HomeRuang PublikMenerawang Pilpres 2024

Menerawang Pilpres 2024

Oleh Ahmad Hidayah

Bagaimanakah dinamika pemilihan nama calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) akan berjalan menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang?


PinterPolitik.com

Jelang pemilihan presiden (pilpres) yang menyisakan dua tahun lagi, sejumlah nama mulai masuk ke dalam bursa pencalonan. Tidak hanya menampilkan nama-nama calon presiden (capres), kali ini penulis mencoba untuk menerka-nerka calon presiden beserta pasangannya dan partai politik pendukungnya.

Dalam pandangan dan pengamatan penulis, setidaknya akan ada tiga pasangan capres dan calon wakil presiden (cawapres), yaitu Anies Baswedan yang berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Prabowo Subianto yang akan berpasangan dengan Puan Maharani, serta Ganjar Pranowo yang berpasangan dengan Erick Thohir.

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), tepatnya pada Pasal 222, disebutkan bahwa pasangan capres dan cawapres setidaknya memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu sebelumnya.

Oleh karena itu, penting kiranya untuk melihat pasangan capres dan cawapres merujuk pada partai politik (parpol) yang akan mendukungnya.

Pasangan pertama adalah kombinasi Anies dengan AHY. Berdasarkan hasil rilis beberapa lembaga survei, Anies Baswedan masuk sebagai kandidat calon presiden potensial karena memiliki elektabilitas yang tinggi.

Artinya, kesempatan Anies untuk maju menjadi capres terbilang cukup tinggi. Lebih lanjut, nama AHY pun digadang-gadang akan menjadi calon pendamping Anies. Hal ini mengacu pada adanya dukungan politik dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat DKI Jakarta, serta beberapa lembaga survei yang membuat simulasi jika Anies berpasangan dengan AHY.

Jika nantinya Anies berpasangan dengan AHY, maka Partai Demokrat sudah pasti akan menjadi partai pengusung. Selain itu, menurut pengamatan penulis, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai NasDem juga akan menjadi partai pengusung.

Hal tersebut merujuk pada kecenderungan PKS yang memang sudah memiliki kedekatan dengan Anies sejak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017. Ditambah, nama Anies yang mengemuka sebagai capres terkuat pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai NasDem pada Juni lalu.

Jika Anies-AHY didukung oleh ketiga partai ini, maka perolehan suara nasional ketiga partai ini sudah mencukupi, yaitu NasDem 9,05 persen, PKS 8,21 persen dan Demokrat 7,77 persen. Sehingga jika ditotal menjadi 25,03 persen.

Pasangan kedua adalah Prabowo Subianto dengan Puan Maharani. Prabowo sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra yang memiliki elektabilitas yang tinggi berdasarkan beberapa lembaga survei, sudah sewajarnya jika ikut serta sebagai capres di Pilpres 2024 mendatang.

Puan pun digadang-gadang akan menjadi pendampingnya. Jika sesuai dengan prediksi ini, maka Prabowo dan Puan akan didukung oleh dua partai, yaitu Gerindra dan PDIP. Hal ini pun sudah sesuai dengan ketentuan UU Pemilu, dimana PDIP memiliki perolehan suara nasional sebesar 19,33 persen dan Gerindra sebesar 12,57 persen, sehingga jika di total menjadi 31,9 persen.

Menurut pengamatanan penulis, terdapat dua hal penting dalam melihat pasangan Prabowo-Puan. Pertama, PDIP saat ini memiliki dua capres potensial, yaitu Ganjar Pranowo dan Puan Maharani. Namun, PDIP lebih condong kepada Puan Maharani.

Hal itu tidak terlepas dari Puan Maharani yang merupakan anak dari Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Selain itu, Puan pun dianggap sudah cukup siap karena telah memiliki karier politik sebelumnya, seperti menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) periode 2009-2014, Ketua Fraksi PDIP di tahun 2012-2014, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) periode 2014-2019, serta Ketua DPR RI periode 2019-2024.

Kedua, kedekatan Megawati dengan Prabowo. Hal ini mengacu pada Pilpres 2009 di mana Megawati berpasangan dengan Prabowo. Kedua pasangan ini pun membuat sebuah kontrak politik yang bernama “Perjanjian Batu Tulis”. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, pasangan Prabowo dengan Puan bisa saja terealisasi sebagai bentuk kelanjutan dari “Perjanjian Batu Tulis” tersebut.

Baca juga :  “Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Selain itu, yang menjadi perhatian adalah ditempatkannya Puan sebagai cawapres, di mana PDIP adalah partai pemenang di pemilu sebelumnya serta partai pengusung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Untuk menjelaskan hal tersebut, maka penulis melihatnya sebagai konsekuensi politik yang diambil oleh PDIP jika ingin mengusung Puan. Pasalnya, sampai saat ini Puan belum memiliki elektabilitas yang cukup tinggi untuk memenangkan Pilpres. Jika Puan nantinya menang, maka Puan memiliki potensi untuk diusung menjadi capres di Pilpres 2029.

Pasangan ketiga adalah Ganjar Pranowo dengan Erick Thohir. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa PDIP memberikan sinyal untuk lebih mendukung Puan dibandingkan dengan Ganjar. Hal ini terlihat dari gelagat dan pernyataan sejumlah elit politik PDIP.

Misalnya sindirian Puan soal capres yang sering tampil di media sosial. Walaupun tidak menyebut nama secara spesifik, namun publik menebak-nebak bahwa hal ini ditujukan pada Gubernur Jawa Tengah tersebut.

Selain itu, hal ini juga bisa dikaitkan dengan pernyataan dari Anggota DPR RI Fraksi PDIP, Trimedya Panjaitan, yang mempertanyaan kinerja dari Ganjar sebagai gubernur selain aktif di media sosial. 

Ganjar yang memiliki elektabilitas tinggi berdasarkan rilis beberapa lembaga survei pun disinyalir akan hengkang dari PDIP. Disisi lain, presiden petahana yang dianggap dapat menjadi king maker memberikan sinyal untuk memberikan dukungan kepada Ganjar. Oleh karena itu, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dapat menjadi partai politik pendukungnya.

Menurut pandangan penulis, terdapat sejumlah alasan mengapa KIB dapat menjadi kendaraan bagi Ganjar. Pertama, tidak ada satupun calon dari koalisi ini yang memiliki elektabilitas tinggi. Oleh karena itu, akan lebih baik jika KIB mengusung calon yang memiliki persentase kemenangan lebih tinggi.

Kedua, untuk menghindari konflik kepentingan di antara parpol koalisi, maka realistisnya KIB mengambil tokoh dari luar, yaitu Ganjar dan Erick. Selain itu, koalisi ini juga membuka kesempatan bagi calon presiden potensial diluar dari koalisi.

Ketiga, jika dihubung-hubungkan, maka terdapat jalur penghubung dengan Presiden Jokowi. Seperti diketahui, bahwa dua partai di KIB membunyikan narasi perpanjangan masa jabatan presiden. Jika dicocokan dengan sinyal-sinyal dukungan dari Presiden Jokowi kepada Ganjar, hal ini setidaknya dapat menjadi benang merah.

Lebih lanjut, menurut prediksi penulis, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) nantinya akan bergabung dalam koalisi ini karena turut membunyikan narasi perpanjangan masa jabatan presiden.

Selanjutnya adalah terkait calon pendamping Ganjar, yaitu Erick Thohir. Menurut penulis, Presiden Jokowi dapat menjadi penghubung antara Ganjar dengan Erick. Seperti jamak diketahui, Erick memiliki kedekatan dengan Presiden Jokowi sejak Pilpres 2019 dimana Erick menjadi ketua tim pemenangan.

Selain itu, Erick juga sering kali mendapat kepercayaan untuk menduduki posisi-posisi penting seperti Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Posisi yang diemban oleh Erick dianggap sebagai “karpet merah” menuju panggung Pilpres 2024 mendatang. Melihat dukungan Presiden Jokowi kepada Ganjar, serta kedekatan Erick Thohir dengan sang RI-1, maka menjadi wajar jika Ganjar akan diduetkan dengan Erick.

Jika Ganjar nantinya akan berpasangan dengan Erick Thohir, maka KIB memiliki jumlah perolehan suara yaitu Partai Golkar sebanyak 12,31 persen suara nasional, Partai Amanat Nasional (PAN) sebanyak 6,84 persen, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebanyak 4,52 persen dan jika ditotal menjadi 23,67 persen.

Untuk itu, jika mengacu pada UU Pemilu, maka jumlah ini tidak mencukupi sehingga dibutuhkan dukungan partai politik lain, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang memiliki suara nasional sebanyak 9,69 persen sehingga jika diakumulasikan menjadi 33,36 persen.

Baca juga :  Adu Mekanik Endorse Anies vs Jokowi

Peta Kekuatan Pilpres 2024

Jika mengacu pada tiga pasangan calon seperti yang dijelaskan diatas, maka pasangan paling kuat saat ini adalah Ganjar dengan Erick yang didukung oleh PPP, PAN, PKB dan Golkar yang memiliki akumulasi suara dukungan partai politik sebesar 33,36 persen.

Di peringkat kedua adalah pasangan Prabowo dengan Puan yang didukung oleh PDIP dan Gerindra dengan akumulasi suara dukungan partai politik sebesar 31,9 persen. Sedangkan di urutan terakhir, terdapat pasangan Anies dan AHY yang didukung oleh PKS, NasDem dan Partai Demokrat dengan akumulasi suara dukungan sebesar 25,03 persen.

Selain melihat berdasarkan perolehan suara di pemilu tahun 2019, penting pula untuk melihat berdasarkan elektabilitas partai politik saat ini. Jika mengacu pada hasil survei dari Indikator Politik pada bulan April 2022, maka pasangan Prabowo-Puan yang didukung oleh Gerindra dan PDIP memiliki akumulasi elektabilitas partai politik paling tinggi yaitu 35,1 persen dengan rincian PDIP 23,7 persen serta Gerindra 11,4 persen.

Di urutan kedua terdapat pasangan Ganjar-Erick yang didukung oleh KIB plus PKB yaitu 25,1 persen, dengan rincian PKB 9,8 persen, PAN 1,1 persen, PPP 3,3 persen serta Golkar 10,9 persen.

Dan di urutan terakhir ada pasangan Anies-AHY yang didukung oleh Demokrat, PKS, dan Nasdem dengan akumulasi elektabilitas 18,5 persen, dengan rincian Demokrat 9,1 persen, PKS 5,5 persen, serta NasDem 3,9 persen. 

Tidak cukup hanya dengan melihat partai politik di belakangnya, elektabilitas dari calon tersebut juga penting untuk dilihat. Masih menggunakan hasil survei dari Indikator Politik pada bulan April 2022, Anies memiliki elektabilitas 19,4 persen dan AHY memiliki elektabilitas 3,2 persen, sehingga jika diakumulasi menjadi 22,6 persen.

Pasangan kedua yaitu Prabowo memiliki elektabilitas 23,9 persen sedangkan Puan memiliki elektabilitas sebesar 1,1 persen, sehingga jika diakumulasikan menjadi 25 persen

Pasangan ketiga yaitu Ganjar memiliki elektabilitas sebesar 26,7 persen dan Erick memiliki elektabilitas sebesar 2,4 persen, dan jika akumulasikan menjadi 29,1 persen. Melalui data ini, maka dapat disimpulkan bahwa pasangan Ganjar-Erick memiliki elektabilitas paling tinggi, lalu diikuti oleh Prabowo-Puan, dan yang paling rendah adalah Anies-AHY.

Jika melihat peta kekuatan di Pilpres 2024 mendatang, berdasarkan data yang telah dipaparkan, maka pasangan Anies-AHY dinilai terlemah. Sebab, jika ditinjau kekuatan partai pendukung serta elektabilitas personal, pasangan Anies-AHY memiliki skor yang lebih rendah dibandingkan dengan dua pasangan yang lain.

Selain itu, pasangan Ganjar-Erick dan Prabowo-Puan dirasa akan menjadi pertarungan sengit karena memiliki dukungan partai politik yang sama-sama kuat. Namun, jika mengacu pada elektabilitas tokoh, maka Ganjar-Erick sedikit lebih diunggulkan saat ini.

Meski demikian, penulis menyadari bahwa peta kekuatan jelang pilpres 2024 ini tidaklah mutlak dan bisa saja berubah sewaktu-waktu. Hal ini berdasarkan pengamatan politik penulis sebagai peneliti bidang politik dengan membaca sinyal-sinyal yang ada saat ini.

Selain itu, dalam melihat kekuatan capres dan cawapres, tentu masih banyak variabel lain yang dapat menjadi pertimbangan, seperti kedekatan dan dukungan dari organisasi massa, dukungan partai politik non-parlemen yang tidak dimasukan dalam melihat kekuatan dukungan partai politik, serta kekuatan finansial kandidat.

Melalui terawangan ini, semoga dapat memberikan masukan terkait gambaran peta kekuatan Pilpres 2024, baik kepada publik, parpol, maupun kandidat yang bersiap untuk maju.


Profil Ruang Publik - Ahmad Hidayah

Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

spot_imgspot_img

#Trending Article

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...