Di ujung masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan melakukan kunjungan luar negeri ke tiga negara Eropa – yakni Britania Raya (Inggris), Jerman, dan Prancis. Apakah kunjungan Anies ke Eropa ini memiliki dampak politik di Indonesia?
“Kau berkelana ke negara sepak bola” – The Changcuters, “Hijrah ke London” (2008)
Penggemar sepak bola Indonesia sudah hampir pasti juga mengenal berbagai klub yang berasal dari benua Eropa. Bagaimana tidak? Klub-klub di Eropa – mulai dari Britania (Inggris) Raya, Spanyol, Italia, Prancis, hingga Jerman – selalu menjadi perhatian sepak bola dunia.
Banyak pemain-pemain yang mahir bermain di berbagai liga-liga negara tersebut. Lionel Messi, misalnya, kini menjadi pemain salah satu klub besar di Prancis, yakni Paris Saint-Germain F.C.
Tidak hanya Messi, terdapat juga nama Cristiano Ronaldo yang kini bermain di sebuah klub Inggris, yakni Manchester United F.C. Keberadaan dua pemain dunia di Eropa tersebut secara tidak langsung menunjukkan bagaimana benua biru itu menjadi kiblat dunia olahraga sepak bola.
Namun, fakta bahwa benua Eropa jadi pusat dunia sepak bola tentunya bukan terjadi begitu saja. Pasalnya, Eropa dahulu memang menjadi pusat dunia pada era kolonial – mulai dari perdagangan hingga perpolitikan.
Tidak mengherankan apabila Eropa kini menjadi kawasan dengan berbagai bangunan megah yang telah lama berdiri sejak era kolonial. Banyak kekayaan dunia ketiga telah lama beralih ke negara-negara di kawasan ini.
Alhasil, hingga kini, benua Eropa tetap menjadi kawasan yang penting secara ekonomi dan politik. Apalagi, dengan munculnya organisasi supranasional Uni Eropa (UE), Eropa semakin dinilai penting.
Mungkin, layaknya lirik lagu The Changcuters di awal tulisan, ini menjadi alasan mengapa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akhirnya pergi ke London, Britania Raya – dan sejumlah negara lain seperti Jerman dan Prancis – beberapa waktu lalu. Kabarnya, kunjungan Anies ini terjadi akibat undangan dari pihak-pihak yang ada di Eropa.
Bila diperhatikan, kegiatan Anies di Eropa selama sepekan kemarin bisa dibilang cukup padat. Banyak tokoh dan organisasi di berbagai bidang – mulai dari pendidikan tinggi, pejabat, politisi, ekonom, investor, dan lembaga think-tank – bertemu dan berdiskusi dengan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Menariknya, ada satu sosok yang terlihat selalu mendampingi Anies dalam berbagai kesempatan tersebut. Figur itu adalah Thomas Trikasih Lembong – mantan Menteri Perdagangan (Mendag) dalam Kabinet Kerja pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang pada tahun 2021 lalu diangkat menjadi Komisaris Utama (Komut) Ancol.
Bahkan, dalam unggahan di akun Instagram miliknya, nama Thomas pun disebutkan sebagai Komite Investasi DKI Jakarta. Bisa dibilang, peran Thomas ini penting bagi Anies – khususnya dalam pertemuan-pertemuan yang dijalankan oleh Gubernur DKI Jakarta itu di Eropa.
Lantas, mengapa peran Thomas ini bisa dibilang penting bagi karier politik Anies ke depannya? Bagaimana sebenarnya latar belakang seorang Thomas sehingga akhirnya bisa sempat menjadi figur pejabat dalam pemerintahan nasional Jokowi hingga pemerintahan daerah Anies?
Thomas Jadi ‘Tangan Kanan’ Anies?
Thomas sebenarnya bukan sosok yang tiba-tiba muncul dalam peran-peran pemerintahan. Sebelumnya, mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tersebut banyak berkecimpung di dunia investasi dan finansial.
Thomas lahir di Jakarta pada 4 Maret 1971 dengan ayah bernama Dr. T Yohanes Lembong dan ibu bernama Yetty Lembong. Setelah tidak lama lahir, Thomas ikut pindah ke Jerman bersama ayahnya yang menjalankan studi di sana sejak tahun 1974.
Alhasil, Thomas pun mengenyam pendidikan dasar di negara Eropa tersebut dan tinggal di sana selama tujuh tahun hingga tahun 1981. Tidak mengherankan apabila Thomas akhirnya menjadi fasih berbahasa Jerman.
Namun, masa tinggal Thomas di Indonesia tidaklah lama. Ketika menyentuh pendidikan tingkat menengah atas, mantan Mendag tersebut angkat kaki dari Tanah Air dan bersekolah di Boston, Amerika Serikat (AS).
Pada pendidikan tingkat tinggi, Thomas menjalankan studinya di sebuah kampus ternama dunia, yakni Harvard University. Ia menyelesaikan studinya di bidang arsitektur dan tata kota pada tahun 2008.
Namun, usai pendidikannya, Thomas justru bersinar di bidang lainnya, yakni sektor finansial dan investasi. Mantan Kepala BKPM tersebut akhirnya berkarier di sejumlah perusahaan finansial ternama – mulai dari Farindo Investments, Deutsche Bank, hingga Morgan Stanley.
Tidak hanya itu, Thomas juga dikenal dengan perusahaan yang didirikannya, yakni Quvat Management. Perusahaan investasi ini terkenal dengan investasinya yang cukup menggebrak dunia usaha di Indonesia – yakni bioskop Blitz yang mampu jadi pesaing Cineplex 21.
Bisa dibilang rekam jejak cemerlang Thomas di bidang finansial dan investasi inilah yang akhirnya mengantarkannya masuk ke dunia pemerintahan. Pada tahun 2015, Thomas akhirnya diangkat Jokowi menjadi Mendag – dan kemudian menjadi Kepala BKPM pada tahun 2016 hingga tahun 2019.
Namun, usai tidak lagi menjabat di pemerintahan nasional, nama Thomas berpindah menjadi pejabat di pemerintahan daerah Anies. Pada tahun 2021, mantan Kepala BPKM itu diangkat menjadi komut bagi perusahaan daerah milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Ancol.
Semakin ke sini, peran Thomas di Pemprov DKI Jakarta tampaknya semakin penting. Dari unggahan Anies, misalnya, mantan Mendag itu disebut memegang peran dalam investasi untuk Pemprov DKI Jakarta.
Lantas, mengapa, dengan latar belakang ini, peran Thomas bisa menjadi penting bagi Anies – katakanlah untuk langkah dan karier politik Gubernur DKI Jakarta itu ke depannya? Apakah ini cara Anies untuk bermain menjadi politikus berkapasitas global?
‘Pintu Masuk’ Anies ke Eropa?
Dalam menjalankan atau melakukan apapun, tentu ada sejumlah hal yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu. Kala memasak sebuah hidangan, misalnya, tentu bahan-bahan makanan dan resepnya juga perlu disiapkan.
Hal yang sama juga berlaku dalam langkah-langkah yang diambil dalam perjalanan karier politik. Bisa jadi, hal inilah yang tengah dipersiapkan oleh Anies yang pada Oktober 2022 nanti akan melepas jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Bukan tidak mungkin, Thomas menjadi salah satu unsur dalam resep yang tengah disiapkan oleh Anies – katakanlah resep untuk menjadi presiden pada tahun 2024 mendatang. Pasalnya, dengan latar belakang yang dimiliki, Thomas bisa menjadi penyedia modal politik bagi Anies.
Kimberly Casey dalam tulisannya yang berjudul Defining Political Capital menjelaskan bahwa berbagai jenis modal – seperti modal finansial, modal sosial, hingga modal institusional – bisa ditransformasikan menjadi modal politik bagi seorang kandidat.
Setidaknya, Thomas bisa memiliki modal sosial yang bisa mendukung Anies. Dengan pengalamannya yang panjang dalam dunia investasi, mantan Kepala BKPM tersebut tentu saja memiliki koneksi dengan berbagai individu penting di Eropa – apalagi Thomas pernah tinggal di Eropa dan memiliki pengalaman bekerja di perusahaan-perusahaan ternama seperti Morgan Stanley dan Deutsche Bank.
Kala menjalankan kunjungan ke Eropa, misalnya, Anies sempat mengunjungi sejumlah bankir dan lembaga finansial – seperti European Investment Bank (EIB) yang merupakan lembaga pinjaman dari Uni Eropa (UE). Sejumlah pendanaan untuk kerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta pun kabarnya berhasil disepakati – bisa menjadi modal finansial untuk jalannya pemerintahan Anies di ibu kota.
Di sisi lain, relasi sosial yang dimiliki Thomas ini bisa jadi juga mengantarkan Anies untuk memperluas relasinya sendiri. Pasalnya, dalam kunjungannya ke tiga negara Eropa, Gubernur DKI Jakarta tersebut bisa dibilang secara komplit bertemu dengan berbagai unsur masyarakat – mulai dari akademisi (University of Oxford dan King’s College, London), pemerintahan (Mendag Internasional Inggris Anne-Marie Trevelyan dan Wali Kota Berlin Franziska Giffey), media (BloombergNEF), dan ekonom (EIB).
Ini bisa berpengaruh pada jalannya pemerintahan Anies bila nantinya benar terpilih sebagai presiden pada tahun 2024 mendatang. Pasalnya, Anies nantinya juga perlu bermain sebagai pemimpin berkapasitas global.
Dengan tensi geopolitik yang terus meningkat di kawasan Indo-Pasifik (termasuk Asia Tenggara), modal sosial ini bisa jadi krusial – baik bagi Anies maupun aktor-aktor politik di Eropa. Apalagi, UE kini juga semakin menunjukkan kekuatan ekonomi dan geopolitiknya – tidak hanya di kawasan Eropa sendiri, melainkan juga di kawasan Asia.
Pada ujungnya, kegiatan berkelana Anies ke negara-negara sepak bola tadi bukan tidak mungkin bisa berdampak dengan langkah-langkah Gubernur DKI Jakarta tersebut ke depannya – baik secara pemerintahan maupun politik. Siapa tahu negara-negara sepak bola tadi bisa membantu Anies untuk menciptakan gol ciamik di tahun 2024? (A43)