HomeNalar PolitikAndika Hapus Mitos PKI?

Andika Hapus Mitos PKI?

Kebijakan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa terkait keluarga keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) dapat menjadi anggota TNI, menuai perdebatan. Masyarakat belum melupakan sejarah di masa lalu terkait pemberontakan PKI. Lantas, mengapa kebijakan sensitif ini diambil Andika?


PinterPolitik.com

Tradisi dalam tubuh TNI, khususnya dalam proses seleksi prajurit, di mana keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) dilarang mengikuti proses seleksi diubah oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Hal ini  ditempuh Andika dengan mencabut ketentuan yang selama telah berlangsung lama.

Berselang dari pemberitaan kebijakan Jenderal Andika, spanduk bergambar Jenderal Andika berkaos palu arit lambang PKI dipasang di Tanah Abang dan Menteng, Jakarta Pusat. Spanduk provokatif ini dapat dianggap sebagai penolakan terhadap langkah tersebut.

Menjadi cerita umum, mendengar kata PKI sampai saat ini masih menjadi momok bagi sebagian atau bahkan mungkin kebanyakan dari penduduk bangsa ini. Narasi PKI juga dijadikan komoditas politik tiap tahun, khususnya saat peringatan G30S/PKI pada 30 September.

Jika melihat data, hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis pada Oktober 2021, sebanyak 84 persen responden mengaku tidak mempercayai isu kebangkitan PKI yang kerap dihembuskan segelintir kelompok pada setiap September. Hanya 14 persen responden yang percaya isu tersebut.

Wacana PKI seolah telah menjadi komoditas yang membudaya dalam perhelatan politik. Berbagai pihak mencoba memanfaatkan isu tersebut, baik sebagai kepentingan politik jangka pendek, hingga menjadikannya seakan tidak akan habis jadi amunisi setiap kontestasi politik.

Berkenaan dengan kebijakan Andika, Bambang Soesatyo sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mengaku sepakat dengan keputusan Panglima TNI tersebut. Tapi dia tetap memberikan masukan agar Andika dan jajarannya tak boleh lengah, mereka harus pastikan keturunan PKI yang mendaftar adalah yang setia terhadap Pancasila dan NKRI.

Prof. Salim Haji Said, Guru Besar Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI), mengatakan belum melihat peraturan tertulis, hukum tertulis, yang melarang atau yang mencegah anak-anak keturunan PKI untuk mendaftar masuk menjadi anggota ABRI atau TNI.

Salim Said ingin menjelaskan persoalan ini dalam konteks historis, di mana dia mengungkap bahwa dulu saking alerginya ABRI atau TNI terhadap PKI, anak-anak PKI pun tidak mungkin masuk menjadi anggota ABRI atau TNI. Hal itu disebut sebagai bersih lingkungan.

Bahkan, anggota TNI yang ketahuan sebagai keturunan PKI akan langsung dikeluarkan karena dinilai tidak bersih lingkungan. Dan tradisi ini telah berlangsung lama hingga saat ini. Oleh karenanya, keputusan Jenderal Andika seolah ingin menghapus stigma tersebut di institusinya.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Lantas, seperti apa dendam terhadap PKI yang tiada habis habisnya, hingga melibatkan Panglima TNI  Jenderal Andika untuk membuat kebijakan tentang PKI tersebut?

andika tni boleh keturunan pki ed.

PKI Akan Bangkit?

Sebagai realitas sosial yang  senantiasa mengundang kontroversi, wacana tentang PKI akan senantiasa menarik bagi siapapun, termasuk media dan akademisi. Oleh karena itu, ketika isu PKI  menguat karena berbagai faktor, berbagai akademisi yang memberikan komentar tidak pernah lepas untuk menyiarkan dan menginterpretasikan isu  tersebut.

Banyak kritik sebenarnya tentang peristiwa pemberontakan yang didalangi PKI pada 1965. Hal ini terbukti dengan munculnya berbagai versi atas peristiwa tersebut dengan berbagai perspektif yang satu sama lain tidak jarang bertolak belakang.

Versi pertama, dikemukakan akademisi Universitas Cornell, Amerika Serikat (AS) yang menyatakan peristiwa G30S 1965  adalah masalah internal AD, khususnya  kelompok militer yang berasal dari divisi Diponegoro.

Kedua, versi yang ditulis Antonie C.A. Dake yang menyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan dalang utama peristiwa tersebut merupakan Presiden Soekarno sendiri.

Ketiga, versi sosiolog  dan sejarawan Belanda, W.F. Wertheim, yang menyatakan dalang peristiwa tersebut adalah Jenderal Soeharto.

Keempat, versi mantan intelijen AS, Peter Dale Scott, yang menyatakan peristiwa tersebut merupakan bagian dari upaya menjatuhkan Presiden  Soekarno yang didalangi CIA. Hal ini berkaitan erat dengan kebijakan luar negeri Soekarno saat itu yang anti AS dan Inggris.

Meski peristiwa 1965 sudah terjadi lebih dari 50 tahun dan mereka yang merupakan keturunan PKI dan simpatisannya saat ini merupakan generasi ketiga (cucu) dan keempat (cicit), tapi riuh kemunculan kembali PKI selalu terangkat.

Sejarawan senior Azyumardi Azra, meyakini isu kebangkitan PKI hanya isapan jempol. Tak ada indikator terpercaya yang menunjukkan PKI akan bangkit. Yang muncul hanyalah semacam gerakan yang dimotivasi dendam masa lalu seperti dendam seseorang karena orangtua yang terbunuh di masa PKI yang kemudian membawa dirinya paranoid akan komunisme.

Siti Hasanah dalam tulisannya Sejarah Partai Komunis (PKI) dan Bahayanya, mengatakan, setelah PKI terpuruk karena peristiwa di Madiun, banyak yang menganggap PKI telah menghilang. Namun, pada tahun 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya, yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah.

PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Secara perlahan PKI bangkit  kembali setelah sempat dihancurkan pada pemberontakan sebelumnya.

Kemungkinan pengalaman akan sejarah kebangkitan PKI yang pernah berhasil dilakukan, jadi semacam pembenaran bahwa kemungkinan-kemungkinan bangkit itu mungkin masih ada. Hal ini juga yang menjawab bahwa isu kebangkitan tidak semua bersandar pada isu politik saja, bahkan sikap paranoid korban akan masa lalu yang kelam.

Baca juga :  “Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Tentunya dua pandang tentang kebangkitan PKI punya argumentasi yang saling mendekonstruksi satu dengan lainnya.

Yang menjadi perhatian penting saat ini adalah keluarga PKI yang telah menjadi korban. Mungkinkah mereka yang telah melintasi beberapa generasi masih mendapatkan dosa pendahulunya? 

Mungkinkah kebijakan Andika terkait rekrutmen keturunan PKI yang diperbolehkan, merupakan kebijakan yang beranjak dari cara berpikir bahwa tidak manusiawi jika keluarga korban tetap menanggung ‘dosa turunan’ dan diperlakukan tidak setara sebagai warga negara?

Lantas, seperti apa memahami kebijakan kontroversial Jenderal Andika ini?

Andika Ingin Netralisir?

Indra Wibisana dalam tulisannya Benarkah Kekejaman dan Keganasan PKI adalah Mitos?, mengatakan hingga saat ini masih terdapat warga negara Indonesia yang mengalami ketidakadilan karena orang tuanya atau kakek-neneknya adalah anggota PKI, ormas PKI atau simpatisan PKI.

Tindakan seperti pengucilan dan diskriminasi di beberapa tempat terlihat jelas. Mereka masih dilarang untuk menjadi aparatur sipil negara atau meniti karier dalam kemiliteran. Stigma komunis dapat digunakan dalam kampanye hitam terhadap seseorang, bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun pernah dicap sebagai komunis oleh lawan politiknya.

Ketidakadilan akan membuahkan dendam, dan rekonsiliasi nasional terhadap orang-orang yang menderita karena orang tua atau kakek-neneknya terkait PKI perlu dilakukan.

Kalau rekonsiliasi nasional dilakukan, negara dan bangsa bisa mendapatkan aset yang berharga untuk kemajuan bangsa. Sudah saatnya mata rantai stigma dan banalitas diakhiri. Termasuk juga upaya untuk menjadikan peristiwa 1965 sebagai komoditas kelompok tertentu untuk menyudutkan kompetitor politik.

Kemungkinan akar kebijakan Andika berasal dari fenomena di atas, yaitu sebuah  upaya untuk memutus mata rantai stigma dan banalitas orang-orang yang mengucilkan keturunan PKI. Dengan melakukan terobosan yang tentunya akan kontroversial, keputusan Andika perlu diapresiasi.

Di tengah perdebatan usang soal bahaya komunisme, Andika dengan kebijakannya sebenarnya ingin menyentuh korban dari polemik ini. Hingga kini mereka terus memperjuangkan hak-hak politik, sosial, dan ekonomi yang seharusnya diterima sebagai warga negara Indonesia.

Diharapkan kebijakan Andika adalah upaya untuk menetralisir secara konstruktif, luka yang telah lama mereka emban sebagai orang yang termarjinalkan.

Sebagai penutup, apa yang diusahakan Andika, selain sebagai netralisasi, tampaknya juga untuk melawan mitos stigma bahwa keturunan PKI pasti akan membangkitkan PKI. (I76)


Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...