Dalam acara Rakernas V Projo, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai memberikan sinyal dukungan kepada Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo untuk maju di Pilpres 2024. Lantas, benarkah RI-1 memberikan political endorsement (dukungan politik) kepada sang Gubernur Jateng?
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Tradisi Politik Baru ala Jokowi?, telah dijelaskan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampak dapat meletakkan tradisi politik baru di Indonesia. Jika presiden-presiden sebelumnya gagal mempersiapkan penerus dan/atau memberikan political endorsement (dukungan politik) untuk presiden selanjutnya, sang mantan Wali Kota Solo tampaknya akan berbeda.
Pasalnya, berbagai kandidat potensial di Pilpres 2024 terlihat diproyeksikan sebagai pengganti Jokowi. “Siapa the next Jokowi?” tanya banyak pihak.
Kisah ini mirip dengan Sir Alex Ferguson. Sebagai pelatih terlama sekaligus tersukses Manchester United, berbagai pihak dihantui tanda tanya pada 2013 terkait siapa pengganti Sir Alex. Sangking berpengaruhnya, manajemen Manchester merah sampai meminta rekomendasi Sir Alex.
Singkat cerita, nama-nama besar seperti Louis van Gaal, Carlo Ancelotti, Jurgen Klopp, dan José Mourinho gugur. Pilihan Sir Alex jatuh kepada pelatih Everton, David Moyes – pilihan yang disesali Sir Alex di kemudian hari.
Nah, situasi Presiden Jokowi kira-kira seperti itu saat ini. Meskipun ia bukan petinggi PDIP – hanya kader biasa – dukungan politiknya begitu dinanti. Berbagai relawan pendukung Jokowi, seperti Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi dan Pro Jokowi (Projo), juga sudah lama ditarik-tarik untuk mendukung sosok tertentu.
Ini bahkan diungkapkan langsung oleh Presiden Jokowi pada 12 Juni 2021. “Sekarang saja sudah ada relawan Jokowi yang ditarik-tarik mendukung si A, sudah ada yang dirayu-rayu mendukung si B, dan dirangkul oleh si C, dan sebagainya,” ungkap RI-1.
Bukti dinantinya dukungan Presiden Jokowi dapat kita lihat pada keriuhan politik akibat pernyataannya di acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V Projo di Jawa Tengah (Jateng). “Ojo kesusu sik. Jangan tergesa-gesa. Meskipun mungkin yang kita dukung ada di sini,” ungkapnya pada 21 Mei 2022.
Pernyataan itu menjadi riuh karena di sana hadir Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Berbagai pihak kemudian mengaitkannya sebagai dukungan tersirat RI-1 untuk Ganjar maju di Pilpres 2024. Apalagi, pernyataan Presiden Jokowi itu disambut dengan teriakan, “Hidup Pak Ganjar”.
Tentu di sini pertanyaannya, benarkah Presiden Jokowi memberikan political endorsement-nya kepada Ganjar?
Hanya Basa-Basi?
Ada dua variabel penting yang perlu direnungkan jika menyimpulkan Presiden Jokowi telah memberikan dukungan politik kepada Ganjar. Pertama-tama, perlu untuk dicatat bahwa sinyal serupa pernah juga diberikan kepada Sandiaga Uno.
Ketika menghadiri dan melantik Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) periode 2019-2022 pada 15 Januari 2020, Presiden Jokowi menyebut Sandi adalah sosok yang bisa menggantikan dirinya. Sama seperti saat ini, berbagai pihak juga menyebut Sandi direstui oleh Presiden Jokowi untuk maju di Pilpres 2024.
Atas fakta ini, penting sekiranya melihat analisis dari Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama Ari Junaedi yang menyebut pernyataan RI-1 ke Ganjar tidak lebih merupakan basa-basi politik. Menurutnya, sebagai kader PDIP yang loyal, tidak mungkin Presiden Jokowi berani secara terang-terangan memberikan dukungan sebelum ada rekomendasi resmi dari partai banteng.
Dalam literatur politik, basa-basi politik ini dikenal sebagai doublespeak (pernyataan ganda). Eric Schwartzman dalam tulisannya Why Doublespeak is Dangerous, menyebut doublespeak dapat diidentifikasi dengan melihat siapa yang mengatakan apa kepada siapa, dalam kondisi dan keadaan apa, serta membandingkan pernyataan dengan fakta lapangannya.
Mengutip ahli bahasa William Lutz, Schwartzman menyebut politisi kerap mengatakan apa yang ingin kita dengar. Ini kemudian membuat mereka melakukan doublespeak agar tidak terjadi ketegangan atau sekadar memberikan kesan akrab.
Nah, penegasan itu sekiranya terlihat pada pernyataan Presiden Jokowi. Di acara HIPMI yang dihadiri Sandi, RI-1 menyebut nama Sandi, bukan orang lain. Begitu pula di Rakernas Projo yang dihadiri Ganjar, RI-1 mengimplikasikan sang Gubernur Jateng, bukan orang lain.
Jika benar-benar memberikan political endorsement, Presiden Jokowi tentunya akan konsisten dalam hal penyebutan nama. Katakanlah ingin mendukung Sandi, baik di acara HIPMI atau Rakernas Projo, nama sang Menparekraf yang akan dikeluarkan.
Jokowi Bukan Politisi Biasa
Selain menunjukkan tanda-tanda melakukan doublespeak, variabel kedua yang perlu direnungkan adalah kejeniusan politik Presiden Jokowi. Terkait hal ini, berbagai akademisi politik, baik dalam maupun luar negeri telah memberikan pujian terbukanya.
Di dalam negeri, ada artikel Leo Suryadinata yang berjudul Golkar’s Leadership and the Indonesian President. Di dalamnya, Presiden Jokowi disebut memainkan strategi cantik dengan mendekati Partai Golkar ketika menyadari berbagai elite PDIP tidak menyukainya sejak 2014.
Sementara, di luar negeri, ada buku Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia karya Marcus Mietzner yang menjelaskan kehebatan Presiden Jokowi menghimpun dukungan politik agar oligarki mendukungnya maju di kontestasi pilpres.
Selain Mietzner, ada pula tulisan berjudul The Genius of Jokowi dari Kishore Mahbubani yang tidak segan-segan memuji kejeniusan sang RI-1. Menurut Mahbubani, Presiden Jokowi melakukan politik perimbangan yang baik agar tidak terlalu ditarik oleh Amerika Serikat (AS) maupun Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Nah, selaku sosok yang disebut sebagai politisi jenius, Presiden Jokowi tentu tidak akan prematur dalam menentukan sosok penerusnya.
Dalam diskusi bertajuk Benarkah Jokowi Pilih Ganjar?, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menyebut Presiden Jokowi pasti akan bermain di akhir waktu alias baru memberikan dukungan politik di September 2023.
Menurutnya, sulit membayangkan RI-1 akan membuat kalkulasi politik prematur dengan menunjukkan dukungan di awal waktu seperti ini. Analisis Ujang tersebut selaras dengan artikel berjudul Why Presidents Wait to Endorse Their Successors yang dimuat Time.
Disebutkan bahwa seorang presiden tidak akan terburu-buru memberikan dukungan karena menghindari mendukung “kuda” yang salah. Pasalnya, political endorsement presiden bermakna kandidat yang didukung merupakan penerusnya – baik dalam hal citra, visi, maupun program.
Seperti yang disebutkan Christian Fong, Neil Malhotra, dan Yotam Margalit dalam artikel Political Legacies: Understanding Their Significance to Contemporary Political Debates, politisi memiliki minat yang kuat dalam mengembangkan legacy (warisan) yang positif, luas, dan bertahan lama karena ingatan masyarakat tentang legacy itu memengaruhi perdebatan kebijakan di masa depan.
Jika Presiden Jokowi salah menentukan penerus, masyarakat akan melihatnya sebagai sebuah kegagalan pilihan. Mungkin akan banyak yang mengkritik, “Kok begini pilihan Pak Jokowi?”
Pernyataan itu juga sekiranya menghantui Sir Alex Ferguson. Di bawah David Moyes, performa Manchester United langsung menurun. Sampai saat ini, sang Setan Merah bahkan belum mampu kembali ke posisinya sebagai klub sepakbola Liga Inggris yang ditakuti dunia.
Well, siapa pun yang menjadi pilihan Presiden Jokowi nantinya, sekiranya cukup meyakinkan untuk mengatakan bahwa dukungan ke Ganjar Pranowo tampaknya merupakan basa-basi politik semata. (R53)