Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri mengeluarkan analogi “kopi susu” terkait tercampurnya orang-orang Papua dan orang-orang Indonesia pada umumnya dalam pidatonya di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PDIP. Apakah cara berpikir Megawati seperti ini bisa dibilang rasis?
“Say I’m actin’ light-skin, I can’t take you nowhere” – Drake, “Childs Play” (2016)
Nama Drake mungkin menjadi nama yang pertama muncul di pikiran kita bila membayangkan sosok penyanyi rap (rapper) yang memiliki lirik-lirik emosional. Bagaimana tidak? Para rapper pada umumnya dikenal dengan lirik-lirik yang bersifat maskulin dan serba gagah.
Namun, keunikan rapper yang kerap jadi meme sejak single-nya yang berjudul Hotline Bling (2015) viral bukanlah hanya terletak pada lirik dan musiknya, melainkan pada identitas yang dimiliki oleh rapper asal Toronto, Kanada, tersebut. Drizzy (nama alias Drake) dikenal sebagai rapper hitam yang berkulit terang (lightskin).
Bila ditarik asal-usulnya, Drake memang bukanlah anak yang lahir di keluarga yang murni berdarah Afrika. Ayahnya, Dennis Graham, merupakan seorang keturunan Afrika-Amerika yang lahir di Memphis, Tennessee, Amerika Serikat (AS). Sementara, ibunya, Sandi Graham, merupakan seorang keturunan Yahudi-Kanada.
Kombinasi Dennis dan Sandi yang kini sudah bercerai ini akhirnya melahirkan seorang Aubrey Drake Graham – seorang rapper terkenal yang mungkin bisa dibilang berbeda dengan rappers lainnya yang mayoritas murni keturunan Afrika-Amerika. Predikat lightskin pun akhirnya melekat pada sosok Drizzy.
Figur Drake yang terkadang dibilang tidak masuk ke dalam kategori Afrika-Amerika maupun kulit putih ini setidaknya mirip dengan analogi yang dikeluarkan oleh Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PDIP pada akhir Juni, yakni analogi campuran “kopi dan susu” – seakan-akan ada “campuran” antara orang asli Papua dengan kelompok etnis Indonesia lainnya.
“Papua itu kan hitam-hitam ya. Maksud saya begini, waktu permulaan saya ke Papua, lha kok aku dewean yo (sendirian ya)? Makanya, waktu kemarin saya bergurau dengan Pak (Wakil Menteri Dalam Negeri/Wamendagri) Wempi. Kopi susu,” ujar Megawati.
Sontak saja, sejumlah pihak di media sosial (medsos) mempertanyakan maksud sang Ketum PDIP tersebut. Beberapa menilai bahwa pernyataan Megawati bernada rasis. Sementara, beberapa lainnya menganggap hal itu hanya candaan belaka.
Terlepas dari mana yang benar, pemikiran awal terkait “kopi susu” ini tentu berangkat dari suatu cara pandang. Mengapa pernyataan Megawati bisa dibilang rasis – dan juga bisa dibilang berbeda dengan rasisme?
Colorism vs Rasisme
Secara umum, rasisme dapat dipahami sebagai gagasan yang membeda-bedakan orang berdasarkan etnis, warna kulit, dan ras yang diasosiasikan dengan nilai (value) dan perilaku dari kelompok tersebut. Setidaknya, definisi ini pula yang diungkapkan oleh Adam Kuper dan Jessica Kuper dalam buku mereka yang berjudul The Social Encyclopedia.
Namun, bila kita kembali ke kasus Drake, mungkinkah juga termasuk dalam kasus rasisme? Pasalnya, pelabelan lightskin pada Drake bukan hanya dilakukan di kelompok orang kulit putih – atau Kaukasia, melainkan marak terjadi di komunitas Afrika-Amerika sendiri.
Muncul sebuah asumsi di bawah alam sadar masyarakat Afrika-Amerika di AS bahwa Drake tidaklah cukup “hitam” bagi mereka. Ini pun tidak hanya terjadi pada Drake, melainkan juga pada rapper lainnya bernama Sir Robert Bryson Hall II alias Logic yang lahir dari ayah Afrika-Amerika dan ibu Kaukasia.
Berbeda dengan Drake yang tidak sering membahas identitas lightskin-nya, Logic justru secara vokal mempersoalkan anggapan bahwa dirinya tidak cukup “hitam” bagi komunitas rap yang mayoritas diisi oleh kelompok Afrika-Amerika. Bahkan, Logic mengungkapkan bahwa ini adalah kesulitan yang dihadapinya sebagai biracial.
Padahal, baik Drake maupun Logic sama-sama memiliki darah keturunan Afrika-Amerika. Namun, mengapa mereka harus dikotakkan pada kategori kelompok yang berbeda dengan saudara-saudarinya sendiri?
Bukan tidak mungkin, konsep rasisme tidak cukup menjelaskan fenomena-fenomena seperti Drake dan Logic. Sejumlah pakar akhirnya tertarik dengan konsep lain yang menjelaskan fenomena demikian, yakni colorism.
Alice Walker dalam salah satu esainya di bukunya yang berjudul In Search of Our Mothers’ Gardens mendefinisikan colorism sebagai perlakuan berbasis prasangka dan preferensi atas kelompok yang masih satu ras yang didasarkan hanya pada warna atau nada kulit.
Inilah mengapa akhirnya muncul label-label pembeda di antara mereka-mereka yang sebenarnya masih satu ras atau etnis, seperti lightskin, biracial, mulatto (untuk campuran keturunan Afrika dan Kaukasia), dan mestizo (untuk campuran keturunan Spanyol dan warga pribumi). Mungkin, di Indonesia, sebutan seperti ini lebih dikenal dengan istilah blasteran.
Bila berkaca dari konsep colorism yang ada di AS, apakah hal yang sama juga terjadi di Indonesia? Mungkinkah ini juga yang mendasari pemikiran di balik pernyataan “kopi susu” Megawati terkait orang Papua?
Café con Crema ala Megawati?
Visi tercampurnya kelompok etnis Papua dengan etnis-etnis lain di Indonesia sebenarnya bukanlah pemikiran yang baru dan mentah. Pemikiran ini adalah konsep yang dituliskan oleh Tanya Hernandez sebagai multiracial matrix dalam tulisannya yang berjudul Multiracial Matrix: The Role of Race Ideology in the Enforcement of Antidiscrimination Laws, a United States-Latin America Comparison.
Hernandez berpendapat bahwa campuran antara kelompok-kelompok rasial bisa menjadi jembatan antar-kelompok rasial itu sendiri sehingga demarkasi antara kelompok-kelompok tersebut bisa terdekonstruksi. Dengan begitu, harmoni rasial (racial harmony) bisa terbangun.
Angela P. Harris dari University of California, Berkeley, dalam tulisannya yang berjudul From Color Line to Color Chart? mencontohkan multiracial matrix ini dengan sosok Presiden ke-44 AS Barack Hussein Obama yang memiliki ayah Afrika-Amerika dan ibu Kaukasia. Obama, mengacu pada Harris, mampu menjadi magnet baik bagi kelompok putih maupun bagi kelompok Afrika-Amerika.
Kehadiran sosok Obama ini memunculkan istilah lain yang menarik – bahkan bisa dibilang mirip dengan istilah yang dikeluarkan oleh Megawati. Bila Ketum PDIP tersebut menggunakan istilah “kopi susu”, Harris dalam tulisannya menyebutnya sebagai “café con crema” – yakni kopi dengan krim dalam Bahasa Spanyol.
Bukan tidak mungkin, dengan pencampuran kelompok etnis Papua dengan etnis-etnis lain di Indonesia bisa menghasilkan kondisi multiracial matrix – yang mana akhirnya menghapus perdebatan pada level rasial. Mimpi “kopi susu” ala Megawati ini akhirnya pun menjadi beralasan.
Namun, memang konsep multiracial matrix terdengar menjanjikan dan menyenangkan – apalagi bila memang benar berhasil mengakhiri perdebatan rasial antar-kelompok. Namun, pencampuran antar-etnis dan antar-ras tidak begitu saja menghilangkan jebakan lain – yang mana muncul akibat colorism.
Seperti yang dijelaskan di atas, colorism akhirnya muncul akibat kategorisasi terhadap warna kulit. Persoalannya adalah colorism bukanlah hal yang hanya terjadi di AS, melainkan juga di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Pembedaan berdasarkan warna kulit bukanlah rahasia lagi bila telah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Mengacu pada tulisan L. Ayu Saraswati yang berjudul “Malu”, warna kulit seakan-akan menunjukkan hierarki antar-kelompok di Indonesia – menciptakan rasa malu bagi mereka yang memiliki kulit berwarna gelap.
Di sisi lain, colorism seperti yang terjadi di AS bisa saja malah juga hadir di Indonesia – malah memunculkan label-label baru bagi mereka yang tergolong sebagai apa yang dibilang Megawati sebagai “kopi susu”. Belum lagi, masih ada standar dan nilai yang dianggap lebih dominan dari kelompok-kelompok yang juga lebih dominan. (A43)