PKB bersama Gerindra yang membentuk koalisi di pemilihan umum (Pemilu) 2024 seolah menyalip PDIP sebagai parpol yang selama ini tampak dekat dengan sang Ketua Umum (Ketum) Prabowo Subianto. Lalu, mungkinkah hal itu menjadi indikasi awal bahwa Megawati dan Prabowo akan pecah kongsi di 2024?
Saat sejumlah pihak menilai bahwa PDIP akan menjadi partai politik (parpol) paling awal yang berkoalisi dengan Partai Gerindra jika berkaca pada relasi Ketua Umum (Ketum) Prabowo Subianto dengan Megawati Soekarnoputri, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) membawa PKB seolah menikung partai banteng.
Itu terjadi setelah Cak Imin menyambangi Prabowo di Kertanegara, Jakarta Selatan pada Sabtu (18/06) pekan lalu. Dalam pertemuan tersebut, Partai Gerindra dan PKB bermufakat untuk menjalin kerja sama mempersiapkan serangkaian agenda di pemilihan umum (Pemilu) 2024, termasuk pemilihan presiden (Pilpres).
Sebagaimana yang ditegaskan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra Ahmad Muzani, mufakat politik bernama koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) itu sekaligus memperkuat status Prabowo sebagai calon presiden (capres) pada 2024.
Sementara itu, PKB melalui Wakil Ketua Umum (Waketum) DPP Jazilul Fawaid hanya menyiratkan bahwa Partai Gerindra dan Prabowo merupakan pilihan realistis sebagai mitra koalisi untuk memasangkan capres dan cawapres sampai saat ini. Hal itu agaknya berangkat dari koalisi Semut Merah dengan PKS yang tampak kurang menjanjikan.
Meskipun begitu, gagasan untuk menempatkan Cak Imin sebagai calon wakil presiden (cawapres) pendamping Prabowo tak lantas menemui relevansinya. Itu dikarenakan riwayat gaung Ketum PKB itu selama ini dikenal hanya sebatas upaya menaikkan daya tawar politik.
Masih lowongnya posisi pendamping Prabowo tentu membuka ruang tafsir mengenai siapa dan dari partai politik (parpol) mana sosok itu berasal.
Salah satu perspektif datang dari Direktur Pusat Riset Politik, Hukum, dan Kebijakan Indonesia Saiful Anam yang mengatakan pembentukan KIR merupakan salah satu upaya Prabowo untuk memperkuat daya tawar Gerindra di hadapan PDIP.
Menurutnya, status Prabowo yang terus diperkuat sebagai capres akan bermuara pada pemasangan secara paksa antara Menteri Pertahanan (Menhan) itu dengan Puan Maharani dalam Pilpres 2024.
Menarik kiranya memang untuk memberikan sorotan pada PDIP karena selain terkesan ditikung lebih awal oleh PKB, partai besutan Megawati itu seolah ditinggalkan oleh parpol lain dalam penjajakan koalisi.
Mempertajam fokus perhatian dari sudut pandang lain lantas menjadi esensial, ketika bisa saja ada kemungkinan bahwa dari sisi Prabowo ataupun dari sisi Megawati masih terdapat keengganan atas alasan tertentu untuk berkoalisi meskipun secara kasat mata hubungan keduanya tampak baik-baik saja.
Jika impresi keengganan terus berlanjut dari kedua belah pihak, bukan tidak mungkin PDIP dan Partai Gerindra akan benar-benar urung berada dalam satu barisan di Pilpres 2024.
Lalu, hal apakah yang kiranya membuat Prabowo dan Megawati tak akan berada dalam satu kongsi politik?
Benturan Egoisme Prabowo dan Megawati?
Untuk memahami tertahannya kerja sama konkret antara Partai Gerindra dan PDIP dalam koalisi politik sampai saat ini, sebuah upaya memperkuat status Prabowo sebagai capres kiranya dapat dijadikan titik tolak.
Teori mengenai etika, yakni egoisme dari masing-masing aktor agaknya dapat menjadi alat untuk memahami kesan deadlock tak kasat mata antara Prabowo dan Megawati.
James Rachels dalam Egoism and Moral Skepticism menjelaskan apa yang disebut sebagai egoisme etis yang memiliki makna bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest).
Ketika egoisme etis muncul, etika seketika tidak berguna. Begitupun dengan altruisme yang tak menemui relevansinya di mana kecenderungan semacam ini acapkali lumrah dalam politik.
Lebih lanjut, Rachels merinci bagaimana etika etis bekerja yaitu terlepas dari bagaimana manusia sebenarnya berperilaku, mereka menganggap tidak memiliki kewajiban untuk melakukan apapun kecuali apa yang menjadi kepentingan mereka sendiri.
Seseorang kerap membenarkan diri dalam melakukan apa yang menjadi kepentingannya sendiri, terlepas dari efeknya pada orang lain. Dengan kata lain, dua aktor yang memiliki egoisme etis akan selalu berbenturan dan cenderung akan sulit berpadu.
Dalam bahasa yang lebih sederhana seperti analogi dalam sepak bola, egoisme yang wajar dari seorang striker terkadang dapat menjadi bumerang bagi tim. Itulah mengapa di era modern hampir tidak ada tim yang menerapkan formasi dengan dua striker murni.
Sebuah publikasi berjudul Inverting the Pyramid yang ditulis oleh Jonathan Wilson menyebutkan dua striker dalam formasi klasik 4-4-2 realitasnya bertransformasi menjadi 4-4-1-1 – jika berkaca eksistensi dua striker yang sering kali tidak efektif.
Sekali lagi, ketika merefleksikannya kembali pada politik, egoisme dari dua aktor dengan level yang setara hampir mustahil dapat menelurkan hasil yang positif dikarenakan tiap-tiap aktor memiliki kepentingan yang kontradiktif.
Dalam konteks indikasi kebuntuan antara Partai Gerindra dan PDIP, kepentingan Prabowo sebagai capres kiranya masih berbenturan dengan kepentingan mengusung sosok capres – bukan cawapres – yang juga dimiliki partai besutan Megawati.
Terdapat dua hal yang agaknya melandasi egoisme etis dari sudut pandang dan riwayat PDIP. Pertama, Megawati tak pernah sekalipun jadi aktor pengusung cawapres dalam pemilu pasca Reformasi.
Hanya pada Pilpres dengan mekanisme unik di tahun 1999 yang membuat Megawati mengikuti pemilihan wakil presiden setelah kalah dari Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di ajang pilpres di edisi yang sama.
Kedua, Megawati yang kemungkinan berpikir bahwa PDIP kini memiliki modal mumpuni sebagai parpol pemenang di 2019 serta memiliki kader internal yang diperhitungkan seperti Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo maupun sokongan ambisius pada sosok Puan Maharani.
Sementara itu, Gerindra pun kiranya memiliki egoismenya sendiri. Selain sosoknya yang selalu berada teratas dalam survei elektabilitas di Pilpres 2024, Prabowo kemungkinan melihat PDIP dan Megawati sebagai calon partner yang kurang menjanjikan di masa depan jika mengacu pada aspek regenerasi partai hingga sejumlah intrik internal belakangan ini.
Ditambah dengan inisiatif dari PKB yang memastikan pemenuhan prasyarat presidential threshold, bukan tidak mungkin egoisme etis Partai Gerindra dan Prabowo bertambah untuk kemudian akan dengan mudah mengabaikan PDIP ke depannya.
Artinya, hubungan baik yang selama ini tampak dari Prabowo dan Megawati hanya menjadi drama front stage atau panggung depan seperti konsep dramaturgi yang dikemukakan Erving Goffman.
Lantas, pertanyaan berikutnya muncul. Akan seperti apa konfigurasi capres dan cawapres yang paling memungkinkan bagi Partai Gerindra jika pada akhirnya tak bersatu dengan PDIP di Pilpres 2024?
Prabowo Serap Ilmu Jokowi?
Eksistensi PKB sebagai mitra koalisi Partai Gerindra tampak cukup menarik. Selain mengurangi daya tawar PDIP secara tidak langsung di hadapan Prabowo, PKB juga dapat menjadi fasilitator sosok cawapres ideal bagi eks-Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus itu.
Kendatipun hubungan PKB dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sempat berada dalam ketegangan setelah Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf menegaskan organisasinya bukan alat politik parpol, tak lantas menutup probabilitas bahwa cawapres Prabowo tak berasal dari organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan terbesar di tanah air tersebut.
Apalagi Prabowo sendiri sebelumnya tampak telah melakukan pendekatan dengan kelompok Nahdlatul Ulama (NU) dalam safari Lebaran bulan lalu. Tercatat, Prabowo menemui sejumlah ulama saat bersilaturahmi ke pondok pesantren NU di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ziarah Prabowo ke pusara Presiden RI keempat Gus Dur juga dinilai memiliki makna istimewa. Pun dengan makna kunjungannya ke kediaman K.H. Habib Muhammad Luthfi bin Yahya atau Habib Luthfi di Pekalongan.
Nama Habib Luthfi lantas patut menjadi perhatian dan di titik ini bukan tidak mungkin Prabowo akan didampingi sang ulama karismatik sebagai cawapres, mengingat strategi merangkul ulama moderat berhasil membawa Joko Widodo (Jokowi) memenangkan Pilpres 2019.
Andar Nubowo dalam Explaining the Political Crossover of Islamic Conservatism in Indonesia’s 2019 Presidential Election melihat adanya persilangan antara kelompok Islam konservatif dan moderat di Pilpres 2019 yang pada akhirnya dimenangkan kubu moderat.
Seraya dengan kekuatan inherennya, Nubowo mengatakan bahwa Jokowi kala itu mengonsolidasikan pemilih Muslim moderat bersama K.H. Ma’ruf Amin dan di saat yang sama berhasil meredam kubu konservatif yang menariknya ketika itu dikapitalisasi Prabowo.
Akan tetapi, penjabaran di atas masih sebatas terkaan semata. Koalisi politik dalam sistem multi-partai yang begitu cair bisa saja memberikan kejutan yang boleh jadi sama sekali tak terduga dalam beberapa waktu ke depan. (J61)