Belakangan kita dikejutkan oleh sosok pawang hujan pada perhelatan MotoGP Mandalika. Hadirnya pawang hujan selama berlangsungnya balapan menimbulkan polemik tersendiri di kalangan masyarakat Indonesia. Lantas, apa yang menjadi persoalan dari fenomena tersebut?
“Modern lives seems to invite us to do the exact opposite; become extremely realistic and intellectual when it comes to such matters as religion and personal behavior, yet as irrational as possible when it comes to markets and matters ruled by randomness”.
::Nassim Nicholas Taleb::
Ajang MotoGP Mandalika beberapa waktu silam seakan menunjukkan perbedaan dibandingkan perhelatan balap motor lainnya. Mengapa tidak? Hadirnya sosok pawang hujan pada perhelatan tersebut menjadi hal baru bagi para pecinta ajang balap motor cepat dunia.
Sosok pawang yang bernama Rara Istiani Wulandari ini telah dipercaya oleh pihak panitia penyelenggara untuk mengatur kondisi cuaca selama berlangsungnya perhelatan akbar tersebut.
Meskipun sempat tertunda, akhirnya perlombaan tersebut dapat dilanjutkan kembali. Banyak yang meyakini bahwa hadirnya Rara sebagai pawang hujan berkaitan langsung terhadap berhentinya hujan tersebut.
Seakan dibuat takjub, ritual “pawang” ala Rara ini mendapatkan pujian langsung dari pihak MotoGP dari unggahan resmi akun Twitter mereka.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno yang juga hadir saat itu pun berkomentar. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Rara tidak lain dan tidak bukan merupakan bagian dari atraksi kearifan lokal-budaya yang dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang melihatnya.
Di lain sisi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) turut memberikan reaksi yang nampak berbeda dari apa yang ditunjukkan oleh pihak MotoGP dan juga Sandiaga Uno. Deputi BMKG Guswanto mengklaim bahwa fenomena berhentinya hujan di Sirkuit Mandalika – bIla dikaitkan dengan ritual pawang hujan – hanyalah merupakan sebuah kebetulan belaka.
Berhentinya hujan dinilai Guswanto bukan karena faktor pawang, melainkan karena durasi waktunya sudah selesai.
Apa yang dilakukan oleh Rara dapat dikatakan sebagai suatu klenik, yang berarti hal-hal yang bersifat mistis atau erat hubungannya dengan praktik perdukunan. Umumnya, hal-hal tersebut tidak mudah dipahami dengan akal pikiran manusia tetapi justru lebih dapat dipercaya oleh orang kebanyakan.
Untuk konteks Indonesia sendiri, ritus-ritus klenik atau mistis ini erat hubungannya dengan kearifan lokal serta tradisi turun-temurun – berbanding terbalik apabila kita sandingkan dengan pola pikir modern yang didukung oleh fakta-fakta ilmiah untuk membuktikan kebenaran di balik sesuatu.
Tentu, menjadi perhatian di sini atas pertentangan antara pandangan mistisisme yang bercorak tradisional disandingkan dengan pola pikir modern yang ilmiah. Berangkat dari hal tersebut, muncul sejumlah pertanyaan mengenai bagaimanakah eksistensi mistisisme di Indonesia kini. Barang kali, hal tersebut berhubungan langsung dengan masuknya pandangan-pandangan ilmiah ke Indonesia diakibatkan oleh perkembangan modernisasi.
Dua Kutub Berlawanan?
Penggunaan pawang hujan tentu membuka wacana baru bagi kita dalam melihat penyandingan antara modernitas dibarengi oleh kearifan lokal. Bagaikan dua kutub magnet yang saling tolak-menolak, tampaknya hal tersebut juga berlaku dalam kasus pertentangan antara sains dengan mistis.
Sebagai permulaan, barang kali kita dapat bandingkan mengapa mistisisme yang berkaitan dengan nilai pengetahuan lokal ini agaknya tidak dapat disatukan dengan pengetahuan rasional-ilmiah. Arun Agrawal pada tulisannya yang berjudul Dismantling the Divide Between Indigenous and Scientific Knowledge dapat dijadikan panduan dalam memahami isu tersebut.
Agrawal menilai bahwa perbedaan substantif antara pengetahuan lokal dan sains terletak pada subyek dan karakteristik mereka. Yang menjadi kontras di antara keduanya yakni bahwa pada masyarakat tradisional – dengan pengetahuan lokalnya – cenderung kurang rentan terhadap penalaran analitis. Mereka dinilai jarang untuk mempertanyakan dasar-dasar pengetahuan mereka. Sistem pemikiran tersebut harus diakui lebih tertutup ketimbang cara berpikir ilmiah.
Sebaliknya, pengetahuan sains menurut tradisi Barat lebih merepresentasikan realitas yang lebih analitis dan abstrak. Sains sendiri bercirikan pada pengetahuan modern yang mendasari klaim superioritas atas dasar validitas yang bersifat universal. Inti dari pengetahuan ilmiah ala Barat adalah pengukuran empiris dan prinsip-prinsip abstrak yang menuntut pengamatan terukur untuk memfasilitasi pengujian terhadap suatu hal yang akan diamati.
Dari sini dapat kita lihat bahwa klaim dasar antara sains dan mistis amatlah berbeda. Lantas, bagaimana bila kedua hal tersebut diketemukan pada waktu dan tempat yang bersamaan?
Indonesia di sini tentunya dapat kita tarik sebagai contoh atas realitas dari yang dimaksudkan tersebut. Kita sama-sama mengetahui bahwa pada dasarnya leluhur masyarakat Indonesia masih menganut kepercayaan-kepercayaan yang bersifat metafisik dan juga supranatural. Hal tersebut dianggap sebagai suatu kearifan lokal yang sampai pada perkembangan zaman tetap berusaha dipertahankan.
Proses kolonialisme bangsa Barat membawa perubahan baru di tengah kehidupan masyarakat tradisional Indonesia. Momentum kolonialisme tersebut membawa pandangan-pandangan baru tentang ide dan gasasan ala Barat, terutama di antaranya yakni perkembangan pendidikan formal dan juga ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut terbukti eksis hingga saat ini terutama didukung oleh pesatnya arus globalisasi.
Namun, hal tersebut tidak serta-merta membuat masyarakat Indonesia menjadi modern dan ilmiah seutuhnya. Masih terdapat pertentangan di masyarakat dikarenakan beberapa dari mereka masih ada yang tetap memilih bertahan dengan ritual dan pandangan mistisismenya.
Dengan demikian, meskipun sains dan mistis memiliki dunianya sendiri yang seakan terpisah, tak dapat dipungkiri bahwa unsur-unsur mistis masih melekat pada masyarakat Indonesia. Tanpa disangka, hal tersebut bahkan acapkali dikaitkan dengan kehidupan politik dan pemerintahan.
Menyadari hal tersebut, muncul pertanyaan lanjutan. Di tengah kehidupan birokrasi pemerintahan yang modern, mengapa masih tersimpan keyakinan terhadap praktik unsur mistisisme?
Di Tengah Mistisisme?
Menyadari kultur masyarakat Indonesia masih ada yang berpegang pada gagasan-gagasan mistisisme dan klenik, nyatanya hal tersebut dapat pula kita jumpai dalam kehidupan politik dan pemerintahan negara kita.
Jika di era Jokowi dengan “Sirkuit Mandalika” telah menimbulkan polemik, apakah hanya pada era beliau saja hal tersebut terjadi? Jawabannya tentu saja tidak.
Kita sadar betul bahwa para presiden terdahulu kita juga tidak terlepas dari hal-hal yang bernuansa mistis dan corak-corak tradisional. Sebut saja Soekarno dan Soeharto – keduanya sama-sama terkenal memiliki kepercayaan akan ritual kejawen yang mengakar kuat serta hal-hal yang bernuansa spiritual.
Kembali pada kasus pawang hujan pada ajang MotoGP Sirkuit Mandalika di era Jokowi, sebenarnya keputusan pihak penyelenggara untuk mengandalkan pendekatan mistis dengan ketimbang melalui teknologi mutakhir serta ilmiah bukan tidak mungkin menunjukkan blunder tajam, yang mana masih banyak kekurangan dari segi persiapan untuk menyelenggarakan pagelaran balap motor akbar tersebut.
Patut ditekankan bahwa untuk mempersiapkan acara besar seperti MotoGP tentunya harus dapat mengandalkan upaya dengan pendekatan ilmiah. Tidak hanya mempersiapkan lahan trek atau sirkuit untuk balapan saja, tetapi juga pengendalian cuaca dengan mengandalkan teknologi modifikasi dapat menjadi prioritas utama.
Tanpa mendiskreditkan praktik mistisisme sebagai salah satu kearifan lokal, untuk event selevel MotoGP tampak tidak relevan apabila masih bergantung pada upaya yang bersifat tidak dapat diukur dan dijawab dengan kepastian ilmiah berbasis teknologi.
Pasalnya, mengacu pada penjelasan Wilma Strydom dan rekan-rekan penulisnya di tulisan Evidence-based Policymaking, peran bukti-bukti ilmiah (scientific evidence) sangatlah penting dalam pengambilan kebijakan – mengingat pemerintah perlu bertanggung jawab kepada para pembayar pajak dan masyarakat pada umumnya. Bukan tidak mungkin, bukti ilmiah membantu para pengambil kebijakan untuk mengukus efektif tidaknya keputusan yang dipilih.
Untuk menyelesaikan persoalan pengaturan kondisi cuaca di Indonesia dapat menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi – seperti salah satunya dengan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) yang dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
TMC sendiri merupakan upaya untuk memodifikasi cuaca menggunakan pengaplikasian teknologi dengan tujuan agar mendapatkan kondisi cuaca sesuai yang diharapkan. Bentuk modifikasi cuaca tersebut dapat berupa peningkatan atau penurunan intensitas curah hujan pada satu titik wilayah tertentu.
Penggunaan TMC juga pernah dipakai oleh BPPT untuk mengatasi banjir di Jabodetabek pada waktu tahun 2020 silam.
Prinsip kerja modifikasi cuaca dengan mengamati keberadaan awan secara berkala ini dapat dikatakan sebagai wujud pengandalan sains dalam menyelesaikan persoalan-persoalan konkret.
Kendati masyarakat kita masih memiliki sisi kepercayaan terhadap hal-hal mistis yang berbasis pada pengetahuan lokal di satu sisi serta masyarakat modern yang mendasari dirinya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, tampaknya alangkah bijaknya bahwa hal tersebut dapat dikonseptualisasikan kembali sesuai dengan konteks dan kebutuhan. (Y79)