HomeHeadlineBendera LGBT: Inggris Cari HRS?

Bendera LGBT: Inggris Cari HRS?

Reaksi negatif, utamanya dari kelompok Islam, masih mengiringi polemik pengibaran bendera lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Kedutaan Besar (Kedubes) Britania Raya (Inggris) di Jakarta. Lantas, mungkinkah aksi itu ada kaitannya dengan keinginan Inggris untuk “menguji” kelompok Islam di Indonesia?


PinterPolitik.com

Tuntutan atas permintaan maaf atas pengibaran bendera lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) belum dipenuhi Kedutaan Besar (Kedubes) Britania Raya (Inggris) di Jakarta. Padahal, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia telah melayangkan protes dan memanggil Duta Besar (Dubes) Inggris untuk Indonesia Owen Jenkins kemarin.

Kementerian yang dipimpin Retno Marsudi menyampaikan keprihatinan dan kekecewaan atas tindakan yang dinilai sangat tidak sensitif.  Kemlu juga meminta Kedubes Inggris serta seluruh perwakilan negara sahabat di Indonesia untuk selalu menghargai nilai-nilai agama, sosial, norma budaya dan keyakinan masyarakat tanah air.

Sayangnya, respons Dubes Jenkins sebagaimana yang dirilis Kemlu hanyalah mencatat kekecewaan dan protes Pemerintah Indonesia sebelum menyampaikannya kepada Pemerintah Inggris di London.

Seperti yang jamak diketahui, Kedubes Inggris mengibarkan bendera LGBT dan bersanding dengan bendera Union Jack pada 17 Mei lalu. Momen tersebut kerap diperingati sebagai Hari Internasional Melawan Homofobia, Bifobia, dan Transfobia (IDAHOBIT).

Seremoni itu bahkan sengaja diunggah di Instagram resmi kedutaan dan sontak memantik reaksi keras dari masyarakat Indonesia yang kebanyakan resistan dengan isu tersebut, terutama dari kelompok keagamaan.

Selain untuk memperingati IDAHOBIT, penjelasan dan alasan formal Kedubes Inggris atas pengibaran tersebut adalah ingin mendengar suara yang beragam terkait isu LGBT, termasuk ingin memahami konteks lokal.

pelangi di kedubes inggris ed.

Alasan itu mendapat kritik cukup keras dari Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana. Menurutnya, dua alasan Kedubes Inggris sebagai adalah suatu hal yang absurd.

Lebih lanjut, Hikmahanto menjelaskan bahwa pengibaran bendera pelangi itu tidak salah secara hukum tetapi bermasalah dari sisi etika.

Menurut sosok yang juga Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani itu, kedubes suatu negara harus menghormati nilai-nilai moral yang berlaku di negara penerima sehingga tidak memunculkan permasalahan.

Selain para ahli dan pengamat, kritik yang pasti eksis tentunya juga datang dari kelompok keagamaan sebagai entitas yang paling terusik dengan aksi pengibaran bendera LGBT. Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga Muhammadiyah turut menyayangkan dan mengecam aksi tersebut.

Tak hanya itu, kecaman secara tak langsung juga datang dari Habib Rizieq Shihab (HRS) lewat juru bicara sekaligus pengacaranya, Aziz Yanuar. Selain kecaman, Aziz menilai bahwa Kedubes Inggris ingin menguji reaksi dari publik Indonesia dengan pengibaran tersebut yang dianggapnya telah menginjak-injak harga diri bangsa.

HRS sendiri punya rekam jejak panjang sebagai penentang keras LGBT, salah satunya saat dirinya memberikan dakwah dari Arab Saudi dengan mengingatkan agar praktik LGBT dan prostitusi harus dilenyapkan pada 19 Agustus 2017 silam.

Lantas, pertanyaan mendasarnya mengapa Kedubes Inggris seolah “sengaja” memantik problematika saat mengibarkan pengibaran bendera LGBT dan mempublikasikannya? Apakah tujuan sebenarnya?

infografis mahfud mau kriminalisasi lgbt

LGBT Sah Saja?

Terdapat satu hal fundamental yang dapat ditafsirkan dari pengibaran bendera LGBT plus publikasinya, yakni hampir dapat dipastikan bahwa Kedubes Inggris memahami reaksi yang akan muncul.

Michael Ewing dalam publikasinya yang berjudul Use of The Term LGBT In Indonesia and Its Real-World Consequences mengatakan bahwaLGBT direpresentasikan sebagai antitesis bagi pemahaman masyarakat Indonesia secara sosial dan agama.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Postulat Ewing sendiri sepertinya telah menjadi pengetahuan bersama bahwa mengemukanya isu LGBT ke diskursus publik selalu diiringi dengan kecaman dan tentangan, khususnya dari kelompok Islam.

Walaupun begitu, beberapa polemik terkait LGBT yang mengemuka dan berhadapan secara sosial maupun hukum pada akhirnya menemui perdebatan alot. Hal itu berangkat dari regulasi yang abu-abu dan tidak jelas posisinya.

Itu sebagaimana dijelaskan Max Walden dan Hellena Souisa dalam Indonesia Could Force LGBT People into Rehabilitation Under Draft ‘Family Resilience’ Law. Analisa keduanya mendapati bahwa homoseksualitas dan perilaku LGBT di Indonesia bukanlah perbuatan yang ilegal.

Namun realitasnya, orang-orang yang berpredikat LGBT kerap disasar dengan produk hukum yang kurang relevan seperti undang-undang (UU) tentang pornografi, Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan sebagainya.

Ihwal yang membuat posisi kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) maupun mereka yang pro-LGBT dan kelompok keagamaan selalu dihadapkan pada pertentangan tanpa kepastian hukum sebagai solusinya.

Ketidakjelasan itu bahkan baru saja dipertontonkan salah satu inisiator regulasi, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej menyampaikan bahwa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak mengatur pidana terhadap LGBT.

Pernyataan tersebut seketika menganulir klaim Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang sebelumnya menyebut aturan LGBT masuk ke dalam RKUHP. Masih terbukanya ruang abu-abu ini seolah memperpanjang reaksi kecaman yang akan muncul jika isu LGBT menyeruak.

Uniknya, isu LGBT yang saat ini muncul seolah muncul secara bergiliran dalam waktu yang berdekatan. Paling tidak terdapat tiga isu terkait LGBT yang mendapatkan sorotan signifikan, yakni polemik siniar Deddy Corbuzier yang menampilkan pasangan homoseksual Ragil-Frederick, isu RKUHP, hingga puncaknya pengibaran bendera LGBT oleh Kedubes Inggris.

Kembali, hal yang patut diperhatikan dari ketiganya adalah reaksi dari kelompok Islam yang secara tegas dan konsisten memberikan kecaman terhadap eksistensi LGBT di Indonesia.

Akan tetapi, kritikan dari kelompok Islam terhadap konteks yang dikecam bersama seolah kurang bertenaga ketika sosok signifikan seperti HRS hilang, termasuk dalam polemik bendera LGBT Kedubes Inggris.

Meski Persaudaraan Alumni (PA) 212 sebagai episode baru Front Pembela Islam (FPI) melalui Sekretaris Dewan Syuro-nya Slamet Maarif telah mengecam dan menuntut pengusiran Dubes Inggris, tetap saja eskalasi kecaman agaknya tidak meningkat menjadi aksi kolosal yang signifikan tanpa komando kharismatik HRS.

Pada titik ini, reaksi tersebut juga tampak seperti menggambarkan level konservatisme Islam di Indonesia saat ini dan tidak menutup kemungkinan dapat dijadikan parameter politik tertentu.

Lalu, mungkinkah kecenderungan itu yang ingin diketahui pihak Kedubes Inggris dari pengibaran bendera LGBT?

infografis anthony albanese aku padamu indonesia

Inggris, HRS, dan Pilpres 2024

Black Box Theory atau teori kotak hitam yang diperkenalkan cendekiawan politik Amerika Serikat (AS) David Easton agaknya relevan untuk melihat tindakan-tindakan spesifik dan menarik perdebatan yang dilakukan aktor dalam interaksi antar-negara.

Secara sederhana, penjabaran teori itu ialah bahwasanya input dan output kebijakan maupun tindakan sanga aktor dapat terlihat oleh siapapun. Tetapi “kotak hitam” sebagai sari kebijakan dan tindakan tersebut merupakan hidden bureaucratic process atau proses birokrasi yang tersembunyi dan tidak terlihat.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Mengacu pada black box, analisa terhadap probabilitas intensi Kedubes Inggris yang mengibarkan bendera LGBT sangat beragam serta tergantung pada variabel-variabel yang ada.

Jika mengabaikan alasan resmi Kedutaan Inggris, memperbaiki citra sebagai aktor toleran di Eropa kemungkinan menjadi salah satu tujuan negeri Ratu Elizabeth. Pemeringkatan yang dirilis Asosiasi Lesbian, Gay, Biseksual, Trans dan Interseks Internasional Eropa (ILGA-Europe) pada 12 Mei lalu menempatkan Inggris di posisi 14.

Torehan itu sendiri bermakna bahwa Inggris mengalami kemerosotan empat level dalam daftar negara yang menjunjung hak LGBT di Eropa dibandingkan tahun sebelumnya.

Dengan keberanian melakukan aksi di negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Inggris tampaknya ingin mengesankan bahwa publisitas toleransi terhadap LGBT yang dilakukannya tidak main-main.

Tapi, apakah hanya sebatas itu saja?

Berangkat dari teori kotak hitam, interpretasi atas kemungkinan lain yang jauh lebih menarik lantaran tendensi politis kiranya masih terbuka.

Damien D. Cheong, Stephanie Neubronner, dan Kumar Ramakrishna dalam Foreign Interference in Domestic Politics mengatakan bahwa campur tangan asing dilakukan oleh kekuatan-kekuatan negara lain guna memenuhi kepentingan mereka.

Kekuatan asing itu kerap melakukan kultivasi terhadap aktor lokal hingga memantik peristiwa tertentu yang berdampak secara politik, baik dalam derajat yang “biasa” maupun “ekstrem”.

Ide pokok tulisan Cheong dkk itu tampaknya bukan fantasi belaka. Menariknya, Inggris adalah pihak yang terlibat dalam intervensi transisi rezim Indonesia di tahun 1965.  Dokumen intelijen yang diungkap The Observer pada Oktober 2021 menyebut bahwa Inggris melakukan propaganda aktif sentimen komunisme dan berkontribusi menumbangkan Soekarno sekaligus membawa Soeharto ke tampuk kekuasaan.

Jika ditarik pada kasus bendera LGBT, kemungkinan yang mengarah pada kecenderungan tersebut hadir ketika satu-satunya negara lain yang mengalami sentimen negatif isu serupa adalah Uni Emirat Arab (UEA) pada Juni 2021 lalu.

Baik Indonesia dan UEA sendiri diketahui sedang memiliki hubungan baik dengan Tiongkok dan relasinya telah mengesankan hubungan triad yang harmonis dalam berbagai sektor.

Hal itu bukan tidak mungkin menjadi kalkulasi bagi tantangan maupun kepentingan Inggris dan Barat, khususnya yang terkait Indonesia. Variabel seperti posisi strategis Indonesia di tengah pakta keamanan Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AUKUS) hingga kepentingan distribusi, eksplorasi, plus ketegangan di Laut China Selatan (LCS) dan Asia Pasifik menjadi hal kunci yang saling terkait dan tampaknya tak bisa diabaikan dalam perhitungan.

Eksistensi suksesor kepemimpinan yang dapat “menjauhi” Tiongkok agaknya lebih ideal bagi kepentingan maupun posisi Inggris dan Barat, mengingat Indonesia semakin mendekati tahun politik.

Dan aktor kuat yang menaruh sentimen minor terhadap Tiongkok adalah aktor yang sama dengan mereka yang resistan terhadap LGBT, yaitu kelompok Islam. Tak dapat dipungkiri, mereka juga adalah aktor prominen dalam pemilihan umum (Pemilu) di tahun 2019 lalu.

Dengan realitas bahwa salah satu tokoh kuncinya, yakni HRS, dianggap telah redup akibat kasus pidana, alasan pengibaran bendera LGBT Kedubes Inggris yang ingin memahami konteks lokal bukan tidak mungkin bermakna keinginan untuk mengetahui sejauh mana kekuatan konservatisme keagamaan di Indonesia sepeninggal Imam Besar FPI itu.

Kendati demikian, penjabaran di atas tentu merupakan interpretasi dari sebuah kotak hitam yang sesungguhnya hanya Inggris yang mengetahui tujuan pasti dari pengibaran bendera LGBT di Indonesia. (J61)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?