Sejak puluhan tahun, pembangunan ekonomi di Papua masih menjadi masalah yang belum bisa terselesaikan. Setelah dua periode pun Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum bisa mengatasi ketimpangan yang terjadi di Bumi Cenderawasih. Mengapa demikian?
Beberapa hari yang lalu, bangsa kita baru saja merayakan hari kemerdekaannya yang ke-77. Upacara bendera di Istana Negara yang disiarkan sejumlah kantor berita menunjukkan perayaan yang meriah.
Bahkan, sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju yang hadir, seperti Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, dan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi ikut merayakan kegembiraan dengan turun ke halaman istana dan berjoget ria saat penyanyi cilik Farel Prayoga menyanyikan lagu berjudul Ojo Dibandingke.
Namun, di balik kemeriahan tersebut terdapat percikan api yang diam-diam membara di Bumi Indonesia Timur, tepatnya, di tanah Papua. Saat melaksanakan upacara kemerdekaan, dikabarkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Intan Jaya, Papua, diserang oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Bupati Intan Jaya, Natalis Tabuni, mengatakan, ketika upacara mulai digelar, kontak bersenjata sempat terdengar antara KKB dan Tentara Nasional Indonesia-Kepolisian RI (TNI-Polri). Untungnya, sebelum berkembang jadi lebih berbahaya, perseteruan tersebut dapat diredam.
Well, serangan KKB tersebut hanya salah satu dari sejumlah kisah kelam yang tersimpan di Bumi Cenderawasih. Nyatanya, wilayah Indonesia yang paling timur ini sampai sekarang tetap saja masih menderita ketimpangan ekonomi, sosial, dan pembangunan yang tinggi dibanding wilayah lain di Indonesia.
Data dari Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menyebutkan bahwa dari 4.982 desa yang berstatus sangat tertinggal di Indonesia pada tahun 2022, 3.450 di antaranya terdapat di Papua, dan 606 ada di Papua Barat.
Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat terpilih kembali jadi presiden pada tahun 2019 berjanji bahwa pembangunan di Papua akan jadi salah satu perhatian utama kabinetnya. Dari segi infrastruktur, Jokowi sudah membangun sejumlah tol, pelabuhan, bandara, dan beberapa fasilitas lain yang diklaim akan memperkuat konektivitas rakyat di sana.
Namun, tetap saja predikat “daerah tertinggal” melekat di Papua, bahkan hingga sekarang.
Lantas, kenapa Papua masih belum bisa tertangani dengan benar oleh Jokowi?
Belum Pernah Sentuh Akar Permasalahan?
Sudah puluhan tahun pemerintah Indonesia mendorong pembangunan dan pemerataan di Papua. Sejumlah kebijakan, mulai dari era kepemimpinan Presiden B. J. Habibie, Megawati Sukarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, sudah diberlakukan, tapi tetap saja, permasalahan Papua menjadi pekerjaan rumah yang belum kunjung terselesaikan.
Sejumlah pengamat menilai solusi yang ditawarkan pemerintah selama ini belum menyentuh akar permasalahan yang menyebabkan kesenjangan begitu parah di Papua.
Ibnu Nugroho, Peneliti Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (GTP UGM) dalam tulisannya Mengapa transformasi digital dan kesejahteraan di Papua masih jauh tertinggal?, menyebut ada beberapa alasan kenapa Jokowi belum saja bisa selesaikan masalah kesenjangan di Papua.
Pertama, permasalahan tentang tingginya ancaman keamanan. Menurut data yang dikumpulkan GTP UGM, terdapat 348 kasus kekerasan yang terjadi di Papua mulai dari tahun 2010 hingga Maret 2022. Dan aktor utamanya adalah KKB dan aparat keamanan TNI-Polri.
Karena konflik bersenjata bisa terjadi kapan saja di Papua, situasi tersebut menciptakan suasana yang begitu mencekam dan mendorong rasa tidak aman yang sangat tinggi. Jangankan untuk aktivitas bisnis, kegiatan yang sangat mendasar saja, seperti belajar mengajar, menjadi tantangan yang begitu besar bagi para siswa dan guru yang perlu meresikokan dirinya berangkat ke sekolah.
Terlebih lagi, pemerintah kerap mengirimkan jumlah aparat yang cukup banyak ke Papua setiap tahunnya. Di satu sisi, itu mungkin bisa menciptakan rasa keamanan, namun kenyataannya kehadiran aparat di sana seakan menjadi tantangan bagi para KKB.
Yang lebih mirisnya lagi, terdapat beberapa catatan bahwa keberadaan angkatan bersenjata di Papua justru malah memperkeruh masalah keamanan. Kylie McKenna dalam tulisannya BP, security and human rights in West Papua, mengutip tulisan Kirksey yang berjudul Don’t Use Your Data as a Pillow, menyebut bahwa ada aparat keamanan Indonesia yang kemungkinan mengatur dan terlibat dalam berbagai insiden penembakan di sekitar Freeport.
Kirksey bahkan menyebutkan sejumlah perusahaan di Papua menggunakan jasa aparat keamanan untuk lakukan tindakan kekerasan dan mendorong sejumlah aksi protes, yang beberapa di antaranya menimbulkan permasalahan hak asasi manusia (HAM).
Kedua, Ibnu Nugroho juga menilai alasan krusial lain kenapa Jokowi belum bisa membenahi Papua adalah karena terdapat inkonsistensi data kependudukan masyarakat di Papua.
Ketika Pemilihan Umum 2019 (Pemilu 2019), dipercaya ada sebanyak 45,59 persen penduduk Papua yang tidak memiliki rekaman data E-KTP.
Lalu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 juga menyebutkan terdapat hanya 45,19 persen anak berusia di bawah 18 tahun di Papua yang memiliki akta kelahiran.
Kemudian, meski data BPS Papua tahun 2020 mencatat bahwa ada sekitar 3,4 juta penduduk yang hidup di Papua, data tersebut tidak disertai jumlah spesifik penduduk dan sebarannya.
Semua ini, ditambah dengan permasalahan pembedaan status orang asli Papua (OAP), non-OAP, dan pendatang, berdampak pada kebuntuan besar dalam sejumlah proses penyusunan kebijakan. Sederhananya, kebijakan yang dihasilkan jarang sekali berdasarkan demografi yang sebenarnya terdapat di Papua.
Minimnya data dalam pembedaan status masyarakat OAP, non-OAP, dan pendatang pun menjadi hal yang tidak kalah penting karena salah satu masalah besar birokrasi di Papua adalah mereka tidak memiliki keterwakilan OAP yang mencukupi, khususnya di jajaran Pemda.
Ketiga, akar masalah Papua yang juga belum diselesaikan Jokowi adalah lanskap ekonomi Papua. Chairil Abdini, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia dalam tulisannya Alasan mengapa usaha pengembangan wilayah Indonesia timur belum berhasil, menilai bahwa Jokowi terlalu melihat Papua sebagai wilayah yang siap investasi.
Padahal, kenyataannya Papua adalah wilayah yang masih diderita ketimpangan ekonomi dan ketidak amanan. Sebagai dampaknya, ini membuat banyak investor takut dan enggan berinvestasi di Papua karena mereka merasa tidak aman dan tidak pasti dengan dinamika politiknya.
Karena itu, pembangunan infrastruktur seakan hanya jadi solusi sementara yang tidak menyentuh permasalahan ekonomi sebenarnya di Papua.
Lalu, kenapa pemerintah tetap menggemborkan pembangunan infrastruktur besar di Papua?
Jokowi Terburu-buru?
Pembangunan infrastruktur dapat menjadi simbol komitmen negara dalam mengembangkan suatu wilayah. Masalahnya, pembangunan infrastruktur pun bisa menjadi sekadar simbol semata bila tidak mampu menyelesaikan inti permasalahan.
Hal ini disorot oleh Fredick Broven Ekayanta, dalam tulisannya Discourse Factors in Infrastructure Development in Indonesia’s Jokowi-JK Era. Di dalamnya, Fredick menyimpulkan bahwa pemerintah cenderung melihat wacana pembangunan infrastruktur sebagai legitimasi dari komitmen semu dalam menyelesaikan sebuah masalah.
Ini kemudian menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai solusi pragmatis, di mana infrastruktur diharapkan dapat membuka peluang pengembangan ekonomi, padahal jika dilakukan secara tergesa-gesa itu hanya akan menjadi solusi yang hampa.
Terkait itu, dalam mengkaji perkembangan ekonomi suatu negara, terdapat satu teori menarik yang sekiranya sesuai dengan sejumlah kebuntuan kebijakan Indonesia, yakni teori compressed development.
D. Hugh Whitaker dan kawan-kawan dalam buku Compressed Development: Time and Timing in Economic and Social Development menjelaskan bahwa perkembangan zaman dan globalisasi telah membuat sejumlah negara mendapatkan akses perkembangan yang luar biasa. Berbeda seperti abad-abad sebelumnya, kini aktivitas ekonomi internasional benar-benar bebas dan terbuka.
Sebagai dampaknya, sejumlah negara berkembang mencoba memanfaatkan peluang tersebut untuk lakukan pengembangan yang terkompresi. Nah, akibatnya, mereka akan menghadapi masalah-masalah lintas aspek secara sekaligus.
Kebijakan negara-negara yang menerapkan sistem compressed development akan direntangkan sedemikian rupa sehingga harus menyentuh tidak hanya aspek ekonomi, tapi juga pengembangan sosial, birokrasi, dan keterbatasan sumber daya alam (SDA).
Meski terlihat rumit, beberapa negara sebenarnya telah berhasil lakukan pengembangan compressed ini, contohnya adalah Tiongkok dan Singapura. Namun, pertanyaan besarnya sekarang adalah apakah negara seperti Indonesia, yang terlihat juga tengah lakukan compressed development, akan berhasil?
Well, kita bisa lihat sendiri bahwa meski Papua telah berulang kali dipromosikan melalui sejumlah ekspo bisnis internasional, dengan memamerkan kekayaan alam dan budayanya, nyatanya pembangunan ekonomi di sana tetap saja menemui kebuntuan dan menjadi permasalahan yang mungkin tidak jauh berbeda dengan keadaan 10 atau 20 tahun yang lalu.
Pembangunan Papua yang seakan hanya terlihat sebagai upaya daya tarik investor ini menjadi refleksi bagi kita semua bahwa upaya pengembangan yang dilakukan tergesa-gesa berpotensi akan meninggalkan, bahkan mungkin mengabaikan, masalah-masalah krusial yang merongrong masyarakat.
Pada akhirnya, mungkin bisa kita interpretasikan bahwa Papua tetap akan jadi luka Indonesia yang belum bisa kunjung sembuh. Kita harap saja ke depannya kebijakan pemerintah untuk membangun Bumi Cenderawasih akan lebih tepat sasaran. (D74)