HomeHeadlineMaaf, Jokowi Bukan King Maker

Maaf, Jokowi Bukan King Maker

Berbagai pengamat politik, seperti Burhanuddin Muhtadi, menilai Presiden Jokowi dapat menjadi king maker di Pilpres 2024. Namun, harapan itu sepertinya keliru dan terlalu melebih-lebihkan pengaruh politik Jokowi. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Selain menggunjingkan kandidat dan koalisi partai untuk Pilpres 2024, satu lagi topik yang hangat dibahas adalah siapa king maker di gelaran pilpres tersebut. Terkait ini, ada pandangan menarik dari pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun. 

Pada 2 Juni 2022, Ubed membagi king maker dalam tiga kategori, yakni lapis utama, lapis pertama, dan lapis kedua. Lapis utama adalah oligarki, lapis pertama adalah Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto, sedangkan lapis kedua adalah Surya Paloh. 

Mudah menjelaskan alasan di balik kategorisasi yang dibuat Ubed. Terkait lapis pertama, ini sekiranya telah menjadi pandangan umum. Seperti pernyataan Jeffrey Winters dalam Oligarchy Dominates Indonesia’s Elections, dengan sumber dayanya yang besar, oligarki memainkan peranan penting dalam sistem politik Indonesia.

Kemudian, penempatan Megawati, Prabowo, dan Paloh, besar kemungkinan pada fakta perolehan suara PDIP, Gerindra, dan NasDem di Pemilu 2019. PDIP memperoleh 27.053.961 suara (posisi satu), Gerindra memperoleh 17.594.839 suara (posisi dua), dan NasDem memperoleh 12.661.792 suara (posisi lima).

Selain ketiga nama itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jusuf Kalla (JK), dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga disebut-sebut akan menjadi king maker di Pilpres 2024. 

Dari nama-nama itu, sosok Jokowi sekiranya yang paling menarik. Pasalnya, nama-nama seperti, Megawati, Prabowo, Paloh, SBY, dan JK merupakan petinggi partai dan telah terbukti sebagai king maker di gelaran pilpres. Sementara Jokowi, meskipun merupakan RI-1, ia hanyalah kader partai biasa.

Dengan fakta itu, seberapa besar kemungkinan Jokowi menjadi king maker di 2024?

surya paloh hanya lapis dua

Tiga Syarat untuk Jokowi

Jika berbicara kemungkinan, banyak pihak, terutama para pengamat politik cukup optimis Jokowi bisa menjadi king maker. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi adalah salah satu di antaranya. Pada 12 Juni 2022, Burhanuddin menyebut ada tiga alasan kenapa Jokowi bisa menjadi king maker di 2024. 

Pertama, Jokowi harus berhasil mempertahankan approval rating atau kepuasan masyarakat terhadapnya tetap tinggi. Ini akan membuat Jokowi menjadi gravitasi politik, sehingga banyak kandidat akan meminta restu atau dukungan politiknya.

Kedua, apakah presidential threshold (preshold) masih 20 persen di 2024. Jika gagal digugat menjadi nol persen alias tidak berubah, Jokowi akan menjadi king maker karena menguasai Parlemen. Di poin ini, Jokowi harus mampu menjadi komandan koalisi pemerintah sebesar 81,9 persen atau 471 dari total 575 kursi DPR.

Ketiga, dalam dua tahun ke depan, apakah akan muncul kandidat dominan atau tidak. Menurut Burhanuddin, berdasarkan survei IPI sampai saat ini tidak ada capres yang dominan. 

Meskipun Prabowo memiliki elektabilitas yang tinggi, keunggulannya dibanding kandidat lain tidak lebih dari 20 persen. Kemudian Ganjar Pranowo yang banyak dielukan mengalami stagnasi tingkat popularitas. Sementara Anies masih berada di belakang Prabowo dan Ganjar.

Terkait poin pertama, Burhanuddin melihat arahnya tengah tepat. Berdasarkan survei IPI, tingkat kepuasan masyarakat terhadap Jokowi pada Juli 2022 sebesar 64,9 persen. 

Diagram di atas merupakan data approval ratings 22 pemimpin negara demokrasi dari Morning Consult Political Intelligence pada bulan Juli 2022. 

Dalam pemaparannya pada Juni 2022, Burhanuddin tampaknya membandingkan data survei IPI dengan Morning Consult Political Intelligence, sehingga menyimpulkan approval rating Jokowi bertengger di nomor dua dunia – hanya kalah dari Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi. Berdasarkan komparasi data Juli 2022, Jokowi masih di nomor dua.

Kemudian, terkait poin nomor dua, dengan fakta Mahkamah Konstitusi (MK) telah berulang kali menolak gugatan preshold – 13 kali per Desember 2021 – besar kemungkinan preshold tidak akan berubah. 

Lalu, Burhanuddin menyinggung satu variabel penting yang membuat Jokowi dapat menjadi komandan koalisi, yakni habituasi pragmatis partai politik di Indonesia yang disebutnya dengan istilah Jokowi Centrality and One Party Rule.

Menurut Burhanuddin, kendati berbeda ideologi dan platform, partai politik di Indonesia, khususnya partai koalisi kerap mengikuti kehendak Istana. Ini dicontohkannya dengan dua peristiwa politik, yakni revisi Undang-Undang (UU) Pemilu dan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker).

Meskipun beberapa partai politik mendukung revisi UU Pemilu dan banyak masyarakat menolak Omnibus Law Ciptaker, partai politik langsung kompak menolak revisi UU Pemilu dan mendukung Omnibus Law Ciptaker setelah Jokowi memberikan pernyataan. 

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Terakhir, untuk poin ketiga, seperti yang disebutkan Burhanuddin, sejauh ini memang tidak ada kandidat dominan yang elektabilitasnya 20 persen lebih besar dari kandidat lainnya. Dengan demikian, para kandidat akan berebut political endorsement atau dukungan politik Jokowi untuk mendapatkan efek ekor jas (coattail effect).

Sekarang pertanyaannya, dengan tiga syarat itu terlihat dimiliki Jokowi, apakah mantan Wali Kota Solo itu akan menjadi king maker di Pilpres 2024?

pak jokowi nomor dua dunia ed.

Pengujian Kritis

Sayangnya, tidak. Ketiga syarat yang disebutkan Burhanuddin dapat kita bantah atau setidaknya diuji secara kritis. 

Pertama, pada poin Burhanuddin yang menyebut approval rating Jokowi nomor dua di dunia, ini merupakan kesesatan bernalar (fallacy) yang disebut dengan argumentum ad ignorantiam

Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon dalam buku Introduction to Logic, menjelaskan argumentum ad ignorantiam atau argument from ignorance adalah kesesatan bernalar yang terjadi ketika seseorang mengatakan sesuatu itu benar karena belum terbukti salah, atau salah karena belum terbukti benar. Singkatnya, ini adalah penarikan kesimpulan yang bertolak pada ketiadaan bukti.

Pada simpulan Burhanuddin yang mengkomparasi survei IPI dengan Morning Consult Political Intelligence, kesesatan bernalar itu terjadi. Pasalnya, IPI tidak memiliki data approval ratings 22 pemimpin negara demokrasi, dan Morning Consult Political Intelligence tidak memiliki data approval rating Jokowi.

Sekarang bayangkan ini, bagaimana jika Morning Consult Political Intelligence melakukan survei untuk melihat approval rating Jokowi? Apakah datanya sama dengan IPI? Mungkin lebih besar, sama besar, atau lebih kecil. 

Pun demikian pada kasus IPI. Jika lembaga survei yang dipimpin Burhanuddin itu melakukan survei approval ratings terhadap 22 pemimpin negara demokrasi, apakah datanya akan sama dengan Morning Consult Political Intelligence?

Selain itu, ini yang terpenting, berdasarkan data World Forum on Democracy, jumlah negara demokrasi di dunia mencapai 120 negara. Dengan kata lain, ada kemungkinan terdapat pemimpin negara demokrasi yang memiliki approval rating lebih tinggi dari Jokowi.

Kedua, fenomena Jokowi Centrality and One Party Rule yang disebutkan Burhanuddin adalah fenomena temporal alias sementara. 

Mengutip buku Burhanuddin yang berjudul Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural, koalisi partai politik di Indonesia bersifat pragmatis karena berbasis pada office seeking, bukan policy seeking

Koalisi dibentuk bukan untuk menjalankan ideologi atau kebijakan publik tertentu, melainkan semata-mata demi meraih dan/atau mempertahankan kursi kekuasaan.

Artinya apa? Fenomena partai politik yang mengikuti “maunya” Istana bukan dilakukan atas dasar ketundukan, melainkan untuk mengamankan kursi kekuasaan, seperti kursi menteri. Sebagai contoh, katakanlah PKB secara frontal mengkritik pemerintahan Jokowi secara terus menerus, besar kemungkinan partai lebah akan kehilangan kursi menterinya. 

Di Kabinet Indonesia Maju, PKB mendapatkan empat kursi, yakni Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Menteri Agama (Menag), dan Menteri Perdagangan (Mendag). Sekarang jadi tiga kursi karena Mendag M. Lutfi digantikan oleh Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan pada 15 Juni 2022.

Dengan demikian, mengacu pada fenomena second-term curse (kutukan periode kedua) dan lame duck president (presiden bebek lumpuh/tidak berpengaruh) yang umum terjadi menjelang akhir periode kedua, pengaruh atau kontrol Jokowi terhadap partai koalisi dipastikan akan menurun dan melemah.

Fenomena ini terjadi pada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di akhir periode keduanya. Sebagai Presiden yang masih berkuasa, serta memiliki partai yang memperoleh suara terbesar di Pemilu 2009, SBY tidak mampu menjadi king maker ataupun diminta political endorsement-nya. Lebih memprihatinkan lagi, suara Demokrat jatuh di Pemilu 2014 dan sampai sekarang menjadi partai tengah.

Ketiga, sekalipun nantinya tidak ada kandidat dominan sampai pertengahan tahun 2023, Jokowi tetap tidak akan menjadi king maker. Alasannya sederhana, yakni Jokowi bukanlah oligarki ataupun elite partai politik.

Kembali mengutip buku Burhanuddin, pengusungan kandidat dan pembangunan koalisi di Indonesia dilakukan secara tertutup atau dikenal dengan istilah smoke-filled room. Keputusan diambil oleh elite politik tanpa melibatkan ruang partisipasi dari kader dan konstituen partai secara luas.

Namun, menurut Burhanuddin, majunya Jokowi telah menampar tradisi itu. Seperti yang disebutkan Marcus Mietzner dalam bukunya Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia, popularitas Jokowi yang luar biasa telah memaksa kaum oligark untuk mendukungnya.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Di titik ini, tentu banyak pihak membacanya sebagai kontradiksi terhadap kesimpulan penulis. Oleh karenanya, kita perlu mengelaborasi buku Burhanuddin dan Mietzner dengan berbagai literatur lainnya.

infografis jk sang maestro

Dinilai Berlebihan?

Mengutip Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy and Democracy in Indonesia, kemenangan Jokowi di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2012 tidak mungkin terjadi tanpa oligarki Prabowo dan adiknya yang kaya raya, Hashim Djojohadikusumo. 

Dalam buku Ross Tapsell yang berjudul Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution, Partai Gerindra disebut menghabiskan biaya besar untuk iklan dan kampanye politik Jokowi di televisi. Seperti pernyataan Winters, tanpa sumber daya oligarki, popularitas Jokowi yang luar biasa hanya akan berakhir di media massa dan media sosial.

Kemudian, mengutip pengakuan Jusuf Kalla (JK) pada 5 Agustus 2012, JK adalah sosok pertama yang meminta Jokowi maju sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ia juga yang meyakinkan Megawati untuk mengusung Jokowi. 

Pun demikian pada majunya Jokowi di Pilpres 2014. Dalam bukunya Panda Nababan Lahir Sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi, Buku Kedua: Dalam Pusaran Kekuasaan, politisi senior PDIP Panda Nababan menyebut JK adalah salah satu sosok paling awal yang mendukung Jokowi maju. Menurut Panda, JK berperan dalam meyakinkan PDIP dan kemudian memberi proposal agar dirinya diterima sebagai pasangan Jokowi.

Selain JK, ada pula dukungan dari Luhut Binsar Pandjaitan yang membentuk Tim Bravo 5, serta berbagai purnawirawan TNI berpengaruh, seperti Agum Gumelar, Ryamizard Ryacudu, Wiranto, dan Hendropriyono.

Konteks ini membuat kita memahami pernyataan Profesor Vedi R. Hadiz dari University of Melbourne yang dikutip Ross Tapsell, bahwa Jokowi melekat dengan sistem oligarki, dan tidak menghadirkan patahan (perubahan) penting dari presiden-presiden sebelumnya.

Dengan kata lain, jika nantinya tidak ada kandidat dominan, mungkin benar political endorsement Jokowi dibutuhkan, tapi itu bukan kehendak independen Jokowi. Itu adalah dukungan yang mengikuti kehendak kaum oligark dan PDIP selaku partai Jokowi.

Ada dua alasan penting kenapa itu terjadi. Pertama, ini bertolak pada habituasi politik di Indonesia. Kembali mengutip buku Burhanuddin, partai politik di Indonesia berbasis pada office seeking atau hasrat atas kursi kekuasaan. Artinya, partai politik tidak melihat Jokowi sebagai “raja”, melainkan semata-mata untuk mendapatkan efek ekor jas. 

Kedua, sama seperti SBY, Jokowi berpotensi mendapatkan serangan-serangan politik setelah turun takhta sebagai RI-1. Ihwal ini telah jauh-jauh hari diperingatkan oleh Niccolò Machiavelli dalam bukunya Il Principe pada tahun 1532.

Menurut Machiavelli, dengan dalih menjaga konsolidasi kekuasaan, raja-raja baru memiliki kebiasaan untuk membersihkan orang-orang raja lama, atau setidaknya membuat mereka menjadi patuh. Habituasi ala kerajaan itu terlihat jelas di politik Indonesia. Ketika PDIP berkuasa, misalnya, mereka yang disebut “orangnya SBY” sulit mendapatkan tempat di lingkar kekuasaan.

Nah, untuk mengamankan dirinya secara politik, Jokowi perlu seayun dengan kehendak kaum oligark dan partai yang berpotensi menang di Pemilu 2024. Konteks ini membuat kita memahami mengapa Jokowi beberapa kali memberi sinyal dukungan kepada Puan Maharani yang disebut-sebut menjadi capres PDIP.

Poin perlindungan politik adalah yang paling krusial. Karena berbeda dengan SBY yang merupakan petinggi Partai Demokrat, Jokowi merupakan kader biasa di PDIP. Terlebih lagi, Jokowi juga memiliki hubungan panas-dingin dengan Megawati Soekarnoputri, sang Ketua Umum PDIP. 

Singkatnya, sulit membayangkan Jokowi akan memberikan political endorsement secara independen. Ia pasti akan mendukung kandidat yang melanjutkan program-programnya, serta memberikan jaminan perlindungan politik.

Mengutip filsuf epistemologi David Hume, kekeliruan dalam melihat fenomena itu termasuk dalam kesesatan bernalar yang disebut dengan post hoc ergo propter hoc. Karena peristiwa Y mengikuti peristiwa X, bukan berarti peristiwa Y pasti disebabkan oleh peristiwa X.

Artinya, apabila Jokowi memberikan political endorsement-nya kepada A, bukan berarti A maju di Pilpres 2024 karena didukung Jokowi.

Well, sebagai penutup, berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut, tampaknya secara cukup meyakinkan kita dapat membantah asumsi berbagai pengamat politik, seperti Burhanuddin Muhtadi, yang menyebut Jokowi akan menjadi king maker di Pilpres 2024.

Lagipula, dalam bukunya Burhanuddin juga menyebut banyak pihak terlalu melebih-lebihkan dampak pengaruh Jokowi, khususnya terhadap PDIP pada Pemilu 2014. (R53) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...