Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan oleh pernikahan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, dengan adik Presiden Jokowi, Ida Yati. Pernikahan yang digelar pada Mei lalu tersebut dikhawatirkan akan memunculkan gesekan kepentingan-kepentingan, khususnya kepentingan politik.
Pernikahan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dengan adik Presiden Joko Widodo (Jokowi), Ida Yati, tidak bisa dilepaskan dari posisinya dalam menjalankan tugas mereka masing-masing, baik sebagai Ketua MK maupun Presiden. Dalam kasus ini, terdapat suatu benturan antara hak asasi individual dengan urusan publik penyelenggara negara.
Menikah merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang dilindungi serta dijamin dalam Pasal 28 B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang memiliki hak untuk membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan dengan melalui perkawinan yang sah.
Selain itu, menikah bahkan dimaknai kebanyakan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari pelaksanaan perintah agama. Sehingga, menikah merupakan bagian dari pengamalan hak kebebasan beribadah menurut agama dan kepercayaan yang dilindungi oleh Pasal 28 E ayat (1) serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Dalam hal ini, menikah merupakan urusan privat yang tidak boleh dicampuri, dihalang-halangi, atau bahkan dilarang. Sebaliknya, setiap agenda pernikahan seseorang harus selalu disyukuri karena merupakan momentum kebahagiaan.
MK didirikan sebagai salah satu implementasi prinsip checks and balances terhadap kekuasaan-kekuasaan yang ada di Indonesia, termasuk kekuasaan presiden sebagai pemimpin negara. Sehingga, terdapat suatu kekhawatiran publik terkait pernikahan ketua MK dengan adik presiden dalam hal hubungan individu/keluarga yang berpotensi mempengaruhi hubungan kelembagaan yang merupakan urusan publik, terutama dalam hal independensi lembaga serta ketidakberpihakannya dalam memutuskan perkara di persidangan.
MK sebagai Institusi Pencegah Gesekan Kepentingan
MK merupakan salah satu lembaga atau institusi yang mempunyai kerangka regulasi dalam mencegah terjadinya gesekan kepentingan-kepentingan politik. Kode etik MK diatur berdasarkan Peraturan MK Nomor 09/PMK/2006. Selain itu, MK juga mempunyai beberapa instrumen penegakan kode etik, yaitu Dewan Etik melalui PMK Nomor 2 Tahun 2013 serta Majelis Kehormatan MK sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 2 Tahun 2014.
Instrumen penegakan kode etik lainnya ialah di level sekretariat jenderal yang dibentuk melalui Peraturan Sekjen MK Nomor 18 Tahun 2015 tentang Pedoman Penanganan Benturan Kepentingan.
Berdasarkan “The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2022”, kode etik MK terdiri dari beberapa prinsip yang kemudian dijadikan sebagai pedoman serta penilaian terhadap perilaku hakim konstitusi. Prinsip-prinsip tersebut di antaranya ialah: independen, tidak berpihak, kepantasan/kesopanan, integritas, kesetaraan, keseksamaan/kecakapan, serta kearifan dan kebijaksanaan.
Dari prinsip-prinsip tersebut, yang dapat terpengaruhi oleh gesekan kepentingan ialah prinsip independen dan ketidakberpihakan. Implementasi prinsip independen ialah dengan cara harus menjaga independensi dari pihak eksekutif, legislatif, dan lembaga lainnya. Hakim MK juga harus mampu menunjukkan citra independen untuk memperkuat kepercayaan publik.
Selanjutnya ialah prinsip ketidakberpihakan, yang diperlukan dalam hal menjalankan wewenang supaya tidak melenceng atau condong kepada salah satu pihak. Prinsip ketidakberpihakan ini juga harus senantiasa ditunjukkan di dalam persidangan atau di luar agenda persidangan.
Setiap hakim MK harus mampu meminimalisir bahkan menghilangkan hal-hal yang dapat mengakibatkan dirinya tidak memenuhi syarat untuk melakukan tugasnya dalam memeriksa serta mengambil keputusan.
Tujuan dari diberlakukannya kode etik tersebut ialah untuk memelihara, menjaga, dan meningkatkan kompetensi, integritas pribadi, serta perilaku hakim MK sebagaimana diatur oleh peraturan MK itu sendiri. Selain itu, fungsi dari kode etik juga untuk menunjukkan independensi serta tidak berpihaknya MK dalam menjaga kepercayaan publik.
Dalam beberapa kondisi, seorang hakim memang dapat berada dalam pengaruh yang berbenturan dengan independensi serta ketidakberpihakannya, mengingat seorang hakim adalah manusia sama seperti kita. Akan tetapi, secara profesi, hakim merupakan negarawan yang tidak bisa boleh dipengaruhi atau terpengaruhi.
Meski begitu, kondisi gesekan kepentingan politik terhadap hakim MK tetap saja tidak boleh dibiarkan terjadi. Sebab, hal tersebut dapat mempengaruhi pandangan serta kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tertinggi negara tersebut.
Gesekan kepentingan, atau dengan bahasa lain ialah ‘konflik kepentingan’, merupakan situasi dan kondisi yang dapat mempengaruhi independensi serta ketidakberpihakan, sehingga menimbulkan keadaan bias dalam diri seseorang, dalam hal ini ketua hakim MK. Salah satu penyebabnya ialah adanya afilaisi baik hubungan darah, perkawinan, ataupun pertemanan.
Potensi Gesekan Kepentingan politik
Seorang hakim MK yang mempunyai hubungan keluarga dengan presiden berpotensi akan mengalami gesekan kepentingan politik dalam menjalankan wewenang dan tugas serta memutus perkara. Seperti dalam memutus perkara pendapat DPR terkait pelanggaran hukum oleh presiden. Bahkan, gesekan kepentingan dapat terjadi dalam agenda pengujian undang-undang (PUU) yang merupakan perkara yang paling sering ditangani MK.
Dalam setiap perkara PUU, kedudukan presiden secara normatif merupakan pemberi keterangan sebagai bagian dari pembentuk UU itu sendiri bersama DPR. Perkara PUU merupakan perkara untuk melihat bertentangan atau tidaknya norma yang ada di dalam UU dengan UUD 1945. PUU tersebut digelar dalam rangka mengadili pementuk UU sehingga kedudukannya sebagai pemberi keterangan.
Akan tetapi, dalam praktiknya, perkara PUU menunjukkan kedudukan serta peran pembentuk UU, termasuk presiden (kementerian tertentu), tidak hanya sebagai pemberi keterangan terkait proses pembentukan atau makna norma dalam UU yang tengah diuji. Sebagai pembentuk UU, DPR bersama pemerintah seringkali mempertahankan norma dalam UU yang tengah diuji tersebut.
Selain itu, pembentukan UU bukan hanya terkait penyesuaian norma yang diuji dengan UUD 1945. Namun, sering kali terjadi upaya pematahan permohonan dengan mempertanyakan legal standing pemohon yang bertujuan supaya permohonan tersebut ditolak.
Hingga saat ini, hanya ada satu kasus dimana pembentuk UU setuju dengan permohonan pemohon, yaitu ketika perkara PUU sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) mengenai anggaran 20 persen untuk pendidikan, termasuk gaji dosen dan guru.
Dengan begitu, hakim MK, termasuk ketua MK, akan mengalami gesekan kepentingan politik apabila mempunyai hubungan keluarga dengan presiden.
Peran Dewan Etik
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah hubungan ipar (adik/kakak) antara presiden dengan ketua MK merupakan hubungan keluarga yang wajar jika dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan kepentingan politik bagi ketua MK ketika memeriksa serta memutus perkara?
Menurut penulis, jawabannya bukan hanya terkait pengaruh dari hubungan ipar tersebut terhadap independensi dan ketidakberpihakan MK. Namun, hal yang tidak kalah penting adalah terkait berkurangnya kepercayaan publik terhadapa independensi dan ketidakberpihakan MK, khususnya ketua MK itu sendiri.
Untuk itu, upaya yang dapat dilakukan ialah dengan cara ketua MK membuat suatu pernyataan tertulis kepada Dewan Etik Hakim Konstitusi. Hal ini menjadi penting mengingat Dewan Etik memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa serta memberikan pendapat karena fenomena ini menjadi sorotan publik.
Perlu digarisbawahi, yang jadi persoalan, menurut penulis, ialah adanya potensi gesekan kepentingan politik ketika hakim sekaligus ketua MK tersebut ketika mempunyai hubungan keluarga dengan presiden. Bukan masalah pernikahannya. Karena perkara pernikahan merupakan hak asasi manusia dan sepenuhnya urusan privat yang tidak bisa dicampuri.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.