HomeNalar PolitikTan Malaka Inspirasi Gerakan Mahasiswa?

Tan Malaka Inspirasi Gerakan Mahasiswa?

Sejarah Indonesia mencatat, melalui demonstrasi mahasiswa mampu menumbangkan penguasa. Gerakan mahasiswa ini mirip dengan pemikiran Tan Malaka tentang perlawanan terhadap penguasa yang menjajah. Lantas, apakah gerakan mahasiswa ini terinspirasi dari sosok Tan Malaka?


PinterPolitik.com

Demonstrasi mahasiswa seakan menjadi momok bagi penguasa di setiap rezim. Hal ini pun terjadi saat ini, ketika  gabungan mahasiswa hampir di seluruh Indonesia melakukan aksi besar-besaran guna menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode.

Gerakan mahasiswa bukan hal yang asing dalam perbincangan politik. Tercatat dalam sejarah Indonesia, beberapa rezim akhirnya jatuh dikarenakan aksi maupun demonstrasi mahasiswa. Dan bukan sekali ini saja mahasiswa berdemonstrasi secara masif untuk menggugat pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setidaknya, sudah tiga kali terjadi demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran, dua di antaranya menumbangkan rezim yang tengah berkuasa. Kejatuhan itu pun punya persamaan, yakni dimulai dari pemimpin yang tidak mau mendengar aspirasi rakyatnya.

Demonstrasi mahasiswa pertama terjadi pada awal 1966. Kala itu ribuan mahasiswa turun ke jalan, protes terhadap kondisi negara yang kian memprihatinkan. Protes ini berhulu dari tragedi berdarah Gerakan 30 September 1965. Demonstrasi mahasiswa ini yang menggulingkan Orde Lama dan melahirkan rezim Orde Baru.

Demonstrasi kedua, terjadi di akhir periode Orde Baru. Gerakan mahasiswa berhasil menumbangkan rezim Soeharto pada 1998. Gerakan ini bermula dari krisis ekonomi 1997 dan ketidaksiapan rezim Soeharto mengatasinya.

Gelombang aksi yang membesar sejak Maret 1998 seiring dengan pernyataan Soeharto bersedia dipilih lagi menjadi presiden. Gelombang besar mahasiswa lalu menduduki Gedung DPR/MPR sejak 18 Mei 1998. Karena kian terjepit, akhirnya pada 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden.

Gerakan mahasiswa untuk demonstrasi, merupakan  transformasi dari bacaan dan pemikiran tentang peran mahasiswa sebagai gerakan perubahan sosial. Dan biasanya buku atau bacaan yang menumbuhkan kesadaraan tersebut berasal dari buku-buku yang membangkitkan semangat perjuangan, seperti buku Madilog dan Aksi Massa karya Tan Malaka.

Tan Malaka sebagai tokoh bangsa, tidak akan pernah kekurangan pengagum dari generasi ke generasi. Kemampuannya untuk  membangkitkan semangat perjuangan adalah oase di tengah kondisi penguasa yang selalu ingin mempertahankan status quo kekuasaannya.

Lantas, seperti apa kisah tokoh yang mampu menjadi inspirasi gerakan mahasiswa ini?

infografis blank new watermark

Tan Malaka Sulit Dilupakan

Tan Malaka memiliki nama asli Ibrahim. Nama Tan Malaka sendiri adalah nama semi-bangsawan yang ia dapat dari sang ibu.  Nama lengkapnya adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Tan Malaka lahir pada 1897 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Meski sosoknya kontroversial, Tan Malaka memberi banyak sumbangsih bagi bangsa Indonesia. Atas jasanya, ia pun mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 28 Maret 1963 berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 53 yang ditandatangani oleh Soekarno. Dia juga dikenal sebagai pendiri Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) pada 7 November 1948.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Reinard L. Meo dalam tulisannya Tan Malaka dan “Aksi Massa”, mengatakan bahwa sejarah seolah melupakan Tan Malaka, bahkan bukan seolah. Bagi Reinald, terdapat upaya sistematis untuk melupakan Tan Malaka, dengan cara membangun persepsi bahwa Tan malaka adalah pemberontak, komunis, hingga provokator.

Sebagaimana anak zaman di periode pra kemerdekaan, Tan Malaka juga punya cita-cita besar tentang Tanah Air. Salah satunya, Republik Indonesia harus lahir dari revolusi. Segala bentuk strategi diplomasi dengan kolonialisme Belanda, merupakan sikap yang sangat ditolak olehnya.

Pemikiran Tan Malaka tentang konsep pergerakan revolusioner berawal saat melanjutkan pendidikan di Belanda. Pada Mei 1922, Tan Malaka dicalonkan sebagai anggota dewan di Belanda lewat Communistische Partij (CP). Tujuan pencalonan ini diharapkan dapat menggambarkan kondisi Hindia di Belanda.

Zulhasril Nasir dalam bukunya Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau, mengatakan pada tahun 1913, Tan Malaka telah mendahului sekolah ke Belanda daripada tokoh-tokoh nasional lainnya, seperti Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir. Perantauannya ke Belanda yang membentuk wataknya.

Unsur-unsur egaliter Minangkabau mempunyai kaitan erat dengan sikap revolusioner Tan Malaka. Tradisi Minangkabau yang dipegang erat dan ditambah juga dengan pergaulannya dengan koleganya M. Hatta dan Syahrir, yang juga merupakan pemuda Minangkabau, membentuk cara pandang Tan Malaka tentang perjuangan kemerdekaan dan cara melihat dunia.

Sejalan dari falsafah hidup orang Minangkabau, “Alam Takambang jadi Guru”. Dimaknai bahwa alam dan segenap unsurnya memiliki kaitan erat, berbenturan tapi tidak saling melenyapkan. Fenomena alam, binatang, tumbuhan tunduk kepada hukum yang telah diatur oleh Tuhan melalui keharmonisan, yang diyakini menjadi dasar pemikiran Tan Malaka dalam pergerakannya.

Tapi keharmonisan pemikirannya tidak sejalan dengan keharmonisan kehidupannya dalam dunia percintaan. Kisah percintaan Tan Malaka tak pernah berakhir di pelaminan. Memilih untuk menjomblo sampai akhir hayat.

Tan Malaka memilih tidak menikah karena baginya pernikahan akan membelokannya dari perjuangan. Namun, dia selalu bersikap penuh hormat terhadap perempuan. Ia juga tak pernah berbicara tentang perempuan dalam makna seksual.

Tan malaka adalah tokoh yang diterima oleh dua kekuatan politik perjuangan Indonesia saat itu, di mana kekuatan politik ini berseberangan secara ideologi, yaitu Sarekat Islam (SI) di satu sisi, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di sisi lainnya. Bahkan Tan malaka selalu dipilih menjadi orang penengah di tengah perseteruan mereka.

Kisah perjuangan hidup Tan Malaka meski sempat diredupkan dalam narasi sejarah, ternyata terus menginspirasi pemikiran anak muda dalam pergulatan politik. Tak sedikit kelompok pergerakan mahasiswa kini mengutip dan menceritakan kisahnya.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Kisahnya yang abadi sesuai dengan sumpahnya dalam buku yang dikarangnya sendiri yang berjudul Penjara ke Penjara. Ia mengatakan, “Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi”.

Well, serangkaian kisah Tan malaka ini yang membuatnya menjadi sosok yang sering dihapuskan dalam sejarah tapi sulit dilupakan di setiap generasi setelahnya. Lantas, seperti apa melihat dampak pemikiran Tan Malaka pada generasi saat ini?

infografis blank new watermark

Melawan Merupakan Bahasa Mahasiswa?

Aris Santoso dalam tulisannya Memandang Generasi Muda dan Pemikiran Kiri, mengatakan upaya setiap  orang untuk menghentikan pemikiran kiri pada generasi muda, pada akhirnya adalah sebuah kesia-siaan. Pemikiran kiri adalah bagian dari proses pendewasaan seorang mahasiswa, dan kaum muda pada umumnya.

Tokoh-tokoh seperti Tan Malaka atau Sutan Sjahrir, tidak akan pernah kekurangan pengagum dari generasi ke generasi. Pola pikir mahasiswa yang kritis disinyalir berangkat dari inspirasi hidup mereka. Terdapat doktrin bahwa mahasiswa adalah agent of change ataupun sebagai middle  class, yang menjadikan mahasiswa punya tanggung jawab moral untuk melakukan perubahan.

Budaya demonstrasi atau unjuk rasa sering kali terjadi di kehidupan sosial masyarakat, yang dioperasionalkan oleh mahasiswa. Tidak heran jika dalam sebuah periode rezim politik, ada beberapa hal yang harus dirubah melalui aksi turun ke jalan.

Demonstrasi dilakukan biasanya karena kurang adilnya suatu kebijakan bagi masyarakat yang dikeluarkan atau diputuskan oleh pemerintah, sehingga perlu diprotes atau dikaji ulang agar masyarakat yang terdampak langsung, merasakan keadilan atas kebijakan tersebut.

Selama ketidakadilan dan penderitaan bisa dilihat secara kasatmata, pemikiran atau aspirasi kiri selalu memiliki ruang. Gerakan mahasiswa yang masif pada isu masyarakat, seperti saat ini tentang penolakan wacana perpanjang jabatan presiden, kenaikan BBM, dan juga harga pangan yang meresahkan, membuktikan eksistensi mereka  dalam etalase politik indonesia.

Idil Akbar dalam tulisannya Demokrasi dan gerakan Sosial; Bagaimana Gerakan  Mahasiswa Terhadap Dinamika Perubahan Sosial, mengatakan gerakan mahasiswa merupakan sebuah gerakan sosial yang terbangun berdasarkan tuntutan atas perubahan kebijakan dari pemerintah yang sudah tidak sesuai kehendak masyarakat.

Gerakan mahasiswa merupakan hal yang wajar dilakukan dalam demokrasi, selama gerakan tersebut masih  selaras dengan norma maupun aturan yang ditetapkan oleh hukum yang berlaku. Dalam demokrasi, hukum merupakan batasan dari sikap bebas masyarakat.

Sebagai penutup, dalam negara demokrasi, perlawanan atas kebijakan pemerintah dilakukan melalui demonstrasi, dan gerakan mahasiswa yang terinspirasi dari gerakan Tan Malaka, adalah bentuk dari perlawanan.

Karena bagi mahasiswa, daripada tunduk ditindas lebih baik bangkit melawan, sebab diam adalah pengkhianatan, hanya ada satu kata, lawan. (I76)


spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...