Direktur Lokataru Haris Azhar pada salah satu agenda diskusi publik menyebutkan bahwa praktik oligarki tengah menjangkiti struktur pemerintahan Indonesia saat ini. Apakah ini merupakan sentilan (lagi) kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan?
Pernahkah kamu memainkan karambol? Iya, permainan yang cara mainnya dengan cara menargetkan bidak yang disasar dan kemudian bidak tersebut disentilkan hingga mengenai target. Bam! target pun kena sentilan kita. Tentunya, ada rasa kepuasan dari kita saat dapat mengenai target yang sudah kita incar, bukan?
Eits, tapi tulisan ini bukan bermaksud untuk menjelaskan detail dari permainan karambol. Mungkin kamu nanti bisa langsung coba memainkannya sendiri.
Usut punya usut, ternyata tidak hanya karambol doang lho yang dapat dikaitkan dengan unsur sentil-menyentil. Tidak lama ini, Direktur Lokataru Haris Azhar sedang memainkan aksi “sentilan-sentilan”. Namun, konteks sentilan kali ini ditujukan untuk orang beneran ya.
Pada 23 April 2022 silam, Haris menjadi narasumber dalam diskusi publik yang digelar Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem). Kebetulan, acara tersebut diselenggarakan oleh Repdem yang merupakan salah satu organisasi sayap PDIP serta dihadiri oleh Masinton Pasaribu yang notabene kader PDIP.
Di momen tersebut, Haris menyentil Menteri Koordinator (Menko) yang ada di dalam Kabinet Joko Widodo (Jokowi), antara lain Menko Perekonomian Airlangga Hartanto dan bintang utamanya, yaitu Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan.
Beliau menyerang dan menyentil terkait tepatkah seorang Luhut yang mana masih menjadi pejabat negara juga merangkap menjadi seorang pebisnis. Hal tersebut dikarenakan, menurutnya, bahwa sejatinya seorang pejabat negara tidak boleh mengurusi vested interest-nya, atau istilah awamnya masih cawe-cawe ngurusin kepentingan pribadi.
Menarik bahwa sentilan yang dilakukan oleh Haris dapat dikategorikan sebagai criticism atau kritik. Konsep criticism sendiri – merujuk dari Eagleton dalam bukunya The Function of Criticism pada 1984 – menjadi suatu cara untuk menyatakan keresahan yang dapat berbalut sindiran langsung.
Criticism juga tumbuh dan menjadi cara para kelas menengah abad ke-17 dan abad ke-18 dalam menentang wujud absolutisme negara ataupun unit kekuasaan yang ada. Namun, terdapat konsep lainnya yang dapat menjadi pembanding dalam melihat konsep criticism, yaitu compliments atau sanjungan.
Compliments dapat dipahami sebagai suatu wujud – baik secara eksplisit ataupun implisit – dalam memberikan penghargaan kepada seseorang untuk beberapa konteks “kebaikan” yang dimilikinya – dapat itu berupa kepemilikan, karakteristik, keterampilan, dan lain sebagainya. Menurut Janet Holmes, sanjungan harus tetap berada dalam jalur penghargaan yang dinilai positif oleh si pemberi sanjungan itu sendiri.
Kembali pada fenomena kritik Haris yang berbalut sentilan kepada Luhut, bahwa hal tersebut menemui episode panjang – yang mana sebelumnya seperti yang kita sudah tahu bahwa Haris juga pernah menyentil Luhut pada beberapa kesempatan sebelumnya. Tentu, hal tersebut langsung direspons oleh Luhut dengan menuntut Haris dengan tuduhan pencemaran nama baik hingga Haris saat ini tengah berstatus sebagai tersangka.
Hal ini seakan menambah babak baru dalam melihat oposisi yang terepresentasi oleh Haris Azhar, melawan pemerintah yang diwakili oleh Luhut. Bak adegan di salah satu sequel film laga Captain America: Civil War, di mana terdapat perseteruan panjang antara Captain America dan Iron Man.
Menurut kamu, siapa yang menjadi sosok Iron Man dan Captain America? Apakah Iron Man itu Haris Azhar dan Luhut menjadi Capt-nya? Atau dapat juga sebaliknya?
Mungkin jawabannya tergantung siapa yang paling kuat sentilannya barang kali. Menarik untuk melihat perkembangannya. (Y79)