Cross BorderPerang! IMF Lebih Kejam Dari Tiongkok?

Perang! IMF Lebih Kejam Dari Tiongkok?

- Advertisement -

Krisis ekonomi Sri Lanka membuat banyak pihak memprediksi negara itu akan menjadi negara hancur. Banyak yang menduga bahwa utangnya pada Tiongkok yang menjadi pemicunya. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Ketegangan politik luar biasa tengah terjadi di Sri Lanka. Perdana Menteri (PM) Mahinda Rajapaksa mengundurkan diri dari jabatannya setelah didesak oleh para demonstran yang terdiri dari jutaan warga yang muak atas krisis ekonomi yang terjadi di negara itu.

Menurut laporan yang ada, kerusuhan yang terjadi telah menewaskan setidaknya 9 orang dan menyebabkan sebanyak 200 orang luka-luka. Salah satu dari korban tewas pun dikabarkan adalah seorang anggota parlemen bernama Amarakeerthi Athukorala.

Ya, Sri Lanka saat ini sedang dalam keadaan ekonomi terburuk sepanjang sejarahnya. Besarnya hutang luar negeri membuat negara kepulauan ini kesulitan memenuhi kebutuhan makanan dan energi, karena selama ini Sri Lanka selalu mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan esensialnya.

Menanggapi fenomena ini, seluruh media dan banyak pengamat menilai bahwa bencana besar Sri Lanka sesungguhnya terjadi akibat utang pemerintah Rajapaksa pada Tiongkok. Media Times of India, misalnya, mengatakan Sri Lanka telah masuk ke perangkap utang Tiongkok, karena menurut mereka Tiongkok adalah pemberi utang terbesar.

Memang, tidak dipungkiri Tiongkok terlibat dalam pendanaan sejumlah proyek infrastruktur di Sri Lanka. Salah satu yang paling disorot adalah proyek pelabuhan Hambantota yang saat ini telah menjadi proyek gagal.

Para analis ekonom juga menyalahkan ketidakmampuan Rajapaksa dalam mengatur keuangan negaranya. Dengan menerbitkan sejumlah kebijakan kontroversial, Rajapaksa membuat pengeluaran nasional Sri Lanka melebihi pendapatannya. Sementara kuantitas produksi barang dan jasa yang dapat diperdagangkan tidak pernah memadai.

Prasangka buruk terhadap utang Tiongkok memang bisa dikatakan mulai menjadi tren di banyak negara. Istilah debt-trap diplomacy atau diplomasi jebakan utang sangat familiar digunakan banyak orang, termasuk para pengamat ketika berbicara tentang investasi Tiongkok.

Tapi, apakah memang betul penyebab Sri Lanka runtuh adalah murni karena utangnya pada Tiongkok? Benarkah utang Tiongkok memang sekejam itu?

Jatuh Bukan Karena Tiongkok?

Debt-trap diplomacy yang dirumorkan dilakukan Tiongkok melalui beberapa skema investasinya telah menjadi momok menyeramkan bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Bahkan banyak dari kita yang menyebut Indonesia perlu menyeimbangkan investasi Tiongkok dengan investasi dari Amerika Serikat (AS) agar bisa menyeimbangkan ketergantungan. Jika kita berpandangan demikian, mungkin kita akan menjadikan kasus Sri Lanka sebagai salah satu bukti kekhawatiran.

Namun, benarkah asumsi demikian?

Well, berdasarkan data dari situs Public Finance, yang dikumpulkan oleh Verité Research, sebuah lembaga think tank yang bergerak di bidang ekonomi dan politik, kita akan menemukan suatu hal yang menarik.

Ternyata, per tahun 2020, Tiongkok bukanlah pemberi utang terbesar pada Sri Lanka. Negeri Tirai Bambu hanya berkontribusi sebanyak 10 persen dari total utang luar negeri yang dimiliki Sri Lanka. Sementara itu, utang terbesar Sri Lanka sesungguhnya berasal dari International Sovereign Bonds (ISBs), yakni sebesar 30 persen. ISBs ini berasal dari pasar modal internasional yang didominasi negara-negara Barat.

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin ala Prabowo?

Tiongkok pun bahkan tidak termasuk peminjam utang tiga terbesar, karena di posisi kedua ditempati oleh gabungan dari pinjaman beberapa institusi internasional, seperti International Monetary Fund (IMF). Lalu posisi ketiga dari Asian Development Bank (ADB). Keempat adalah Jepang, baru kemudian posisi kelima diisi oleh Tiongkok.

Dilihat dari sejarahnya, Sri Lanka sebenarnya sudah memulai akar permasalahan utang dengan Barat. Menurut data yang diperoleh profesor ekonomi, Prema-Chandra Athukorala dalam artikelnya Sri Lanka and the IMF: Myth and Reality, Sri Lanka telah menjadi langganan pinjaman IMF sejak tahun 1965 dengan memperoleh sebanyak 16 program pinjaman utang.

Karena ini, kita sepertinya perlu mencurigai bahwa mungkin bukan Tiongkok lah yang jadi antagonis utama dalam krisis Sri Lanka. Bisa jadi, itu sesungguhnya merupakan IMF dan Barat.

Kecurigaan terhadap jeratan utang IMF sebagai katalis krisis juga diungkapkan oleh R. Ramakumar dalam tulisannya What’s Happening in Sri Lanka and How Did the Economic Crisis Start?. Ramakumar mengungkapkan bahwa masing-masing pinjaman yang diberikan IMF datang dengan persyaratan bahwa Sri Lanka harus mengurangi defisit anggaran mereka.

Selain itu, Sri Lanka juga perlu melakukan pemotongan subsidi pemerintah untuk makanan bagi rakyat Sri Lanka, dan juga melakukan depresiasi mata uang. Kondisi-kondisi ini, menurut Ramakumar, telah membuat Sri Lanka sangat kesulitan dalam mendirikan kemandirian finansialnya.

Oleh karena itu, bisa diinterpretasikan bahwa kehancuran ekonomi Sri Lanka sesungguhnya bukan disebabkan oleh debt-trap diplomacy Tiongkok, melainkan muncul dari permasalahan pinjaman berlebihan pada IMF dan negara-negara Barat.

Pendapat tentang adanya antagonisme terhadap utang Tiongkok disampaikan pula oleh pengamat internasional dari Murdoch University, Shahar Hameiri dalam tulisannya Debunking the Myth of China’s “Debt-Trap Diplomacy”. Hameiri menilai bahwa gembar-gembor tentang kekejaman utang Tiongkok adalah sebuah mitos besar.

Hameiri mencontohkannya dengan kasus pelabuhan Hambantota. Proyek ini secara umum diakui sebagai akal-akalan Tiongkok untuk menjebak Sri Lanka dalam utang, lalu memanfaatkan keputusasaan Sri Lanka sebagai cara Tiongkok bisa membangun hegemoninya dan menjadikan pelabuhan tersebut sebagai pangkalan angkatan laut yang dikomandoi Presiden Xi Jinping.

Padahal kenyataannya tidak demikian. Hambantota adalah proyek yang diinisiasi oleh Rajapaksa, lalu ketika kekurangan dana, Rajapaksa beralih ke Tiongkok dan mendapatkan pinjaman sebesar lebih dari US$1 miliar.

Dan sama seperti Ramakumar, Hameiri juga menyalahkan utang Sri Lanka yang berlebihan pada IMF dan Barat sebagai penyebab sesungguhnya dari krisis ekonomi.

Selain itu, krisis Sri Lanka juga sebenarnya mengajarkan kita tentang sebuah fenomena politik menarik, yakni banalisasi kejahatan utang internasional Tiongkok, atau pewajaran tentang dugaan kejahatan skema utang Tiongkok sebagai penyebab krisis ekonomi.

Tanpa melakukan banyak penyelidikan yang mendalam, banyak pengamat dan media langsung memiliki satu suara dalam menvonis Tiongkok sebagai pihak yang jahat. Meski memang skema investasi Tiongkok memiliki kekurangannya sendiri, banyak orang mengabaikan faktor-faktor lain yang sesungguhnya berkontribusi lebih besar dalam runtuhnya perekonomian Sri Lanka.

Baca juga :  Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Well, kalau kita ingat-ingat, tidak heran sebenarnya antagonisasi utang Tiongkok bisa cepat diamini banyak negara, karena narasi debt-trap diplomacy sesungguhnya juga dipopulerkan oleh AS ketika masa pemerintahan mantan Presiden Donald Trump.

Lantas, mengapa kira-kira narasi horor tentang utang internasional Tiongkok perlu digemborkan?

Lagi-Lagi Propaganda Barat?

Sebagai negara adidaya, AS memiliki kekuatan dalam menjadikan apa yang dikatakannya sebagai agenda politik yang perlu diikuti oleh banyak negara. Bisa dikatakan, AS mampu menciptakan realitas politik internasional sesuai kehendaknya sendiri.

Tidak terkecuali dalam persoalan penggembar-gemboran bahaya utang Tiongkok. David Dodwell, seorang pengamat ekonomi internasional, dalam artikelnya The Myth of China’s ‘Debt-Trap’ Diplomacy Must be Put to Bed Once and For All, menilai narasi jebakan utang Tiongkok adalah sebuah propaganda besar yang sedang dimainkan AS.

Mulai dari era Trump, AS selalu mengatakan utang Tiongkok yang dijalankan melalui skema seperti Belt and Road Initiative (BRI) adalah sebuah rencana besar dalam menjadikan Negeri Tirai Bambu sebagai negara hegemon yang akan menghancurkan sistem perekonomian dunia.

Padahal, BRI sendiri sesungguhnya diciptakan Tiongkok untuk mengatasi permasalahan ekonomi domestik. BRI dilakukan untuk mengeksternalisasi utang besar yang dimiliki Tiongkok dan masalah kelebihan kapasitas industri dalam negeri dengan merangsang permintaan eksternal untuk barang, jasa, dan modal.

Oleh karena itu, proyek yang disetujui dalam BRI mengikuti logika ekonomi, bukan geopolitik. Dengan demikian, narasi yang mengatakan bahwa BRI adalah cara Tiongkok untuk menjadi hegemon adalah narasi yang kurang tepat.

Pemberitaan yang mengatakan bahwa utang Tiongkok begitu menyeramkan dapat kita artikan sebagai skenario drama yang dimainkan AS dalam memosisikan dirinya sebagai protagonis, sementara Tiongkok menjadi antagonis. Dengan menyebarkan kekhawatiran jebakan utang, AS bisa membuat banyak negara merasa tidak percaya dengan perjanjian ekonomi yang akan dilakukannya dengan Tiongkok.

Lalu, mengapa hal ini dilakukan AS?

Well, kita bisa menginterpretasikannya dengan menggunakan power transition theory yang digagas A. F. K Organski. Teori ini menekankan bahwa munculnya suatu kekuatan baru di sistem internasional akan menjadi tantangan bagi kestabilan sistem yang sebelumnya dibuat oleh satu negara hegemon.

Untuk menjaga agar kekuatannya tidak terkikis, maka negara hegemon tersebut perlu berupaya agar peningkatan kekuatan kompetitornya bisa dikontrol. Di era modern ini, salah satunya adalah dengan menggunakan kekuatan propaganda.

Dari sini, bisa disimpulkan bahwa persoalan tentang jebakan utang internasional ini semua sesungguhnya adalah peperangan narasi antara Barat dan Tiongkok.

Akhir kata, kita perlu mulai sadar bahwa meski utang Tiongkok memang memiliki risikonya sendiri, narasi tentang kekejamannya adalah sebuah tindakan yang berlebihan. Segala bentuk utang pasti memiliki kerugiannya. Dan khusus dalam kasus Sri Lanka, utang yang paling berbahaya berasal dari ketergantungannya pada IMF dan sistem keuangan Barat. (D74)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

More Stories

When Silence is Not Golden..

Ini berdasarkan hasil penelusuran di pemberitaan ya. Siapa lagi menteri yang menurut kalian sudah gercep dan yang masih loyo? Share di kolom komentar!

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Megawati Not Fit or No Money?

Apakah Bu Mega akan turun langsung ikut kampanye nanti?