Jika saat ini Jakarta dikenal sebagai kota kolaborasi karena wacana yang selalu disampaikan oleh Gubernur Anies Baswedan. Maka, kota kolaborasi sejatinya telah lama dibentuk oleh Ali Sadikin saat menjabat menjadi Gubernur Jakarta. Lantas, seperti apa kisah Ali Sadikin yang oleh beberapa pihak disebut sebagai bapak pembangunan Jakarta?
Kota bukan hanya pusat berkumpulnya masyarakat modern, lebih dari itu, kota di era globalisasi saat ini berkontribusi penting dalam sektor ekonomi negara. Karena aktivitas kota yang dinamis dan kompleks dapat jadi penyumbang pendapatan nasional.
Pernyataan yang sama juga bagi Jakarta. Posisinya tidak lagi bersaing dengan kota lain di Indonesia, melainkan pada level kompetisi dengan kota-kota global. Salah satu strateginya adalah dengan membangun citra dan reputasi yang positif, melalui city branding.
City branding adalah proses strategis untuk mengkomunikasikan citra suatu kota atau daerah kepada seluruh pihak yang berkepentingan, termasuk di antaranya penduduk kota, turis, investor, dan sebagainya. Dan akhir-akhir ini, Jakarta memperkenalkan dirinya sebagai kota kolaborasi.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, mengatakan strategi Jakarta untuk bangkit di antaranya mengedepankan pendekatan kolaborasi dalam setiap program pembangunan, terlebih melalui Plus Jakarta yang menunjukkan Jakarta sebagai kota kolaborasi.
Konsep kolaborasi sering dikampanyekan oleh Anies, dalam setiap pertemuan di beberapa tempat di luar Jakarta. Anies seolah memperlihatkan keberhasilan dirinya memimpin Jakarta karena adanya visi besar kolaborasi.
Dalam beberapa ceramahnya, ia menjelaskan tema Jakarta Bangkit mengandung optimisme untuk pemulihan dalam berbagai aspek, baik kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan. Anies menjelaskan bahwa proses untuk bangkit dan pulih juga tak dapat dilepaskan dari kolaborasi yang terbangun dengan baik.
Visi besar kolaborasi Anies, dikenal sebagai bagian dari strategi city branding. Hal ini rupanya terdapat juga dalam studi kebijakan publik, yaitu strategi kebijakan yang mengandaikan pembangunan dilakukan oleh beberapa pihak sekaligus, yakni pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Ni Luh Yulyana Dewi dalam tulisannya Dinamika Collaborative Governance Dalam Studi Kebijakan Publik, mengatakan collaborative governance adalah proses dan struktur yang melibatkan berbagai pihak melintasi batas-batas organisasinya.
Kolaborasi digunakan untuk menggambarkan kerja sama yang formal, aktif, eksplisit, dan berorientasi kolektif dalam manajemen dan kebijakan publik. Adapun nilai dasarnya yakni orientasi konsensus dalam pengambilan keputusan.
Dibutuhkan kepemimpinan kolektif dalam kelembagaan, komunikasi multiarah dalam hubungan kemanusiaan dan berbagi sumber daya dalam mengeksekusi kegiatan. Nilai dasar tersebut menjadi satu kesatuan yang terintegrasi pada setiap tahapan kebijakan publik.
Rupanya dalam catatan sejarah, konsep kolaborasi bukan hal yang baru bagi Jakarta. Jauh sebelum Anies, saat era Gubernur Ali Sadikin memimpin Jakarta, strategi ini sudah dilakukan bahkan dalam kondisi yang lebih terbatas dibandingkan saat ini.
Lantas, seperti apa sepak terjang Gubernur Jakarta yang sempat kontroversi di era Orde Baru itu?
Ali Sadikin Ditakdirkan Pimpin Jakarta?
Ali Sadikin atau lebih dikenal dengan Bang Ali, lahir di Sumedang, Jawa Barat, pada 7 Juli 1927. Beliau adalah seorang Letnan Jenderal Korps Komando Angkatan Laut yang diberi mandat oleh Presiden Soekarno pada tahun 1966 untuk menjadi Gubernur Jakarta.
Floriberta Aning dalam buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, mengungkapkan Ali kecil bercita-cita menjadi pelaut. Ia masuk ke Sekolah Tinggi Pelayaran di zaman Jepang. Saat perang kemerdekaan, ia masuk BKR-Laut, cikal bakal TNI-AL.
Tugas pertama kemiliteran membentuk pangkalan Angkatan Laut dan Korps Marinir di Tegal, Jawa Tengah. Dan dalam beberapa catatan, Ali Sadikin juga turut menumpas Permesta di Sulawesi Utara. Kemudian bertempur melawan Agresi Belanda I dan II.
Martin Sitompul dalam tulisannya Harapan Bung Karno pada Bang Ali, mengatakan, meski sempat tak diperhitungkan, Presiden Soekarno menjatuhkan pilihan kepada Ali Sadikin. Di tangan Ali, pembangunan Jakarta sebagai ibu kota mencapai puncaknya.
Soekarno merupakan sosok yang menjadi inspirasi Ali Sadikin dalam setiap kegiatannya termasuk menjadi Gubernur DKI. Kedekatan mereka terlihat dari fakta bahwa Soekarno saat menjabat presiden selalu ceramah di acara HUT Jakarta.
Ramadhan KH dalam bukunya Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977, menceritakan kembali bagaimana simpatinya Ali Sadikin kepada Presiden Soekarno, dengan mengatakan, meski Soekarno juga punya kekeliruan, tapi kalau dihitung-hitung, lebih banyak jasanya dibandingkan kesalahannya.
Jika Ali Sadikin mempunyai panggilan Bang Ali, istrinya Nani Arnasih, yang juga seorang dokter gigi, sering disapa Mpok Nani oleh warga Jakarta. Saat Ali Sadikin mulai menjabat sebagai gubernur, Mpok Nani mengambil keputusan untuk fokus membantu suami dengan tidak melakukan kegiatan profesinya sebagai dokter. Hal tersebut merupakan pengorbanan yang cukup berat bagi seorang perempuan karier.
Membuat aturan yang kontroversial juga butuh pengorbanan bagi seorang pemimpin. Pengorbanan berupa sikap untuk dapat menerima polemik yang bisa saja tidak diterima secara populis. Hal ini juga pernah dilakukan oleh Ali Sadikin pada periode 1966-1977. Salah satunya saat judi pernah dilegalkan.
Saat itu, Gubernur Ali bingung bagaimana caranya membangun Jakarta yang hanya memiliki kas dengan jumlah sedikit. Kemudian Ali berpikir kenapa orang Tionghoa kalau mau berjudi harus keluar negeri dan buang-buang uang di sana.
Kenapa tidak di Jakarta saja dengan pajak yang besar. Dengan demikian uang tidak kabur kemana-mana. Dalam 10 tahun, anggaran pembangunan DKI yang semula Rp 66 juta menjadi Rp 89 miliar. Meski kebijakan ini tidak mulus dan menjadi kontroversi di tengah masyarakat.
Kebijakan membuat Kramat Tunggak menjadi lokalisasi terbesar di Asia Tenggara pada masanya dan juga pemberhentian operasi becak merupakan deretan kebijakan kontroversi yang jadi buah bibir di kalangan masyarakat pada era kepemimpinan Ali Sadikin.
Nurul Diva Kautsar dalam tulisannya Kisah Ali Sadikin yang Sempat ‘Dimusuhi’ Soeharto, mengatakan kepemimpinan Ali Sadikin dianggap sejajar dengan Soeharto saat itu karena memiliki gaya kepemimpinan yang disukai warga ibu kota.
Hal ini terefleksikan dari citra Ali Sadikin yang dikenal sebagai sosok yang melindungi warganya lewat penertiban berbagai tindak kejahatan, termasuk oknum militer yang kerap melakukan tindakan semena-mena.
Konflik Soeharto dan Ali Sadikin juga berlanjut kemudian pada Petisi 50. Keterlibatannya dalam Petisi 50 membuat rezim Orde Baru memberangus hak-hak politiknya. Meski demikian, jasa dan warisan Ali Sadikin hingga ini dikenang banyak warga Jakarta.
Well, begitu menarik melihat kisah Ali Sadikin saat memimpin Jakarta. Lantas, di balik semua prestasinya, mungkinkah ada nilai-nilai yang dapat kita ambil saat beliau memimpin Jakarta?
Pemimpin Berani Jakarta?
Andy Ahmad Zaelany dalam tulisannya Karakter Kepemimpinan Jakarta, mengatakan permasalahan pembangunan Kota Jakarta yang begitu berat membutuhkan pemimpin yang tangguh. Jakarta adalah melting pot ketika masyarakat dari beragam suku, agama, dan daerah di seluruh Indonesia mengadu nasib di ibu kota.
Zaelany melihat karakter ini terlihat pada sosok Ali Sadikin. Sebagai seorang marinir, Ali Sadikin dikenal berani berkelahi semenjak kanak-kanak. Tidak hanya membenamkan diri di sekolah, tapi juga tersosialisasikan dengan budaya jalanan (street culture), bersuara keras, dan kurang mengikuti protokol.
Ketika Presiden Soeharto sedang berceramah di depan banyak orang, dialah satu-satunya orang yang berani menginterupsinya. Ketika lalu lintas Jakarta macet, dia turun dari mobilnya dan langsung mengatur lalu lintas.
Dia juga berani mengobrak-abrik kuburan untuk keperluan pembangunan. Dia juga membangun Taman Ismail Marzuki (TIM), mengembangkan kesenian.Tentunya yang paling sensasional, dialah orang pertama yang melakukan lokalisasi pelacuran dan juga hendak melakukan lokalisasi perjudian.
Bahkan dalam banyak catatan, Presiden Soekarno mengatakan Ali memiliki watak yang keras, sehingga ia akan menjadi sosok ditakuti oleh orang lain. Ali Sadikin menjadi gubernur pertama dengan masa jabatan paling lama, yaitu 11 tahun.
Gemma D’Auria dan Aaron De Smet dalam tulisannya Leadership in a Crisis, mengatakan ketika para pemimpin memutuskan tindakan, mereka harus bertindak dengan tegas. Ketegasan yang terlihat akan membangun kepercayaan organisasi pada pemimpin.
Dalam upaya membangun Jakarta yang “keras”, Ali Sadikin menggunakan berbagai pendekatan pada beberapa momen tertentu. Hal ini yang kemudian memperlihatkan Ali menjadi gubernur yang kontroversial, karena selalu keluar dari pakem cara berpikir kebanyakan orang.
Banyak kebijakan Ali Sadikin perlahan dapat memperbaiki situasi di ibu kota. Bukan karena dia mampu membuat kolaborasi yang melibatkan banyak pihak, melainkan keberanian dalam mengambil keputusan di tengah situasi yang kompleks menjadi catatan penting dalam kepemimpinannya. (I76)