Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan akan berkunjung ke Moskow dan bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin untuk membicarakan sejumlah isu global seperti KTT G20 2022 dan konflik Rusia-Ukraina. Mungkinkah ini jadi cara Jokowi manfaatkan Putin?
“‘Cause I heard you found somebody else and it breaks my heart and hurts like hell” – LANY, “sad” (2020)
Tidak ada yang mudah ketika kita memulai usaha untuk mendekati seseorang – katakanlah orang tersebut adalah orang yang kita suka. Sejumlah langkah – dan mungkin strategi yang taktis – diperlukan agar bisa memenangkan hati sang crush.
Kala bertemu dengan orang baru di aplikasi perjodohan (dating apps), misalnya, upaya-upaya pendekatan pun perlu dilakukan secara bertahap. Bila salah langkah, upaya untuk mendekati bisa berujung pada hasil yang tidak sesuai ekspektasi.
Semula, semua dimulai dengan basa-basi di ruang percakapan (chatroom) yang tersedia dalam aplikasi. Ini pun tidak mudah. Pembahasan harus bisa terus mengalir. Pada intinya, diperlukan kesamaan di tingkat tertentu agar percakapan terus mengalir.
Bila percakapan di chatroom – ataupun percakapan telepon – bisa berjalan dengan lancar, langkah selanjutnya adalah meet-up (bertemu). Meski terkesan cocok ketika berkomunikasi jarak jauh, bukan tidak mungkin meet-up bisa berjalan tidak sesuai ekspektasi.
Bisa dibilang, tahap pertemuan ini menjadi penting. Pasalnya, di tahap ini, kita akan menyajikan diri kita yang sebenarnya secara fisik – bukan hanya suara atau foto yang mudah ditransmisikan melalui jaringan internet.
Tampaknya, tahap ini tengah diupayakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mungkin berusaha mendekati Presiden Rusia Vladimir Putin. Setelah sebelumnya bercakap-cakap melalui perangkat telepon, Jokowi dikabarkan akan berkunjung ke Rusia untuk bertemu dengan sosok pria yang kontroversial di belahan bumi Barat tersebut.
Pertemuan itu rencananya akan dilakukan pada 30 Juni 2022 mendatang. Sejumlah isu strategis dan ekonomi disebut akan menjadi pokok pembahasan antara Jokowi dan Putin.
Seperti tahap-tahap pendekatan di dating apps, langkah pertemuan ini bukan tidak mungkin akan menentukan nasib hubungan Jokowi dan Putin. Bahkan, kabarnya, pertemuan ini akan menentukan nasib dunia – yang mana kabarnya Jokowi akan membujuk Putin agar mengizinkan ekspor gandum Ukraina secara global.
Namun, bisa dibilang, pertemuan ini merupakan bentuk ketidaksabaran Jokowi untuk bertemu Putin. Pasalnya, sang presiden sebenarnya sudah berkunjung ke Sochi, Rusia, dan mengadakan pertemuan bilateral dengan presiden Rusia pada tahun 2016 silam.
Seharusnya, giliran Putin yang berkunjung ke Indonesia untuk membalas kunjungan Jokowi. Kunjungan balasan ini rencananya akan dilakukan sekaligus menghadiri KTT G20 2022 di Bali pada November mendatang.
Lantas, mengapa Jokowi tampak terburu-buru mengunjungi Moskow dan bertemu dengan Putin? Apa yang sebenarnya diharapkan oleh Jakarta dari Kremlin?
Jokowi Butuh Putin?
Invasi yang dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina bisa dibilang telah membuat perekonomian dunia memburuk – dan ini menjadi salah satu situasi yang mengancam kepentingan Jokowi di Indonesia. Pasalnya, Jokowi sendiri merupakan presiden yang selalu mengutamakan ekonomi, perdagangan, dan investasi dalam kebijakan luar negerinya.
Bila menggunakan kategorisasi kepemimpinan diplomatik dari Corneliu Bjola dalam tulisan Diplomatic Leadership in Times of International Crisis, Jokowi bisa jadi jatuh dalam kategori diplomat the pragmatist – di antara dua lainnya yakni the maverick dan the congregator. Diplomat yang masuk dalam kategori tersebut adalah diplomat yang mengutamakan hubungan mutual dengan negara lain – yakni saling menguntungkan.
Bukan tidak mungkin, hubungan-hubungan menguntungkan yang diinginkan oleh sang diplomat pragmatis ini dapat terganggu dengan adanya tensi-tensi geopolitik yang sekarang terjadi di antara kekuatan-kekuatan besar, seperti Amerika Serikat (AS), Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan Rusia. Oleh karena itu, penting bagi pemerintahan Jokowi untuk menjaga otonomi strategisnya (strategic autonomy) – yakni bisa bebas menentukan hubungan mutual yang diinginkan tanpa terpengaruh kekuatan lain.
Bila kini Tiongkok dan AS berusaha mendekati pemerintah Indonesia, Jokowi bukan tidak mungkin ingin memainkan strategi lebih besar dengan menggandeng Rusia juga. Lagipula, Rusia kini juga menjadi salah satu kekuatan besar yang “memporak-porandakan” keseimbangan kekuatan di kawasan Eropa.
Rusia pun bisa memberikan manfaat tertentu bagi pemerintahan Jokowi. Dalam program pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan, misalnya, pemerintah Rusia telah menyatakan ketertarikannya untuk memberikan bantuan dalam pembangunan dan pengembangan IKN Nusantara. Belum lagi, Rusia disebut bisa menjual minyak dengan harga murah pada Indonesia.
Dengan manfaat yang bisa didapatkan, penting bagi Jokowi untuk melakukan strategi hedging (pembatasan). Mengacu pada tulisan Cheng-Chwee Kuik yang berjudul Getting Hedging Right, strategi hedging merupakan strategi yang dilakukan oleh sebuah negara untuk menjaga posisi tengah – dengan memainkan taktik-taktik lain seperti balancing (pengimbangan) dan bandwagoning (ikut serta).
Strategi hedging ini kerap dilakukan sejumlah negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura. Negara-negara ASEAN ingin diri mereka tidak perlu memilih salah satu kekuatan geopolitik – seperti Tiongkok dan AS – agar bisa memiliki lebih banyak opsi-opsi skenario just-in-case (bila terjadi sesuatu).
Bukan tidak mungkin, Rusia menjadi jawaban Jokowi untuk menjaga strategi hedging yang dijalankannya. Namun, Rusia sendiri bisa dibilang tidak memiliki pengaruh sekuat Tiongkok maupun AS di kawasan Indo-Pasifik – baik secara ekonomi maupun keamanan.
Maka dari itu, boleh jadi, Rusia bisa menjadi strategi yang lebih besar yang tengah dijalankan oleh Jokowi. Lantas, permainan apa yang sebenarnya tengah dimainkan oleh Indonesia? Lalu, mengapa Rusia yang dipilih?
Permainan Cemburu ala Jokowi?
Seperti yang kita ketahui, Rusia kini tengah menjadi sorotan dunia – khususnya di belahan bumi Barat. AS dan sekutu-sekutunya berusaha mengalienasi Rusia dari sistem internasional yang terbangun akibat konflik yang terjadi di Ukraina.
Berbagai sanksi pun dilontarkan oleh AS kepada Rusia. Bahkan, tidak jarang, Presiden AS Joe Biden mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menuding Putin sebagai pihak yang jahat.
Pernyataan-pernyataan seperti ini bukan tidak mungkin didasarkan pada emosi – melihat dari narasi-narasi di media dan publik yang mempersoalkan kekejian Rusia di perang Ukraina. Jelas saja apabila dikotomi antara sisi baik dan sisi jahat turut terbangun.
Mengacu pada tulisan Brent Sasley yang berjudul Emotions in International Relations, emosi merupakan salah satu komponen yang penting dalam politik antar-negara yang didasarkan pada perilaku dan tindakan negara-negara tersebut. Pasalnya, emosi lah yang mendasari perilaku mereka.
Pertemuan Jokowi dengan Putin, misalnya, bisa saja mempengaruhi emosi para pengambil kebijakan di Washington. Apalagi, Putin adalah sosok yang menjadi musuh publik utama bagi belahan bumi Barat.
Bukan tidak mungkin, rencana pertemuan ini merupakan signaling bagi pemerintahan Biden di AS. Sejalan dengan penjelasan Christer Jansson dalam Diplomacy, Communication and Signaling, sikap non-verbal seperti ini pun bisa menjadi pesan bagi negara-negara lain.
Namun, bila benar ini merupakan signaling Jokowi kepada Washington, pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan? Mengapa Jokowi bisa jadi ingin menyulut emosi Biden dan negara-negara Barat lainnya?
Seperti yang diketahui, selain menghadapi Rusia, pemerintahan Biden di AS juga harus menghadapi tensi geopolitik dengan raksasa lainnya, yakni Tiongkok. Indonesia pun menjadi salah satu komponen penting dalam strategi Indo-Pasifik AS.
Meski begitu, ada sentimen di antara negara-negara ASEAN – termasuk Indonesia – bahwa AS seperti ingin bertindak sendiri tanpa melibatkan mereka dalam menghalau pengaruh Tiongkok. Kehadiran pakta pertahanan antara AS, Britania (Inggris) Raya, dan Australia (AUKUS), serta Quadrilateral Security Dialogue (Quad) membuat peran Indonesia dan ASEAN seperti dilewatkan (bypassed) begitu saja.
Di sisi lain, ASEAN tidak ingin AS memaksa mereka untuk memilih salah satu pihak. Bagi Indonesia dan negara-negara ASEAN, memilih salah satu pihak sama saja dengan membuat instabilitas kembali ke kawasannya layaknya era Perang Dingin.
Maka dari itu, Jokowi bukan tidak mungkin menyampaikan pesan kepada Washington dan Biden bahwa Indonesia bisa menentukan jalannya sendiri – salah satunya dengan berbicara dengan sosok yang paling mereka benci, yakni Putin. Siapa tahu dengan begitu “kecemburuan” pun muncul – mengingat Indonesia jadi salah satu mitra strategis AS?
Permainan cemburu seperti ini sebenarnya juga pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno pada era Perang Dingin – khususnya terkait perebutan Irian Barat (sekarang Papua). Kala itu, Soekarno memberi tahu Washington bahwa dirinya akan dibantu oleh Uni Soviet untuk merebut Irian Barat. Sontak saja, AS langsung meminta Belanda untuk melepaskan Irian Barat.
Boleh jadi, strategi inilah yang tengah dimainkan oleh Jokowi. Harapannya, Biden di Washington bisa mendengarkan lebih baik aspirasi negara-negara ASEAN – sehingga tidak hanya sibuk sendiri membangun keamanan kolektif bersama Jepang, Australia, dan India.
Seperti manusia pada umumnya, negara pun bisa tergerak melalui emosi-emosi seperti rasa cemburu. Bukan tidak mungkin, layaknya sedang pendekatan dan pacaran, rasa cemburu seperti ini bisa membuat doi mendengarkan lebih baik. Bukan begitu? (A43)