Sejak peristiwa tragedi WTC pada 11 September 2001 lalu, komunitas Islam dipandang sebagai penyebab tragedi tersebut , hingga Islam pun di stereotipkan sebagai agama teroris. Seluruh dunia pun mempunyai kecemasan tersendiri jika memandang agama Islam.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]B[/dropcap]elum lama ini Fadli Zon kembali mengeluarkan sebuah pernyataan yang menarik, pada hari Senin (5/6) ia mengatakan rezim Jokowi ini adalah rezim Islamophobia dan penegak hukumnya tebang pilih serta tidak berjalan sesuai dengan norma hukum yang berlaku. Pernyataan Fadli Zon tentang Islamophobia ini didasari oleh penilaiannya terhadap pemerintah yang mempersempit ruang gerak ormas Islam.
Islamophobia dapat diartikan dengan ketakutan, kebencian atau berprasangka buruk kepada agama Islam. Agak aneh juga jika dikatakan Indonesia terjangkit Islamophobia, sedangkan Indonesia sendiri adalah salah satu negara muslim terbesar di dunia. Namun, Fadli Zon menganggap ketakutan pemerintah terhadap Islam dapat dibuktikan dengan maraknya kriminalisasi ulama dan menyempitkan ruang gerak para organisasi Islam.
Gejala Islamophobia pemerintah juga terlihat dengan diblokirnya 22 situs media Islam yang diduga radikal pada 29 Maret 2015 lalu. Pemblokiran itu dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pemblokiran tersebut pun dilakukan secara mendadak tanpa ada pemberitahuan atau musyawarah terlebih dahulu kepada MUI.
”Pemblokiran sepihak itu bisa saya sebut sebagai langkah paling bodoh yang diambil pemerintah terhadap situs Islam sejak reformasi dijadikan semboyan pemerintahan usai Soeharto jatuh,” kata Mustofa Nahrawardaya, Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF).
Akibat hal tersebut maka muncul opini-opini masyarakat yang menanyakan kebijakan pemerintah itu. instansi pemerintah saling lempar tanggung jawab. Kementerian Komunikasi dan Informasi berdalih mereka hanya memenuhi permintaan BNPT. Sebaliknya, BNPT berdalih mereka hanya menyodorkan rekomendasi kepada Kementerian Kominfo dan tindak lanjut diserahkan kepada Kementerian Kominfo.
Pada akhirnya, 10 hari setelah diblokir ada 12 situs yang kembali dibuka. Sementara sisanya masih diblokir dengan alasan pengelolanya belum mengirimkan surat permintaan agar blokirnya dicabut. Anggota Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Pusat Fahmi Salim Zubair menilai, rezim Jokowi-JK dan orang-orang di sekitarnya terindikasi kuat mengalami islamophobia.
Islamophobia Muncul Di Indonesia
Sejak peristiwa tragedi WTC pada 11 September 2001 lalu, komunitas Islam dipandang sebagai penyebab tragedi tersebut, hingga Islam pun di stereotipkan sebagai agama teroris. Seluruh dunia pun mempunyai kecemasan tersendiri jika memandang agama Islam.
Di Indonesia pun kecemasan tersebut turut singgah, di masyarakat mulai menyebar tuduhan muslim sebagai teroris. Tuduhan tersebut semakin nyata sejak terjadinya peristiwa bom Bali, pada 12 Oktober 2002 serta ditambah dengan penangkapan beberapa orang Islam seperti Amrozi, Ali Imron, Imam Samudra, bahkan seorang ustadz tua seperti Abu Bakar Baasyir pun dicurigai sebagai salah satu oknum jaringan Al-Qaeda dan juga sebagai dalang terjadinya kekacauan di negeri ini.
Akibat kasus tersebut, akhirnya masyarakat mulai takut dengan penampilan pria berjenggot lebat dan menggunakan atribut Islam. Selain pria pemelihara jenggot, masyarakat juga takut dengan perempuan yang menggunakan gamis serta cadar yang menutup sebagian wajahnya.
Masyarakat menilai penampilan tersebut adalah penampilan seorang teroris. Sehingga pria pemelihara jenggot dan keluarganya pun tak luput dari kecemasan karena ada kemungkinan menjadi sasaran penangkapan dari pihak kepolisian.
Phobia terhadap Islam pun semakin bertambah ketika Indonesia dimasuki isu tentang Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) atau yang berideologi semacam itu, yang menginginkan terbentuknya khilafah Islamiyyah. Serta terjadinya rangkaian bom – bom bunuh diri para pasukan ekstrimis dan radikal yang mengatasnamakan perbuatan jihad.
Islam di Indonesia yang sedari dulu hidup damai, tenteram, dan harmonis pun akhirnya mulai ditaburi dengan debu-debu negatif, seperti radikalisme dan ekstrimisme, liberalisme dan sekularisme, hingga maraknya aliran-aliran (keislaman) yang telah melenceng dari ajaran Islam yang sesungguhnya.
Sebut saja beberapa aliran-aliran sesat yang tumbuh di Indonesia seperti Ahmadiyah, kelompok aliran Islam yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad dari India sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw. Namun aliran ini tidak dibubarkan oleh pemerintah tanpa alasan yang pasti walaupun MUI menyatakan aliran ini sesat.
Lalu ada juga Islam Salamullah yang dipimpin oleh Lia Aminuddin atau Lia Eden. Lia mengaku sebagai jelmaan roh Maryam, sedang anaknya, Ahmad Mukti yang kini hilang, mengaku sebagai jelmaan roh Nabi Isa as dan imam besar agama Salamullah ini Abdul Rahman, seorang mahasiswa alumni UIN Jakarta, yang dipercaya sebagai jelmaan roh Nabi Muhammad saw.
JIL (Jaringan Islam Liberal), juga termasuk aliran Islam sesat. kelompok yang berpaham pluralisme agama ini tidak mengakui hukum Tuhan, bahkan aliran yang dikoordinir oleh Ulil Abshar Abdalla ini menghalalkan semua yang diharamkan oleh agama.
Disinilah peran pemerintah dibutuhkan, jika pemerintah bisa bersikap sensitif, responsif,transparan, dan bertindak adil terhadap kasus-kasus yang mengindikasikan penistaan terhadap suatu agama atau umat beragama, maka perpecahan di masyarakat akan bisa dihindari. Oleh karena itu, setiap kebijakan pemerintah harus terbuka serta menonjolkan sisi mengayomi dan egaliter, agar tidak terjadi kesalahpahaman antara penganut aliran Islam satu dan lainnya yang seakan terkesan seperti di adu domba.
Jangan sampai terjadi kembali seperti rezim Orde Baru lalu, di mana kebijakan Orde Baru yang sangat kritis dengan organisasi Islam membuat organisasi Islam menjadi termarginalkan, sehingga sepanjang tahun 1970 –1988 kata-kata “ekstrem kanan”, “NII”, “mendirikan Negara Islam”, “SARA” dan “Anti Pancasila” sangat gencar dituduhkan pada organisasi Islam.
Maka dari situ timbulah perlawanan besar-besaran oleh NU, Muhammadiyah, HMI dan berbagai organisasi lainnya yang memakai nama Islam sebagai asas dan nafas perjuangannya. Sehingga Presiden Soeharto dipusingkan oleh perlawanan tersebut.
Mencegah Pengaruh Islamophobia di Indonesia
Ajaran Islam yang sejati sebagaimana pemahaman Ahlussunah wal Jamaah
berintikan rahmat dan bertujuan memperbaiki moral masyarakat. Namun, karena sering muncul pemberitaan kaum ekstremis melancarkan kekerasan, kalangan non-muslim menganggap bahwa tindakan-tindakan keliru itu benar-benar merupakan ajaran Islam, dan menyalahkan Islam sebagai agama.
Menurut Rais Am PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus, pemahaman yang dangkal terhadap Islam membuat parah keadaan ini. Sebagian Kelompok Islam garis keras membuat pembenaran atas tindakan-tindakan mereka seolah-olah tindakan-tindakan itu merupakan perintah agama, padahal pemahaman mereka keliru.
Ia menuturkan ada empat dasar strategi untuk mengatasi Islamophobia ini, yaitu,
Pertama, menekankan pengertian perjuangan mengatasi ekstremisme agama adalah bagian dari perjuangan mewujudkan tata dunia yang damai dan adil.
Kedua, gagasan ekstrimisme Islam yang bersumber dari pemahaman agama yang dangkal harus dihadapi dengan penyebarluasan ajaran para ulama Aswaja yang mendalam ilmunya.
Ketiga, konsolidasi dan mobilisasi para ulama (Aswaja) seluruh dunia untuk membimbing umat agar pemahaman tentang Islam yang berintikan rahmat menjadi konsensus yang kuat di kalangan umat Islam di seluruh dunia.
Keempat, kerja sama erat di antara kelompok muslim moderat dengan kelompok yang obyektif di luarnya untuk menetralisir pandangan-pandangan ekstremis Islam dan Islamophobia yang berkembang dalam masyarakat.
Dengan pemahaman yang benar dan positif, keterbukaan pandangan serta kejernihan sikap hidup dan kualitas mental dalam menerima keberadaan kelompok lain akan membantu masing-masing kelompok dalam komunitas masyarakat. Jika semua itu sudah dilakukan maka bukan tidak mungkin Indonesia menjadi lebih kuat dan lebih bermartabat di mata dunia. (A15)