HomeHeadlinePrabowo adalah Lawan yang Disiapkan?

Prabowo adalah Lawan yang Disiapkan?

Meskipun sudah kalah tiga kali, Partai Gerindra tetap ingin mengusung Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Kenapa Gerindra begitu ngotot mengusung Prabowo? Mungkinkah Prabowo adalah lawan yang disiapkan?


PinterPolitik.com

“To be successful you need friends and to be very successful you need enemies.” – Sidney Sheldon, penulis Amerika Serikat

Dalam acara Total Politik, politisi senior PDIP Panda Nababan menceritakan pujian Jusuf Kalla (JK) terhadap Megawati Soekarnoputri. JK mengaku takjub pada Megawati karena memilih tidak maju di Pilpres 2014 meskipun PDIP memperoleh 18,95 persen suara di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014. 

Sikap itu kontras dengan ketua umum partai lainnya yang berani maju meskipun hanya memperoleh 5 persen suara. Menurut Panda, Megawati sadar kondisinya yang sudah tua dan telah kalah berulang kali.

Sedikit melakukan komparasi, sikap Megawati itu kontras dengan Prabowo Subianto saat ini. Seperti yang ditegaskan berbagai elite Partai Gerindra, Prabowo hampir pasti akan maju di Pilpres 2024. Jika melihat usia, pada 2024 nanti usia Prabowo akan menyentuh 72 tahun. Sementara Megawati yang mengaku tua pada Pilpres 2014 lalu, usianya masih 67 tahun.

Kemudian, ini yang terpenting, dengan fakta telah kalah tiga kali, kenapa Prabowo masih ingin bertarung di 2024? 

Berbagai survei juga menunjukkan elektabilitas Prabowo stagnan, bahkan menurun signifikan di bulan Juli 2022. Menurut Indopol Survey & Consulting, Prabowo mengalami penurunan elektabilitas signifikan dari bulan Januari 2022. 

“Jika dibandingkan dari Januari 2022, elektabilitas Prabowo turun 6,91 persen dari semula 15,85 persen menjadi 8,94 persen,” ungkap Direktur Eksekutif Indopol Survey & Consulting, Ratno Sulistiyanto pada 15 Juli 2022.

Menurut pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin, turunnya elektabilitas Prabowo karena kejenuhan masyarakat. 

“Prabowo Subianto ini dianggap sebagai tokoh lama ya, tokoh senior yang di pilpres sudah 15 Tahun maju, dari Pilpres 2009 maju terus. Di sini lah masyarakat melihat bahwa kelihatannya butuh figur dan sosok baru dalam pilpres,” ungkap Ujang pada 16 Juli 2022. 

Bahkan menurut Ujang, elektabilitas Prabowo kemungkinan sudah mentok. Titik tertingginya pada Pilpres 2019 lalu, dan besar kemungkinan akan mengalami penurunan seperti yang terlihat saat ini. 

Kemudian, Ujang juga menyinggung nama-nama baru, seperti Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, yang berpotensi kuat lebih menarik perhatian masyarakat.

Lantas, dengan adanya variabel-variabel itu, kenapa Gerindra tetap ngotot ingin mengusung Prabowo di Pilpres 2024?

prabowo menjenuhkan ed.

Demi Efek Ekor Jas?

Menurut Ujang, setidaknya ada tiga alasan kenapa Gerindra tetap ngotot mengusung Prabowo. 

Pertama, kemungkinan ini demi efek ekor jas (coattail effect). Popularitas Prabowo yang tinggi diharapkan dapat mendongkrak keterpilihan Gerindra di Pileg 2024.

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Kedua, walaupun elektabilitasnya stagnan, Prabowo dipercaya memiliki peluang untuk menang karena tidak ada petahana. 

Ketiga, ini soal harga diri Partai Gerindra. Daripada tiket capres Gerindra diberikan ke sosok lain, lebih baik habis-habisan mendukung Prabowo. 

“Menang, ya menang. Agar tak penasaran. Dan kalah, ya kalah,” ungkap Ujang pada 5 Agustus 2022.

Apa yang dijelaskan Ujang, khususnya soal efek ekor jas memiliki afirmasi kuat, baik secara teoretis maupun empiris. 

Secara teoretis, kita dapat menarik tolakan dari buku Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi yang berjudul Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru. 

Dalam temuan mereka, meskipun partai politik di Indonesia memiliki ideologi yang berbeda, mereka justru memiliki program dan narasi yang seragam. Ini kemudian membuat pemilih (voters) tidak menentukan pilihannya berdasarkan perbedaan identitas partai, melainkan siapa sosok yang diusung partai tersebut. Konteks ketokohan ini membuat fenomena efek ekor jas sangat relevan di Indonesia.

Kemudian, secara empiris, popularitas Prabowo terbukti menaikkan perolehan suara Gerindra di tiap gelaran pemilu. Pada Pileg 2009 meraih 4.646.406 suara (4,5%), Pileg 2014 meraih 14.760.371 suara (11,81%), dan Pileg 2019 meraih 17.594.839 suara (13,57%).

Namun, meskipun memiliki rasionalisasi yang kuat, ada satu pertanyaan penting yang tersisa. Jika Gerindra mengejar efek ekor jas dari popularitas Prabowo, bukankah bisa dengan cara membuat Prabowo meng-endorse para caleg Gerindra di tiap provinsi?

Untuk apa bertarung habis-habisan di pilpres, menghabiskan biaya yang besar, dan belum tentu menang?

Lawan yang Disiapkan?

Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Prabowo Pasti Gagal di 2024?, telah dijelaskan bahwa salah satu alasan Prabowo kalah adalah dosa masa lalunya yang mudah diekspos oleh lawan politiknya. Kendati tidak terbukti di pengadilan, diksi “Tim Mawar” dan “penculikan aktivis” menjadi palu godam untuk menghancurkan citra Menteri Pertahanan (Menhan) itu.

Selain itu, dengan fakta sudah kalah tiga kali, bukankah seharusnya internal Gerindra menyadari ketua umumnya memiliki banyak celah untuk diserang? 

Pun demikian di kubu lawan politik Prabowo. Mereka pasti sudah mengetahui dan memiliki metode untuk mengalahkan mantan Danjen Kopassus itu. 

Atas keanehan itu, tulisan Ezra Klein yang berjudul How Politics Makes Us Stupid dapat menjadi refleksi yang bagus. Mengutip studi dari Yale Law School, Klein menyebutkan bahwa keterampilan matematika (berhitung) seseorang dapat menurun ketika menghadapi persoalan yang memiliki unsur politik.

Fenomena ini dijelaskan sebagai teori identity–protective cognition. Pilihan atas nilai atau tokoh politik tertentu membuat seseorang mengalami disonansi kognitif, sehingga kehilangan kemampuan untuk membuat kalkulasi yang tepat.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 
cak imin atau khofifah ed.

Bertolak dari tulisan Klein, mungkin dapat dikatakan, meskipun berbagai politisi Gerindra sadar Prabowo memiliki peluang kalah yang besar, tendensi psikologis (fanatisme dan loyalitas) terhadap partai dan sang ketua umum membuat mereka menomorduakan potensi kekalahan tersebut.

Pada 11 Oktober 2021, politisi Gerindra Arief Poyuono bahkan secara terang-terangan menyebut kans Prabowo untuk menang di Pilpres 2024 tidaklah besar karena akan berhadapan dengan nama-nama muda yang energik.

Nah, di sisi seberang, yakni kubu lawan politik Prabowo, fenomena identity–protective cognition yang kemungkinan besar dialami politisi Gerindra adalah sebuah keberkahan. Ini membuat mereka dapat melakukan strategi nomor 17 dari Thirty-Six Stratagems, yakni 36 strategi Tiongkok kuno yang digunakan dalam politik, perang, dan interaksi sipil.

Strategi nomor 17 berbunyi, tossing out a brick to get a jade gem (拋磚引玉, Pāo zhuān yǐn yù). Artinya, melempar batu bata untuk mendapatkan batu giok. Ini adalah strategi jebakan dan memperdaya musuh dengan umpan. Dalam perang, umpan adalah ilusi atas sebuah kesempatan untuk memperoleh hasil.

Lalu, umpan apa yang dimaksud?

Umpan itu adalah elektabilitas dan popularitas Prabowo. Meskipun tidak dominan, elektabilitas dan popularitas Prabowo adalah yang tertinggi dari semua kader Gerindra. 

Dengan memanfaatkan itu, lawan politik Prabowo akan melakukan strategi spionase, yakni menghembuskan angin surga ke Prabowo dan politisi Gerindra untuk mengusung jenderal bintang tiga itu.

Dalam buku The Art of War, Sun Tzu menyebutnya dengan istilah Si Jian, yakni menugaskan petugas spionase untuk menyebarkan informasi palsu ke musuh.

Jika spekulasi ini tepat, maka dapat disimpulkan bahwa Prabowo adalah lawan yang disiapkan. Karena lawan politik Prabowo memiliki metode untuk mengalahkannya, berbagai operasi, kondisi, dan strategi kemudian dijalankan agar Gerindra tetap mengusung mantan Danjen Kopassus itu.

Seperti kutipan Sidney Sheldon di awal tulisan. Untuk sukses, kita membutuhkan teman. Namun, jika ingin sangat sukses, kita membutuhkan musuh.

Terlebih lagi, jika melihat gestur politik terbaru, ada kemungkinan Prabowo akan maju bersama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) di Pilpres 2024. Selain memiliki elektabilitas yang rendah, Cak Imin juga memiliki ketegangan dengan keluarga Gus Dur dan pengurus PBNU saat ini.

Sedikit berspekulasi, ada kemungkinan bahwa Prabowo dan timnya terkena iming-iming bahwa Cak Imin dapat menyerap dukungan pemilih di Jawa Timur – provinsi yang menjadi kelemahan Prabowo. Jawa Timur juga merupakan konsentrasi massa Nahdlatul Ulama. 

Well, sebagai penutup, perlu untuk ditegaskan bahwa tulisan ini hanyalah interpretasi semata. Kita lihat saja apakah Prabowo akan maju di 2024 atau tidak. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...