Dalam reshuffle kabinet pada 15 Juni 2022, politisi PDIP John Wempi Wetipo digeser dari Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Wamen PUPR) menjadi Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri). Apakah ini bentuk kekhawatiran Megawati terhadap Tito Karnavian?
Reshuffle atau perombakan kabinet yang dinanti akhirnya terjadi. Seperti biasa, perombakan kabinet terjadi pada hari Rabu, tepatnya 15 Juni 2022. Ada dua menteri dan tiga wakil menteri yang dilantik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Mereka adalah Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang menggantikan M. Lutfi sebagai Menteri Perdagangan (Mendag), mantan Panglima TNI Hadi Tjahjanto menggantikan Sofyan Djalil sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sekretaris Dewan Pembina PSI Raja Juli Antoni menggantikan Surya Tjandra sebagai Wakil Menteri ATR/BPN, Sekretaris Jenderal PBB Afriansyah Noor sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), dan politisi PDIP John Wempi Wetipo digeser dari Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Wamen PUPR) menjadi Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri).
Empat pos pertama dapat disebut sebagai politik akomodasi. PAN telah masuk koalisi sehingga partai biru layak diberi jatah kursi. Hadi Tjahjanto adalah orang kepercayaan Jokowi.
Sementara, Raja Juli dan Afriansyah Noor diberikan wakil menteri karena PSI dan PBB tidak masuk parlemen. Kasusnya mirip dengan Perindo yang diberikan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf).
Nah, dari kelima pos baru itu, yang paling menarik adalah pergeseran John Wempi Wetipo. Ini jelas bukan politik akomodasi karena kursi PDIP tidak bertambah. Posisinya juga tidak berubah menjadi menteri, melainkan tetap wakil menteri (wamen).
Tentu, pertanyaannya sederhana. Mengapa Wempi Wetipo digeser ke Wamendagri? Perhitungan politik apa yang membuat Megawati Soekarnoputri meminta pergeseran itu?
Politik Jalan Tengah?
Jika kita mengikuti isu perombakan kabinet, posisi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) telah lama dikait-kaitkan dengan PDIP. Sebelumnya ada isu akan terjadi tukar guling antara Tjahjo Kumolo dengan Tito Karnavian.
Tito menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB), sementara Tjahjo menjadi Mendagri. Isu lainnya, Tri Rismaharini (Risma) yang disebut menjadi Mendagri.
Entah siapa pun itu, yang jelas, Tjahjo dan Risma adalah politisi PDIP. Munculnya isu ini merupakan afirmasi kuat bahwa partai banteng mengincar kursi yang diduduki Tito. Lantas, apa pentingnya posisi Mendagri bagi PDIP?
Alasannya sederhana dan sangat vital, yakni pemilihan penjabat (Pj) kepala daerah. Mungkin dapat dikatakan, secara politik, pandemi Covid-19 merupakan suatu berkah. Pemilihan berbagai kepala daerah digeser ke 2024. Imbasnya, pemerintah melalui Kemendagri mendapat mandat untuk memilih Pj kepala daerah.
Posisi kepala daerah sangat penting bagi partai politik. Tidak sebatas sebagai simbol prestasi partai, secara khusus, itu demi mengamankan pemilihan legislatif (pileg). Lantas, dengan peran sebesar itu, serta ambisi PDIP untuk kembali menang di Pileg 2024, mengapa posisi Tito tidak digeser?
Jawabannya sederhana. Tito terlalu kuat untuk digeser. Sama seperti Hadi Tjahjanto, Tito merupakan salah satu orang yang paling dipercaya Jokowi. Pembuktian sederhana atas itu adalah pernyataan politisi senior PDIP, Trimedya Panjaitan, pada 16 Juni 2016.
Terangnya, PDIP terkejut dengan keputusan Jokowi yang menunjuk Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri karena namanya tidak masuk ke dalam daftar nama yang diajukan Dewan Jabatan Kepangkatan Tinggi Polri ataupun Komisi Kepolisian Nasional.
“Dari dua nama yang awalnya diberikan dan kemudian diberikan satu lagi, enggak ada namanya pak Tito. Makanya kita surprise,” ungkap Trimedya.
Terlebih lagi, Tito merupakan Kapolri termuda saat itu. Ia melompati empat angkatan, yakni 1983, 1984, 1985, dan 1986. Mengacu pada tradisi hierarkis militer dan kepolisian, butuh kepercayaan yang tinggi dari Presiden Jokowi untuk mengambil keputusan itu. Kita tentu ingat, salah satu senior yang dilangkahi adalah Budi Gunawan (BG), sosok yang disebut begitu dekat dengan Megawati.
Dengan konteks kedekatan personal dan pentingnya posisi Mendagri, ini merupakan rintangan besar bagi PDIP untuk mendapatkan pos Mendagri yang sebelumnya diperoleh pada kabinet periode pertama. Oleh karenanya, patut diduga pos Wamendagri adalah win-win solution atau jalan tengah.
Dalam game theory (teori permainan), ini dikenal sebagai non-zero-sum game. Ini merupakan situasi yang kontras dengan zero-sum game, di mana hanya salah satu pihak yang mendapat keuntungan. Dalam non-zero-sum game, kedua pihak yang berkompetisi atau terlibat sama-sama mendapatkan keuntungan.
Di titik ini, kedua pihak, yakni Presiden Jokowi dan Megawati mendapatkan keuntungan. Bagi Jokowi, Tito sebagai orang kepercayaannya bertahan sebagai Mendagri. Sementara Megawati mendapatkan pos di Kemendagri, meskipun sebagai wakil menteri. Kursi Wamendagri juga memang kosong.
Kehebatan sekaligus Kekhawatiran Megawati?
Selain sebagai win-win solution atau non-zero-sum game, pergeseran posisi Wempi Wetipo juga menunjukkan kelihaian politik Megawati. Ada dua alasan untuk ini.
Alasan pertama, entah kebetulan atau tidak, Wempi Wetipo dan Tito memiliki irisan dengan Papua. Wempi merupakan orang Papua, sementara Tito adalah Kapolda Papua pada 2012-2014. Mungkin Wempi dipilih agar Tito tidak merasa “terancam” dengan kehadirannya.
Kikue Hamayotsu dan Ronnie Nataatmadja dalam tulisannya Indonesia in 2015: The People’s President’s Rocky Road and Hazy Outlooks in Democratic Consolidation menjelaskan bahwa Megawati kerap memasang orang-orang favoritnya dalam jabatan strategis untuk mengontrol dan melemahkan pengaruh Presiden Jokowi.
Mengutip Hamayotsu dan Nataatmadja, Tito tentu sadar terdapat kepentingan politik PDIP yang ingin menempatkan orangnya di Wamendagri. Agar tidak terjadi ketegangan yang tidak diinginkan, partai banteng perlu memilih sosok yang membuat Tito tidak merasa terancam.
Alasan kedua, pergeseran ini sepertinya adalah langkah lanjutan dari strategi pemenangan PDIP. Perlu diingat, Kementerian PUPR adalah salah satu kementerian “basah”. Ada banyak proyek pembangunan yang ditangani.
Menggunakan kacamata politik realis dalam tulisan Hans J. Morgenthau yang berjudul The Evil of Politics and the Ethics of Evil, mungkin dapat dikatakan, setelah mengamankan logistik, sekarang saatnya mengamankan kebutuhan penempatan Pj kepala daerah.
Strategi ini mengikuti penjabaran kekuasaan (power) dari Alvin Toffler dalam buku Powershift. Menurut Toffler, kekuasaan merupakan akumulasi dari tiga kekuatan, yakni massa (muscle), logistik (money), dan strategi (mind). Setelah mendapatkan kekuatan logistik (money), sekarang PDIP butuh mengamankan banyak kepada daerah (muscle). Singkat cerita, pergeseran posisi Wempi merupakan bagian dari strategi besar (mind) PDIP untuk mengamankan target menang tiga kali berturut-turut di Pileg 2024.
Namun, di sini persoalannya menjadi menarik. Philip Chard dalam tulisannya Power can reveal how insecure a person is, menyebutkan bahwa perilaku menunjukkan atau mencari power ternyata berbanding lurus dengan tingkat ketidakpercayaan diri (insecure) seseorang.
Lebih lanjut, menurut Janne Autto dalam tulisannya Fear and insecurity in the politics of austerity, persoalan psikologis itu ternyata juga menghinggapi politisi.
Mengutip Chard dan Autto, non-zero-sum game PDIP atas penempatan Wempi sebagai Wamendagri dapat dimaknai sebagai bentuk ketidakpercayaan diri partai banteng atas ambisi hattrick-nya. Jika PDIP merasa di atas angin, untuk apa mereka sampai rela melakukan win-win solution dengan menerima pos Wamendagri?
Dengan demikian, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Megawati memiliki dua kekhawatiran. Pertama, ia khawatir atas keputusan Tito terkait penempatan Pj kepala daerah. Kedua, Megawati sebenarnya tidak sepercaya diri itu untuk kembali menang di Pileg 2024.
Well, sebagai penutup tentu perlu digarisbawahi bahwa sekelumit analisis dalam tulisan ini adalah interpretasi semata. Sebagai animal symbolicum seperti penuturan filsuf Ernst Cassirer, kita senantiasa membuat pemaknaan atas variabel-variabel politik yang bisa ditangkap. (R53)