekspresikan secara tidak proporsional.

Pada case Anies, Formula-E tampaknya menjadi proyek egois dari aspek politiknya. Boleh jadi, ia tidak mau kalah dari entitas politik yang selama ini berseberangan dengannya atas kesuksesan menggelar balap World Superbike (WSBK) di Sirkuit Mandalika.

Jika ditelusuri, pada 13 Juli 2019 Anies pertama kali mengumumkan bahwa Jakarta akan menjadi tuan rumah Formula-E.

Itu hanya berselang sekitar lima bulan sejak pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan Indonesia secara resmi dinobatkan sebagai tuan rumah WSBK.

Jika benar itu menjadi semacam ambisi yang cenderung mengarah pada egoisme politik, isu rasuah Formula-E kiranya memang cukup tepat untuk diselidiki lebih dalam. Dan ini menjadi kabar kurang baik bagi Anies.

Lalu, mungkinkah Anies dapat lepas dari predikat “dosa” tersebut?

image 20

Anies Wajib Gabung Parpol?

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, isu korupsi Formula-E kiranya akan dimainkan lawan politik Anies, terutama mereka yang melihat Anies sebagai ancaman jelang kontestasi elektoral 2024.

Dengan statusnya sebagai aktor yang tidak memiliki afiliasi partai politik (parpol), Anies kiranya memang sejak awal merupakan ancaman. Secara teori, kecemerlangan Anies selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dapat memantik deparpolisasi.

Deparpolisasi adalah istilah yang menggambarkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap parpol akibat muncul sosok prominen non-parpol seperti Anies.

Saat isu korupsi mencuat, serangkaian upaya penegakan hukumnya juga dapat dijadikan alat politik sebagaimana dijelaskan José María Maravall dalam The Rule of Law as a Political Weapon.

Maravall menyebut proses hukum dapat digunakan secara strategis oleh aktor politik yang memiliki akses ke dalamnya, termasuk untuk dapat unggul dalam sebuah persaingan politik.

Isu rasuah Formula-E sendiri tak lepas dari intrik tersebut. Hari Pruwanto bahkan mengaitkan “teriakan” Novel Baswedan – sepupu Anies – untuk membubarkan KPK beriringan dengan mulai munculnya isu korupsi Formula-E.

Namun, ada satu jalan keluar yang kiranya tepat bagi Anies untuk terhindar dari sentimen minor korupsi Formula-E, yakni dengan bergabung ke parpol.

Jelang 2024, elektabilitasnya yang tinggi serta kian kerasnya persaingan membuat Anies kiranya harus memiliki tameng politik.

Parpol agaknya akan menjadi tempat yang aman bagi Anies untuk paling tidak mendapat bantuan berupa kontra narasi dalam berbagai isu.

Namun, di atas semua itu, akan cukup menarik kiranya untuk melihat efek dugaan korupsi Formula-E yang sedang bergulir saat ini bagi karier politik Anies ke depan. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?