Peran Turki di panggung internasional beberapa waktu ke belakang sangat menarik untuk disorot. Wacana bergabungnya Finlandia dan Swedia ke Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) bahkan hampir digagalkan karena diveto oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan. Mengapa Turki bisa sangat berani dan berpengaruh di NATO?
Wacana Finlandia dan Swedia sebagai anggota baru Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menjadi satu dari beberapa kisah menarik di balik imbas konflik Ukraina yang meletus pada 24 Februari silam.
Kabar terbarunya, Turki akhirnya memberikan restunya kepada dua negara Skandinavia tersebut untuk bergabung bersama geng Barat Amerika Serikat (AS) di NATO. Perkembangan ini bisa dianggap cukup krusial karena awalnya Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menolak keras Finlandia dan Swedia menjadi anggota baru NATO.
Namun, “restu” yang diberikan Turki bukan berarti tanpa syarat. Erdogan mengatakan setidaknya ada 3 syarat yang harus dipenuhi Finlandia dan Swedia.
Pertama; pemberhentian dukungan politik dan finansial ke kelompok “teroris”, yang spesifiknya adalah Partai Buruh Kurdistan, kedua; Finlandia dan Swedia juga dituntut lakukan ekstradisi individu-individu yang dianggap sebagai teroris, ketiga; dua negara Skandinavia ini juga harus mengangkat sanksi industri pertahanan yang dijatuhkan ke Turki.
Terkait ini, Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO, Jens Stoltenberg membuat pernyataan yang menunjukkan bahwa pihaknya pada akhirnya harus menuruti permintaan Erdogan, dengan mengatakan bahwa kepentingan keamanan seluruh anggota NATO –termasuk Turki tentunya- memang perlu menjadi perhatian utama.
Ini artinya, NATO pun mulai mendekati narasi Erdogan yang melihat bahwa PKK adalah organisasi teroris, meski selama ini NATO terlihat mengambil posisi terkait permasalahan Kurdi dari sisi koin yang berlawanan.
Yang membuat persoalan Turki dan NATO ini lebih menarik lagi, pada tanggal 30 Juni lalu, Erdogan mengisi konferensi pers dan tiba-tiba mengatakan bahwa Turki kapan saja bisa membatalkan restunya jika persyaratan-persyaratan tadi tidak dapat dipenuhi.
Jika hal itu terjadi, tentu mimpi Finlandia dan Swedia jadi anggota NATO harus kandas karena pakta pertahanan ini membutuhkan persetujuan dari seluruh 30 negara anggotanya jika ingin memasukkan anggota baru.
Ya, sederhananya perkataan Erdogan ini lebih dari sekadar peringatan, tetapi juga ancaman.
Tapi, apakah ancaman Erdogan hanya berlaku pada Finlandia dan Swedia? Dan mengapa ia mengucapkannya setelah pertemuan besar NATO pada 28-30 Juni lalu?
Erdogan Gertak NATO (Lagi)?
Sebelum membahas lebih jauh, penting bagi kita untuk memahami bersama bahwa polemik tentang penolakan keanggotaan Finlandia dan Swedia oleh Turki sesungguhnya menyimpan agenda politik yang lebih dari persoalan kelompok teroris saja.
Seperti yang sudah diprediksi dalam artikel PinterPolitik berjudul “Erdoğan, Kuda Troya Penghancur NATO?”, besar dugaannya bahwa Erdogan sesungguhnya hanya menggertak NATO, layaknya “anak jual mahal” yang perlu diiming-imingi banyak hal agar setuju dengan keputusan kelompoknya. Salah satunya adalah dengan meminta lebih banyak penjualan jet tempur Barat untuk armada Turki.
Dan hal ini sepertinya memang benar terjadi, dibuktikan dengan hasil pertemuan bilateral Erdogan dan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden ketika di KTT G7, yang ternyata membahas tentang revitalisasi penjualan jet F-16 ke Turki. Sebagai informasi, transaksi ini sempat tertahan setelah pertama kali diusulkan pada tahun 2021.
Perlunya revitalisasi penjualan jet tempur ini ternyata juga disadari oleh pemerintahan Biden. Melalui sebuah surat yang dilayangkan pada Kongres AS pada tanggal 17 Maret 2022, Departemen Luar Negeri (Deplu) AS mengatakan bahwa penguatan tenaga militer Turki adalah investasi jangka panjang yang tidak hanya akan melayani kepentingan nasional AS, tetapi juga penting untuk menjaga persatuan NATO.
Salah satu penyebabnya adalah karena Turki merupakan negara pemegang kunci Laut Hitam, yakni wilayah air yang dapat menjadi akses utama serangan ke atau dari Rusia.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa manuver diplomatis Erdogan sepertinya cukup cerdik, karena berhasil memanfaatkan dinamika yang terjadi di dalam NATO untuk memperkuat negaranya. Terlebih lagi, kesepakatan yang terjadi di NATO perlu disetujui oleh semua anggotanya dan mereka juga tidak bisa mengeluarkan suatu negara anggota meski banyak anggota lain yang membenci negara tersebut.
Berangkat dari pemahaman ini, kembali melihat pernyataan Erdogan tentang sikap Turki yang kapan saja bisa menolak keanggotaan Finlandia dan Swedia, sepertinya Erdogan juga melemparkan “peringatannya” kepada NATO dan AS.
Di dunia komunikasi, teknik seperti ini disebut sebagai dog whistle atau peluit anjing. Istilah ini terinspirasi oleh peluit ultrasonik yang umumnya digunakan pada anjing. Menariknya, suara dari peluit ini hanya bisa didengar oleh anjing, tetapi tidak oleh manusia.
Dalam politik, William Safire dalam bukunya Safire’s Political Dictionary, mengatakan bahwa teknik dog whistle sangat umum digunakan oleh politisi untuk mengkomunikasikan sesuatu yang sifatnya berbahaya (seperti ancaman), atau justru melempar umpan untuk kerja sama kepada sekelompok kecil audiensnya, yang umumnya adalah sesama politisi, yang memahami konteks sebenarnya dari sebuah pernyataan.
Kembali ke pernyataan Erdogan, sangat mungkin bila Erdogan sesungguhnya memberi pesan tersembunyi pada NATO bahwa ke depannya, Turki masih berkemungkinan memveto sejumlah agenda NATO, apalagi jika berkaitan dengan isu yang cukup panas di negaranya seperti persoalan tentang etnis Kurdi.
Kemudian untuk Biden, dengan menggunakan kata “bisnis” di pernyataannya, Erdogan juga tampaknya memperingatkan Biden untuk benar-benar menjalankan penjualan jet tempur F-16 kali ini, tidak lagi menunda penjualan seperti yang terjadi pada tahun lalu. Karena itu, persyaratan ini perlu dipenuhi jika AS memang ingin Finlandia dan Swedia masuk ke dalam NATO.
Jika ini benar, lantas mengapa Erdogan bisa se-berani itu? Apa yang membuat NATO harus mendengar gertakannya?
Erdogan si Devil’s Advocate?
Umumnya, orang akan berpandangan bahwa secara de facto NATO dipimpin oleh AS. Sebagai negara digdaya yang memang menyumbang jumlah pasukan terbanyak di pakta pertahanan negara Barat tersebut AS adalah kekuatan yang mendikte NATO. Sederhananya, jika Biden berkehendak NATO menyerang Rusia, maka seluruh negara anggota pasti akan mengikutinya.
Akan tetapi, di dalam NATO sesungguhnya ada satu negara yang berulang kali terlihat memiliki kekuatan untuk mengacaukan ketunggalan dalam NATO. Tentu, negara itu adalah Turki.
Beberapa pengamat bahkan mengistilahkan apa yang dilakukan Turki dalam menggoyahkan agenda NATO sebagai blackmail atau pemerasan, seperti apa yang ditulis Seth Frantzman dalam artikel Turkey is blackmailing NATO to justify its invasion of Syria, misalnya.
Mengapa Turki bisa sedemikian kuat? Tarik Oguzlu, profesor studi Hubungan Internasional dari Universitas Antalya Bilim menyebutkan ada empat alasan. Pertama, secara geografis Turki memainkan peran kunci dalam melindungi Benua Eropa dari sisi timur dan selatan. Turki tidak hanya berperan sebagai zona buffer, tetapi juga mampu menjadi tombak terdepan NATO untuk menjangkau Kaukasus, Laut Hitam, Asia Tengah, dan Timur Tengah.
Kedua, Turki adalah satu-satunya sekutu dalam NATO yang memiliki populasi mayoritas Muslim. Keanggotaan Turki berfungsi sebagai penangkal klaim bahwa NATO adalah aliansi negara-negara eksklusif beragama mayoritas Kristen. NATO butuh Turki sebagai jawaban apabila ada yang melihat operasi NATO sebagai aksi Islamophobia.
Ketiga, relasi Turki dengan “musuh terbesar” NATO, yakni Tiongkok dan Rusia. Bila AS memang benar-benar serius dalam menggalakkan narasi melawan potensi munculnya hegemoni negara Timur, maka Turki adalah sekutu yang perlu dijaga agar tidak masuk ke kubu Vladimir Putin dan Xi Jinping.
Keempat, sebagai negara yang memiliki jumlah tentara terbesar kedua dalam NATO dan berpartisipasi dalam hampir semua operasi militer pakta pertahanan tersebut, kontribusi Turki dalam aspek militer secara keseluruhan tidak dapat diganti. Terlebih lagi, Turki pernah jadi penghalang kuat masuknya komunisme ketika era Perang Dingin. Karena itu, Oguzlu bahkan memberi julukan Turki sebagai negara “kapal induk terkuat” NATO di Timur.
Dengan poin-poin ini, kita bisa menginterpretasikan bahwa mungkin Erdogan dan Turki selama ini memainkan peran devil’s advocate di NATO, yakni istilah yang umumnya diberikan pada seseorang yang selalu bertindak mengacaukan konsensus yang disepakati orang-orang lain dalam suatu kelompok.
Walau mungkin tidak bermaksud untuk menghancurkan, devil’s advocate seperti Erdogan telah membuat NATO dan AS sadar bahwa mereka perlu bertindak lebih agar hegemoni keamanan tidak terganggu bila mereka mengabaikan permintaan Turki.
Terlebih lagi, Samuel Huntington juga telah memperingatkan bahwa Turki pada akhirnya akan mengemban pandangan Islamis dan bergabung dengan Rusia dalam buku Clash of Civilizations and the Remaking of World Order.
Dengan demikian, sepertinya kepemimpinan AS di NATO tidak se-”otoriter” yang kita kira. Terdapat Turki yang selama ini ternyata masih memainkan perannya sebagai negara yang juga mampu menyetir haluan geopolitik pakta pertahanan terpenting di dunia ini. (D74)