Upaya dari PDIP – dan PSI – untuk memunculkan polemik terkait Jakarta International Stadium (JIS) tampaknya jauh dari kata usai. Kali ini, dua partai tersebut mempersoalkan penamaan JIS oleh pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang dianggap lebih baik bila menggunakan Bahasa Indonesia daripada Bahasa Inggris.
“Speakin’ language only we know, you think it’s an accent” – Kendrick Lamar, “The Art of Peer Pressure” (2012)
Para pengguna media sosial (medsos) yang tergolong dalam kelompok usia milenial dan generasi Z akhir-akhir ini dimanjakan oleh konten-konten menggugah tawa terkait bahasa gaul yang digunakan oleh anak-anak Jakarta Selatan (Jaksel). Salah satunya datang dari akun @podcastkeselaje yang dibawakan oleh Oza Rangkuti.
Sebenarnya, sejumlah konten yang dibuat oleh Oza ini mudah dimengerti, yakni menjelaskan bagaimana makna dari kata dan frasa Bahasa Inggris yang biasa digunakan oleh anak-anak Jaksel. Anxiety, misalnya, disetarakan oleh Oza dengan bahasa umum lainnya, yakni deg-deg-an.
Terlepas dari benar atau tidaknya pemaknaan yang dilakukan oleh Oza dan timnya ini, tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena bilingualisme antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris di Jaksel bukan lagi rahasia. Mungkin, ini menjadi fenomena sosial yang ingin dikritik oleh akun tersebut.
Namun, fenomena bilingualisme ini tampaknya tidak hanya terjadi di kalangan kelompok usia milenial dan Generasi Z. Pasalnya, perdebatan penggunaan istilah dan kata Bahasa Inggris kini juga terjadi dalam diskursus politik.
Soal penamaan Jakarta International Stadium (JIS), misalnya, dijadikan sorotan oleh partai-partai politik seperti PDIP dan PSI. Mereka menganggap bahwa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan seharusnya menamakan gelanggang olahraga tersebut dengan nama berbahasa Indonesia.
Persoalan penggunaan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris ini ternyata tidak hanya berhenti di persoalan JIS. Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDIP Bambang “Pacul” Wuryanto, misalnya, menyebutkan bahwa frasa omnibus law yang biasa digunakan untuk merujuk ke Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker) perlu diganti ke Bahasa Indonesia.
Menurutnya, istilah yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat adalah “sapu jagat”. Selain itu, Bambang Pacul juga mengusulkan sejumlah istilah Bahasa Indonesia lainnya – seperti hukum lengkap, hukum komplit, pranata lengkap, dan pranata komplit.
Perdebatan soal penggunaan istilah-istilah yang ada dalam Bahasa Indonesia yang dimunculkan oleh PDIP ini bukan tidak mungkin menimbulkan sejumlah pertanyaan. Mengapa mulanya perdebatan ini bisa muncul? Lantas, apa konsekuensinya terhadap dinamika politik di era kontemporer bagi Indonesia?
Skizofrenia Bahasa ala PDIP?
Dalam psikologi, terdapat gangguan yang dikenal sebagai skizofrenia (schizophrenia). Gangguan ini membuat penderitanya melihat realitas (kenyataan) secara abnormal – bisa berujung pada halusinasi dan delusi.
Namun, abnormalitas terhadap visi realitas seperti ini mungkin tidak hanya terjadi dalam bidang psikologi, melainkan juga bidang-bidang lain seperti bahasa. Allan Lauder – dengan mengutip Kartono – dalam tulisannya yang berjudul The Status and Function of English in Indonesia menyebutkan sebuah istilah terkait, yakni language schizophrenia (skizofrenia bahasa) atau exolinguaphobia (eksolinguafobia).
Skizofrenia bahasa ini terjadi akibat munculnya anggapan ancaman yang bisa saja datang dari bahasa asing. Semakin besar dominasi bahasa asing tersebut, dicemaskan semakin besar juga peluang nilai-nilai budaya dari bangsa asing tersebut turut tersalurkan.
Bakić Antonela dan Škifić Sanja dalam studi mereka yang berjudul The Relationship between Bilingualism and Identity in Expressing Emotions and Thoughts, menjelaskan bagaimana kemampuan bilingual bisa mempengaruhi identitas seseorang dalam mengekspresikan pikiran dan emosi. Bukan tidak mungkin, hal inilah yang juga terjadi pada individu-individu bilingual di Indonesia – misal fenomena bilingual ala Jaksel.
Namun, bagaimana ceritanya Bahasa Inggris bisa menjadi bahasa yang memiliki peran dan fungsi di masyarakat Indonesia? Mengapa bukan Bahasa Belanda yang merupakan bahasa yang lebih banyak digunakan di era kolonial Hindia Belanda?
Semua ini bermula dengan kemunculan Bahasa Melayu sebagai bahasa alternatif dalam edukasi dan administrasi di Hindia Belanda. Seiring berjalannya waktu, Bahasa Melayu yang distandarisasi menjadi Bahasa Indonesia kemudian menjadi bahasa nasional yang digunakan oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Scott Paauw dalam tulisannya yang berjudul One Land, One Nation, One Language menjelaskan bahwa Bahasa Indonesia sebenarnya berhasil diterapkan sebagai bahasa nasional – meski masyarakat Indonesia memiliki bahasa-bahasa daerahnya sendiri. Namun, bahasa nasional memiliki kegagalan dalam satu tempat, yakni pendidikan tinggi.
Ini terlihat dari minimnya konsep-konsep Bahasa Inggris di pendidikan tinggi yang gagal diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Alhasil, dengan sedikitnya padanan kata yang ada dalam Bahasa Indonesia, kata dan istilah dalam Bahasa Inggris lah yang akhirnya digunakan – membentuk identitas tersendiri bagi kalangan intelektual di Indonesia.
Tidak mengherankan apabila kalangan terdidik dan pengambil kebijakan akhirnya sering menggunakan istilah-istilah dalam Bahasa Inggris. Pada akhirnya, Bahasa Inggris memiliki fungsi dan tempat tertentu bagi masyarakat Indonesia – meski sebelumnya negara ini lebih lama dikolonisasi oleh Belanda.
Lantas, mungkinkah skizofrenia bahasa ala PDIP terhadap Anies ini memiliki dampak politik dalam jangka panjang? Bila benar kemungkinan itu ada, mengapa persoalan penggunaan bahasa saja bisa punya dampak demikian?
Anies vs PDIP, Hegemoni Bahasa?
Namun, persoalan bahasa sebenarnya bukanlah hanya soal kata atau frasa mana yang lebih familiar bagi masyarakat, melainkan juga bagaimana bahasa bisa mempengaruhi cara hidup masyarakat. Secara tidak langsung, bahasa meregulasi budaya – bila mengacu pada konsep circuit culture dari Stuart Hall.
Mungkin, inilah mengapa bahasa kerap menjadi locus bagi perebutan pengaruh dan dominasi – bahkan termasuk dalam dimensi politik. Inilah mengapa bahasa yang dominan secara internasional – seperti Bahasa Inggris – kerap dilihat memiliki strata yang lebih tinggi.
Abolaji Samuel Mustapha dalam tulisannya yang berjudul Linguistic Hegemony of the English Language in Nigeria menjelaskan bahwa hegemoni linguistik (linguistic hegemony) adalah ketika kelompok-kelompok yang dominan menciptakan sebuah kesepakatan dengan meyakinkan kelompok-kelompok lain untuk menerima norma dan penggunaan bahasa mereka sebagai sebuah standar atau paradigma.
Inilah mengapa, ketika sebuah bahasa menjadi dominan, norma dan penggunaannya pun turut menjadi standar yang meregulasi cara berkomunikasi masyarakat. Tidak mengherankan apabila Bahasa Inggris yang dominan di kalangan terdidik menjadi standar yang umum bagi kelompok mereka.
Hal yang sama juga sebenarnya terjadi pada Bahasa Indonesia – khususnya di era pemerintahan Soekarno yang mendorong agar Bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional. Penyaluran penggunaan bahasa ini akhirnya disalurkan lebih luas melalui pendidikan.
Hegemoni Bahasa Indonesia – dibandingkan bahasa-bahasa daerah masing-masing – tentu memiliki implikasi politik. Seperti apa yang umumnya diketahui, Soekarno merupakan sosok pemimpin yang ahli dalam menggunakan bahasa dalam pidato-pidato politiknya.
Mengacu pada penjelasan David Samuel Latupeirissa dan rekan-rekannya dalam tulisan mereka yang berjudul On Political Language Ideology, Soekarno dianggap mahir dalam berorasi – yang mana akhirnya berimplikasi pada pandangan masyarakat, termasuk dalam politik. Kata “kita” dan “Indonesia” yang digunakan bergantian, misalnya, menjadi andalan Soekarno untuk mempengaruhi konsepsi masyarakat soal negara-bangsa ini.
Bukan tidak mungkin, bahasa-bahasa politik semacam ini menjadi perebutan di antara para aktor politik. Mengacu pada Latupeirissa dan rekan-rekannya, bahasa kerap digunakan untuk mencapai kekuatan (power) dan otoritas (authority).
Lantas, bagaimana dengan “permainan” bahasa yang terjadi antara Anies dan PDIP? Bukan tidak mungkin, berkaca dari penggunaan bahasa politik ala Soekarno, dominansi bahasa turut mempengaruhi aktor politik mana yang mendapatkan power dan authority. Hal ini bisa jadi berlaku bagi perdebatan soal bahasa yang terjadi antara Anies dan PDIP.
Namun, itu semua kembali lagi kepada bahasa mana yang benar-benar bisa meregulasi budaya masyarakat. Lagipula, ini semua kembali pada seperti apa peran masing-masing bahasa – baik Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris – dalam masyarakat Indonesia. (A43)