Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) yang menolak gugatan kubu Moeldoko terhitung sebagai kekalahan ke-13 dalam upaya mengkudeta pucuk pimpinan Partai Demokrat. Lantas, selain menang secara hukum, AHY mampu menang secara politik di tengah manuver politik Moeldoko?
Perseteruan antara Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan kubu Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko terus berlanjut meski Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) mengeluarkan putusan yang mengandaskan gugatan kubu Moeldoko soal hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat.
Merespons hasil PT TUN, AHY berharap kubu Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mendapatkan hidayah – berharap putusan itu akan mengakhiri upaya kubu Moeldoko mengganggu Partai Demokrat yang saat ini dipimpin olehnya.
Sekjen DPP Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya mengatakan bahwa keputusan PT TUN semakin menegaskan bahwa hasil Kongres V Partai Demokrat pada 2020 silam sah dan juga sesuai aturan yang berlaku.
Putusan Nomor 150 PT TUN ini menolak permohonan kubu Moeldoko yang meminta majelis hakim memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) mengesahkan perubahan AD/ART dan susunan Pengurus Partai Demokrat hasil pertemuan di Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut).
Seolah tidak ada habisnya, drama AHY versus Moeldoko selalu berlanjut dengan episode-episode yang berbeda – diawali konferensi pers yang digelar AHY pada 1 Februari 2021 yang mengatakan bahwa ada upaya pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat yang melibatkan Moeldoko hingga berlanjut diadakan sebuah KLB yang digelar di Deli Serdang dan menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum pada 5 Maret 2021.
Akrobat politik Moeldoko menyita banyak perhatian publik. Hasil KLB tersebut pun direspons oleh Menkumham Yasonna Laoly yang menyatakan bahwa pemerintah menolak permohonan pengesahan kepengurusan Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang pada akhir Maret 2021. Alasannya adalah karena terdapat beberapa dokumen yang belum lengkap.
Meski berbagai gugatan dan upaya hukum pun dilayangkan oleh kubu Moeldoko untuk mendapatkan legalitas, berbagai upaya itu pun akhirnya berulang kali juga ditolak pengadilan. Jika dikalkulasi, putusan ini menjadi kekalahan ke-13 bagi kubu Moeldoko dalam upaya mengkudeta pucuk pimpinan Partai Demokrat.
Alih-alih perseteruan ini melemahkan posisi AHY, sebaliknya menurut berbagai survei, elektabilitas AHY naik setelah merespons wacana pengambilalihan Partai Demokrat. Bahkan, sebagian pengamat menilai bahwa masyarakat bersimpati karena melihat AHY sebagai korban. Hal ini juga yang bantu elektabilitasnya meningkat.
Lantas, seperti apa akrobat politik AHY yang dapat memainkan strategi playing victim-nya hingga membuahkan hasil positif bagi elektabilitas dirinya dan Partai Demokrat?
Jadi Korban, Simpati Melimpah?
Konflik Moeldoko memberikan efek positif terhadap elektabilitas Partai Demokrat dan ketua umumnya AHY. Tidak bisa dipungkiri bahwa upaya kudeta berbuah manis – dibuktikan dengan meningkatnya tingkat keterpilihan AHY.
Hasil survei beberapa lembaga menunjukkan bahwa elektabilitas Demokrat meningkat dalam dua tahun terakhir. Contohnya, survei Populi Center mencatat elektabilitas Demokrat naik dari sekitar 3 persen menjadi 9,6 persen. Begitu pula survei Litbang Kompas yang mencatat elektabilitas Demokrat melonjak dari 3,6 persen pada 2020 menjadi 10,7 persen pada awal 2022.
Aisyah Yuri Oktavania dalam tulisannya Mengenal Playing Victim dalam Politik, Istilah yang Muncul Sejak Kuno mengatakan bahwa terdapat desain politik di tengah kisruh Partai Demokrat – yang ,ana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dianggap menggunakan jurus lama, playing victim, untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Agar bendera Demokrat kembali berkibar menjelang pemilu 2024, AHY diduga juga menggunakan strategi yang mungkin saja diwariskan oleh pendahulunya, yaitu ayahnya sendiri SBY. Strategi yang sama pernah berhasil digunakan untuk mengantarkannya menjadi presiden di Pilpres 2004.
Dengan latar belakang militer, SBY dan kemudian AHY saat ini, seolah jadi swa-bukti ketidakasingan mereka dengan strategi perang yang digagas oleh Sun Tzu. Dalam buku Seni Perang dan 36 Strategi karya Sun Tzu, konsep playing victim dalam strategi perang lumrah digunakan.
Pada strategi ke-34 sub-bab Strategi Kalah, disebutkan upaya melukai diri sendiri untuk mendapatkan kepercayaan musuh (masuk ke dalam jebakan, jadilah umpan). Sun Tzu menjelaskan dengan berpura-pura terluka bisa menimbulkan dua kemungkinan.
Pertama, musuh akan bersantai sejenak karena dia tidak memandang kita sebagai ancaman serius. Kedua, menjilat musuh dengan berpura-pura terluka sehingga musuh merasa aman. Strategi ini sebagai strategi mengelabui dan memanipulasi keagresifan musuh.
Efek dari strategi ini dalam konteks kisruh Demokrat bisa terlihat dari munculnya pandangan tidak netral dari publik dikarenakan adanya pengaruh psikologis yang menggugah simpati sehingga publik dominan irasional dan membangun pemahaman tersebut dengan menutup mata – mendukung tanpa mempertimbangkan fakta.
Tidak bisa dipungkiri, playing victim dapat mengakumulasi simpati publik sehingga strategi politik ini ampuh untuk melemahkan, menghancurkan, kemudian menguasai pihak lawan. Bukan hanya dalam perang, aksi menyerang dan bertahan juga ada dalam dunia politik.
Ini terlihat bagaimana pelaku playing victim seolah sebagai korban teraniaya dalam sebuah kasus tertentu yang kemudian menggugah simpati dan dukungan publik. Ditambah dengan pernyataan-pernyataan maupun framing kejadian, membuat simpati publik makin melimpah.
Strategi ini dinilai cukup ampuh untuk menggiring opini masyarakat. Permainan kata-kata dan taktik cantik dan cerdik memang terbukti banyak mengelabui dan digunakan dalam berbagai situasi. Dengan gestur dan pernyataan yang rapi, AHY mampu memainkan peran ini dengan baik.
Lantas, mungkinkah strategi yang pernah dilakukan oleh SBY dulu punya dampak yang sama terhadap AHY di Pilpres 2024?
AHY Modifikasi Strategi SBY?
Salim Said Pengamat Politik dan Militer, mengatakan, SBY atau pengikutnya ketika itu mendramatisir tingkah laku politik Taufik Kiemas untuk popularitas dirinya. Dari situ, dia kerap mengatakan ke publik telah diperlakukan tidak adil selama duduk di kabinet Megawati.
SBY dikatakan menggunakan jurus playing victim ketika masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam). Saat itu, SBY disebut oleh almarhum Ketua MPR RI Taufik Kiemas sebagai anak kecil.
Sekarang, muncul lagi tuduhan semacam itu. AHY digambarkan telah dizalimi oleh Moeldoko, tentunya mengaitkan nama Moeldoko akan terkait dengan konteks kekuasaan. Karena sebagai KSP, Moeldoko merupakan orang dekat Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Mungkin, apa yang dilakukan oleh AHY saat ini lebih dari sekadar playing victim karena beberapa peneliti politik menilai ada semacam strategi tambahan yang digunakan AHY untuk mengurai konflik yang didera oleh Partai Demokrat saat ini.
Politisi Demokrat Kamhar Lakumani – merujuk hasil riset Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) – mengatakan bahwa keberhasilan Partai Demokrat melewati terpaan badai ini menunjukkan kualitas kepemimpinan AHY sebagai nakhoda yang andal. Kamhar menilai terdapat empat strategi penting dari kepemimpinan AHY yang membuat elektabilitas Demokrat meroket berdasarkan hasil survei LP3ES.
Pertama, kecepatan AHY merespons persoalan dan mengambil keputusan. Kedua, ketepatan memilih strategi dalam mengajak publik termasuk media massa dalam misi mengontrol demokrasi. Ketiga, keberanian hadapi orang yang lebih tinggi posisinya, di mana yang dihadapi adalah Moeldoko yang merupakan purnawirawan jenderal yang berada di kekuasaan.
Keempat, kemampuan AHY dalam membangun dan menjaga soliditas kader – terutama ketika diterpa isu perpecahan. Hal ini terlihat ketika ia melakukan safari dan konsolidasi di tiap daerah untuk menguatkan soliditas internal Partai Demokrat di daerah.
Pasca-dua periode jabatan Presiden Jokowi, kontestasi politik seolah di-reset. Artinya, peluang bisa terbuka untuk siapa saja karena tidak ada petahana yang punya sumber daya sebagai penguasa. Momen ini yang sebenarnya harus jadi orientasi AHY saat ini.
Berkaca di akhir dua periode SBY, maka yang muncul orang baru dari pihak oposisi, yaitu Jokowi. Muncul fenomena politik yang bisa kita sebut “pola setelah dua periode”. Ada kecenderungan masyarakat mencoba pilihan alternatif – biasanya pilihan itu ada pada oposisi pemerintah.
Jika, di era SBY, antitesis dari Partai Demokrat adalah PDIP, maka tidak menutup kemungkinan di era terakhir Jokowi yang diusung oleh PDIP akan memunculkan fenomena yang berulang.
Dengan memainkan isu perpecahan internal Partai Demokrat dengan baik. AHY digadang-gadang akan memainkan politik cantik. Politik yang bukan hanya meniru apa yang telah dilakukan oleh SBY, tapi terdapat semacam modifikasi-modifikasi tambahan karena pengaruh kebutuhan zamannya. (I76)