Drone Bayraktar TB2 Turki kian populer akibat kemampuannya dan menarik minat sejumlah negara untuk mengakuisisinya. Lantas, apakah itu merupakan simbol tertentu negara yang dipimpin Recep Tayyip Erdoğan? Akankah Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto ikut tertarik?
Konflik Rusia-Ukraina menjadi panggung bagi berbagai persenjataan termutakhir. Salah satu yang paling disorot adalah drone Bayraktar tipe TB2 yang diproduksi oleh perusahaan drone dan teknologi penerbangan terkemuka asal Turki, Baykar Technology.
Drone militer ini menjadi fenomenal semenjak digunakan militer Ukraina untuk memberikan serangan kejutan terhadap superioritas pasukan Rusia dari udara, lengkap dengan footage atau rekaman video serangannya.
Tak hanya itu, eksistensinya di Ukraina juga menjadi cerita tersendiri di mana satu yang terbaru datang dari Lithuania. Menteri Pertahanan (Menhan) Lithuania Arvydas Anusauskas mengatakan telah melakukan penggalangan dana yang rencananya akan digunakan untuk membeli drone Bayraktar TB2 dan memberikannya kepada Ukraina.
Kisah bak drama antarnegara tak berhenti sampai disitu. Baykar yang mengetahui hal tersebut, langsung merespons dan justru akan memberikan drone itu secara cuma-cuma kepada negara yang dipimpin Presiden Volodymyr Zelensky.
Dana sebesar 5 juta Euro yang sudah terkumpul lantas akan digunakan Lithuania untuk membeli amunisi yang dibutuhkan Bayraktar TB2 itu dan sisanya ditujukan sebagai bantuan kemanusiaan.
Oleh karena itu, drone Bayraktar seolah menjadi salah satu simbol penting perlawanan dan solidaritas melawan invasi Rusia. Hal itu persis seperti apa yang dikemukakan pendiri Baykar, Selcuk Bayraktar, yang merupakan menantu dari Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan.
Well, Turki di bawah kepemimpinan Erdoğan agaknya memang berusaha membangun citra sebagai negara yang mapan dalam percaturan militer, pertahanan, dan geopolitik kawasan dalam beberapa waktu terakhir.
Sebagai produk industri pertahanan kebanggaan, popularitas drone Bayraktar saat ini dinilai sepadan dengan kegigihan Turki yang terus berupaya kemandirian produksi alat utama sistem persenjataan (alutsista) dan terus diakselerasi di era Erdoğan.
Meskipun kisah dan reputasinya di konflik Rusia-Ukraina hanya terkonstruksi dari footage dan laporan media, drone Turki itu tetap menarik minat sejumlah negara. Bahkan, Erdoğan mengklaim bahwa permintaan internasional sangat besar untuk drone produksi Baykar, seperti Bayraktar TB2, serta yang terbaru, Akinci.
Nyatanya, popularitas Bayraktar tampak paralel dengan urgensi modernisasi persenjataan negara-negara di tengah ketidakpastian keamanan global, termasuk Indonesia yang belakangan gencar melakukan manuver transaksi sejumlah alutsista melalui Menhan Prabowo Subianto.
Lantas, apa yang dapat dimaknai dari kemasyhuran drone Bayraktar buatan Turki itu? Serta apakah Menhan Prabowo turut berminat mengakuisisinya?
Balas Dendam Erdoğan?
Ada yang menarik jika melihat transformasi industri pertahanan Turki yang direpresentasikan oleh Bayraktar. Perspektif realisme dalam hubungan internasional jelas menggambarkan latar belakangnya di tengah dunia yang anarki.
Teori arms military build up dan konsep turunannya, yaitu Revolution in Military Affairs (RMA) kiranya tepat untuk menjelaskan bangkitnya industri pertahanan Turki.
Wayne Mapp dalam Military Modernization and Build Up menjelaskan arms military build up untuk menggambarkan proses peningkatan kapabilitas militer oleh suatu negara. Peningkatan itu diwujudkan dalam bentuk peningkatan anggaran pertahanan, pengembangan industri pertahanan, penambahan pasukan, perubahan strategi, maupun peningkatan teknologi persenjataan.
Sementara itu, RMA dijelaskan Michael J. Thompson dalam publikasinya yang berjudul Military Revolutions and Revolutions in Military Affairs: Accurate Descriptions of Change or Intellectual Constructs?.
Thompson menyebut bahwa RMA merupakan revolusi atau perubahan secara cepat dalam bidang militer suatu negara yang tidak hanya meningkatkan secara kuantitas atau kualitas, tapi juga mengubah suatu pola atau cara yang telah dianut lama.
Ron Matthews dalam Managing the Revolution in Military Affairs menjelaskan lebih lanjut bahwa peningkatan itu dapat dikatakan RMA apabila terdapat tiga aspek perubahan, yaitu teknologi pertahanan, manajemen pertahanan, dan manajemen teknologi.
Jika ditelusuri, aspek peningkatan teknologi, manajemen, dan industri pertahanan Turki melesat sejak Erdoğan menjabat sebagai perdana menteri (PM) (2003-2014). Di samping potensi industri teknologi, dia juga begitu jeli memaksimalkan keunggulan geostrategis negeri Atatürk di pusat Mediterania sebagai kekuatan daya tawar.
Sekadar informasi, kepresidenan Turki awalnya merupakan posisi seremonial dengan otoritas eksekutif riil dijalankan oleh PM. Baru-lah amendemen pada tahun 2017 setelah upaya kudeta yang gagal setahun sebelumnya, membuat presiden memiliki kekuasaan eksekutif penuh.
Berangkat dari kondisi anarki, Erdoğan dihadapkan pada realita bahwa kerja sama pertahanan dengan sekutu Barat dan negara lain seperti Rusia maupun Tiongkok tidak berjalan mulus.
F. Stephen Larrabee dalam bukunya Troubled Partnership: U.S.-Turkish Relations in an Era of Global Geopolitical Change mengatakan transaksi persenjataan dengan Amerika Serikat (AS) pada periode awal Erdoğan menjabat PM, selalu terbentur dengan pembatasan pembelian atau procurement restrictions dan persyaratan berbelit.
Ini membuat Erdoğan bersama partainya Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP) yang sedang berkuasa, membangkitkan apa yang disebut oleh David Edgerton dalam The Contradictions of Techno-Nationalism and Techno-Globalism: A Historical Perspective sebagai teknonasionalisme (techno-nationalism).
Itu adalah gagasan bahwa keberhasilan suatu bangsa dapat ditentukan oleh seberapa baik bangsa itu berinovasi dan menyebarkan teknologi, tak terkecuali di bidang militer dan pertahanan. Nasionalis teknologi percaya bahwa upaya dan efektivitas riset teknologi nasional adalah pendorong utama bagi pertumbuhan, keberlanjutan, dan kemakmuran suatu bangsa secara keseluruhan.
Nyatanya, retorika yang berlandaskan “dendam” terhadap negara adidaya produsen alutsista tersebut berhasil. Alper Coşkun dalam Strengthening Turkish Policy on Drone Exports mengatakan teknonasionalisme menyertai peningkatan kepercayaan diri dan refleks yang kuat untuk meningkatkan pencapaian dan pengetahuan teknologi Turki. Ihwal yang diterjemahkan oleh industri pertahanan nasional, termasuk Baykar.
Awalnya, sektor ekspor senjata Turki kebanyakan adalah senjata kecil dan kendaraan personel lapis baja. Ekspor kemudian berkembang dan kini telah terdiversifikasi ke sejumlah alutsista seperti drone, rudal, kapal fregat, serta prospek penjualan kapal selam yang sedang dikembangkan.
Setelah teknonasionalisme menjadi dasar RMA, ekspor peralatan pertahanan dan kedirgantaraan Turki – termasuk drone – meningkat lebih dari dua kali lipat sejak tahun 2012 dengan torehan mencapai lebih dari US$3 miliar pada tahun 2021.
Menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute pada tahun 2020, ranking rata-rata Turki selalu melonjak enam tingkat dalam peringkat eksportir senjata global sejak 2015-2019.
Catatan itu sangat mungkin terus dipertajam Turki, utamanya saat melihat reputasi Bayraktar TB2 di konflik Rusia-Ukraina, Nagorno-Karabakh, Suriah, dan Libia. Apalagi, perkiraan pasar untuk drone militer akan tumbuh dari US$ 11,3 miliar pada tahun 2021 menjadi sekitar US$ 26,1 miliar pada tahun 2028.
Prospek dan dinamika drone militer ini bukan tidak mungkin memantik perhatian negara-negara yang sedang giat memodernisasi alutsista seperti Indonesia. Lantas akankan Menhan Prabowo terhipnotis oleh drone militer Erdoğan?
Simbol Ideal Prabowo?
Penggunaan drone militer yang mencakup tugas-tugas pengumpulan dan pengawasan intelijen hingga manajemen perbatasan, serta utilitas fleksibel mereka dalam kontra terorisme dan operasi tempur, memicu peningkatan permintaan benda terbang satu ini.
Potensi perpaduan antara kemajuan manajemen data dan kecerdasan buatan ke dalam teknologi drone militer, membuat tren permintaan itu semakin kuat.
Bagi Indonesia, perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah diterjemahkan oleh Menhan Prabowo dalam pembentukan satuan drone militer yakni Skadron Udara 51 di Pontianak dan Skadron Udara 52 di Natuna dalam lini TNI-AU.
Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo mengatakan bahwa skuadron itu diperkuat drone CH (Chang Hong)-4 Rainbow asal Tiongkok. Sayangnya, negara +62 baru memiliki enam unit CH-4 Rainbow. Meskipun ada drone Elang Hitam buatan dalam negeri, kemampuannya masih dalam tahap pengembangan.
Memang, berdasarkan sumber intelijen terbuka yang dihimpun PinterPolitik, di sudut lain Polri telah memiliki drone tempur Blowfish A3 Tiongkok yang tengah turun laga di Papua. Namun, tetap saja sektor militer harus menjadi perhatian Prabowo.
Dan drone militer Turki sekaligus bisa menjadi simbol politik Prabowo untuk menghindari potensi friksi atas pengadaan pesawat nirawak dari negara adidaya dengan instrumen sanksi embargonya.
Chandler Sachs and John V. Parachini dalam artikel berjudul Are Military Purchases in SE Asia for Political Balancing a Good Use of National Defense Resources? menyebutkan bahwa political symbolism atau simbolisme politik selalu mengiringi pengadaan alutsista negara-negara di Asia Tenggara. Asal negara alutsista selalu dipersepsikan sebagai “kecondongan” politik pada negara tersebut, yang terkadang bermakna tertentu dan menimbulkan masalah.
Itu misalnya terjadi ketika Filipina di bawah eks Presiden Rodrigo Duterte memutuskan untuk tidak lagi ketergantungan Barat saat membeli helikopter Mi-17 Rusia dibanding Sikorsky S-70 Blackhawk dari AS.
Sementara itu, negara di luar Asia Tenggara nyatanya juga mengalami persoalan serupa saat Uni Emirat Arab (UEA) tak mendapat restu AS untuk membeli drone Paman Sam pada 2020 lalu. UEA sebelumnya telah menjadi pelanggan setia drone Tiongkok dan AS khawatir teknologinya disalahgunakan serta justru jatuh ke tangan Xi Jinping.
Political symbolism dalam deal jet tempur Rafale asal Perancis tentu bisa menjadi benchmark Prabowo dalam pengadaan drone Baykar asal Turki sebagai alternatif logis.
Meski di saat bersamaan juga mengadakan kesepakatan atas pengadaan pesawat tempur F-15 EX asal AS, Rafale dinilai sebagai representasi “perimbangan kecondongan” Prabowo dan Indonesia.
Apalagi, drone produksi Baykar seperti Bayraktar TB2 sampai dijuluki flying Kalashnikov karena ketangguhan, teruji di medan tempur, namun memiliki harga lebih miring. Bayraktar lantas tampak jauh lebih menarik, sebut saja ketika dibandingkan dengan CH-4 Rainbow Tiongkok ataupun MQ-9 Reaper AS.
Tinggal pertanyaannya, apakah prioritas itu masuk dalam rencana Menhan Prabowo serta selaras dengan anggaran yang ada? Menarik untuk dinantikan kelanjutannya. (J61)