Di tengah ramainya spekulasi tentang komposisi pasangan kandidat calon presiden (capres), wacana duet Puan Maharani dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dapat menjadi kejutan politik yang menantang setiap pendapat umum. Lantas, bagaimana jika pasangan Puan-AHY ini benar-benar terjadi?
Pemberitaan pasangan bakal calon Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 menjadi atensi warganet akhir-akhir ini. Hal ini tidak lepas dari semakin intensnya akrobat politik yang dipertontonkan para kandidat di berbagai macam platform media sosial.
Merujuk dari regulasi, partai politik (parpol) yang dapat mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden hanyalah parpol atau koalisi parpol hasil pemilu sebelumnya yang mendapat kursi 20 persen di DPR atau 25 persen suara pemilih nasional.
Jika merujuk pada regulasi ini, maka parpol yang memenuhi syarat itu hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sedangkan partai-partai lain harus berkoalisi untuk mencapai ambang batas pencalonan tersebut.
Saiful Mujani, pendiri Saiful Mujani Research and Consulting, meramalkan akan muncul beberapa nama yang didorong menjadi calon presiden. Ada nama Prabowo Subianto dari Partai Gerindra, Puan Maharani dari PDIP, Airlangga Hartarto dari Partai Golkar, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari Partai Demokrat.
Saiful melanjutkan, karena syarat batas minimal partai untuk bisa mencalonkan sangat tinggi, maka hanya PDIP yang bisa mencalonkan tanpa koalisi. Karena itu, jumlah calon maksimal hanya empat atau tiga pasangan.
Puan dinilai telah melakukan sosialisasi masif untuk mempromosikan dirinya di tengah masyarakat. Oleh karena itu, Puan dianggap berpeluang akan menjadi calon kuat, hanya saja perlu pasangan yang cocok mendampinginya nanti.
Sebagian besar orang menilai pasangan yang cocok dengan Puan adalah Prabowo karena faktor-faktor kedekatan dan sejarah yang memungkinkan kedua kandidat ini dapat berlaga di Pilpres 2024.
Tapi, mungkinkah peluang lain yang dapat terjadi nanti? Bukan berpasangan dengan Prabowo, Puan bisa jadi berpasangan dengan AHY. Wacana ini pasti ditolak karena banyak pertimbangan ketidakcocokan keduanya.
Lantas, seperti apa argumen yang mendasari ketidakmungkinan Puan dan AHY berpasangan pada Pilpres 2024 mendatang?
Terjebak Masa Lalu?
Cerita tentang sulitnya pasangan Puan dan AHY berakar dari konflik kedua orang tua mereka, yaitu Megawati Soekarnoputri dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagai anak kandung dari dua tokoh yang berseteru, seolah menjadikan dosa turunan itu berlanjut ke mereka.
Derek Manangka dalam buku Jurus dan Manuver Politik Taufiq Kiemas: Memang Lidah Tak Bertulang, memaparkan penyebab utama Megawati tak mau bertemu SBY adalah karena merasa dibohongi. Meski tak pernah diungkapkan secara terbuka, gestur Megawati yang kesal terhadap SBY sudah menjadi rahasia umum.
Jika dilacak, benih konflik antara Megawati dan SBY dimulai pada tahun 2003. Saat itu SBY masih menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) di era Presiden Megawati. Karena jabatan strategis, SBY pun sering tampil di televisi untuk sosialisasi pemilu.
Kekecewaan Megawati terlihat saat SBY mundur dari jabatan Menko Polkam. Di tengah memanasnya situasi, Sekretaris Menko Polkam Sudi Silalahi mengungkapkan keluhan SBY yang tak diajak rapat kabinet dan merasa dikucilkan dari pihak Megawati.
Tjipta Lesmana dalam bukunya Soekarno Sampai SBY Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa, menceritakan bagaimana kelompok Megawati mencium ‘gelagat politik’ SBY yang semakin tampak, karena itu SBY kemudian dikucilkan oleh kelompok Megawati.
Merespons kondisi politik yang rumit saat itu, Taufiq Kiemas kemudian angkat suara. Dia menyebut SBY sebagai ‘anak kecil’ karena dianggap tak berani bicara langsung dengan Megawati ketika tidak diajak rapat kabinet. Sebaliknya, SBY dianggap hanya bisa berkoar di media massa.
Akibat pernyataan Taufiq, mulai muncul simpati banyak orang kepada SBY sebagai pihak yang terzalimi. Kemudian popularitas SBY melejit naik, dan bersama Jusuf Kalla (JK) memenangkan Pilpres 2004 mengalahkan Megawati yang juga maju bersama Hasyim Muzadi.
SBY memerintah sebagai presiden selama dua periode, dan selama itu hubungan keduanya seolah terus berseberangan tanpa ujung. Megawati bersama PDIP konsisten menjadi partai oposisi pemerintah hingga akhirnya era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Bahkan pada Pilpres 2019, terdapat cerita bahwa SBY dan Demokrat sudah memperlihatkan dukungan kepada Jokowi untuk berkompetisi. Tapi hal tersebut pupus, SBY “mengakui” hubungannya dengan Megawati yang berjarak menjadi alasan partainya sulit berkoalisi mendukung Jokowi.
Selain itu, sebagian kelompok juga memainkan isu lama yang membuat hubungan keduanya seakan sulit untuk disatukan, yaitu isu keterlibatan SBY pada Peristiwa Kudatuli (akronim dari Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli).
Peristiwa ini terjadi pada 27 Juli 1996. Dalam tragedi ini, Ketua Umum PDI hasil kongres Medan Soerjadi menyerbu dan menguasai Kantor DPP PDI yang dikuasai Ketua Umum PDI hasil kongres Surabaya, yaitu Megawati.
Kisah SBY dan Megawati ibarat kereta yang melintasi lorong gelap, selalu ada harapan di ujung lorong muncul secercah cahaya. Saat generasi berganti dari Megawati ke Puan kemudian dari SBY ke AHY, harapan munculnya cahaya tersebut kian terbuka.
Terdapat dua momen yang menjawab harapan bersatunya dua trah politik ini. Pertama, saat dilakukannya upacara pemakaman Kristiani Herrawati (Ani Yudhoyono), berlanjut sampai Lebaran Idulfitri pada tahun 2019.
Kedua putra SBY, AHY dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) bertemu dengan Megawati bersama anak-anaknya, Puan Maharani dan Prananda Prabowo. Meski pertemuan itu hanya berlangsung singkat, pertemuan dua trah politik tersebut mendapat respons positif dari banyak orang.
Momen kebersamaan mereka itu terus menjadi perbincangan dan decak kagum. Jika keharmonisan seperti ini terus dijaga, Puan dan AHY digadang-gadang bisa menjadi duet maut di Pilpres 2024. Lantas, jika hal tersebut benar terjadi, maka seperti apa perubahan yang mungkin terjadi?
Puan-AHY Kemungkinan Terbaik?
Dalam politik semua hal dapat terjadi. Mengutip mantan Kanselir Jerman Otto von Bismarck, politik adalah seni dari kemungkinan-kemungkinan, sesuatu yang dapat dicapai dan juga politik merupakan seni untuk memilih yang terbaik bagi persoalan umat manusia.
Jika politik diumpamakan sebagai seni, maka politik tidak dapat dibatasi oleh kalkulasi eksakta yang kaku maupun dibatasi hanya dengan satu pilihan tunggal. Seni politik menandakan munculnya ribuan kemungkinan berdasarkan perspektif, momentum, dan berbagai variabel lainnya.
Pilihan-pilihan politik terejawantah secara multi dimensi. Dalam konteks ini, politik berbeda dengan seni, pilihan-pilihan multi dimensi politik terikat oleh satu hal, yaitu kepentingan. Jika esensi dari seni adalah idealisme, maka jiwa dari politik adalah kepentingan.
Dalam politik segala kemungkinan bisa terjadi. Kemungkinan yang didasarkan pada kepentingan. Kemungkinan apa yang terbaik sesuai kepentingan. Bukti paling hangat atas premis ini dapat kita lihat pada momen pemilihan presiden di Filipina.
Dua klan politik terkemuka di Filipina, yang mempunyai perbedaan mencolok, akhirnya juga bersatu memimpin pemerintahan negara tersebut. Dua klan tersebut adalah klan Marcos yang diwakili Ferdinand Marcos Jr. alias Bongbong dan klan Duterte yang diwakili Sara Duterte-Carpio.
Menuju Pilpres 2024, hal sama bisa saja terjadi dalam politik Indonesia. Duet Puan dan AHY dapat menjadi kejutan politik yang menantang setiap pendapat umum, yaitu penilaian publik bahwa kedua trah ini tidak mungkin akan bersatu.
Puan dan AHY dapat menjadi pasangan yang ideal karena merupakan representasi dari berbagai komposisi, termasuk komposisi gender dan juga kombinasi dari latar belakang militer dan sipil. Kita tahu, masyarakat Indonesia suka memainkan wacana komposisi yang saling berpadu ini.
Duet mereka juga dapat menjadi simbol telah berakhirnya konflik antara trah politik Megawati dengan SBY. Dosa turunan dihapuskan oleh kedua pasangan ini. Bisa jadi dengan berakhirnya konflik ini dapat menjadi angin penyejuk panasnya konstelasi politik di Indonesia.
Penggabungan trah politik dari dua partai besar, di mana PDIP menjabat selama dua periode di era Jokowi, kemudian sebelumnya Partai Demokrat juga melakukan hal yang sama di era SBY. Duet Puan-AHY akan menjadi duet dua dinasti.
Well, memang sulit untuk menebak apa yang terjadi di masa depan, karena logika hanya mengantarkan kita dari pergerakan alfabet a hingga z. Tapi, imajinasi akan menerobos keluar dari batas logika untuk mengantarkan kita ke semua dimensi kehidupan. Dalam politik, imajinasi diperlukan sebagai nafas dari seni kemungkinan. (I76)