Wacana penambahan kursi pimpinan DPR mendatangkan pro dan kontra. Salah satu komentar negatif datang dari Marzuki Alie yang menganggap wacana tersebut memalukan dan dapat memperburuk citra DPR.
PinterPolitik.com
“Power doesn’t corrupt people, people corrupt power” – William Gaddis (1922-1998), novelis
[dropcap size=big]P[/dropcap]olemik penambahan jumlah Pimpinan DPR, MPR dan DPD sepertinya belum akan berakhir. Wacana penambahan jumlah Pimpinan itu berlaku untuk MPR, DPR dan DPD, dengan rincian Pimpinan DPR menjadi 7 kursi, Pimpinan MPR menjadi 11 kursi dan Pimpinan DPD menjadi 5 kursi. Adapun penambahan pimpinan itu untuk mengisi pos Wakil Ketua. DPR beralasan penambahan kursi Pimpinan ini untuk mencipatakan suasana yang kondusif di DPR, menjaga hubungan baik antara partai-partai, dan mengakomodasi partai-partai yang belum punya wakil di Pimpinan lembaga.
Terkait persoalan tersebut, kabar terbaru datang dari mantan Ketua DPR RI periode 2009-2014, Marzuki Alie yang ikut mengomentari masalah ini. Politisi Partai Demokrat ini menyebutkan wacana revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) yang saat ini sedang digodok oleh Badan Legislasi (Baleg) sebagai sesuatu yang harus dikritisi.
“Ini aneh-aneh saja. Sudah ribut melulu, malu kita sebagai rakyat punya wakil seperti itu,” kata Marzuki pada Kamis, 25 Mei 2017, seperti dikutip dari laman Kompas.com. Marzuki juga mempertanyakan alasan di balik usulan tersebut. Menurut dia, jumlah Pimpinan parlemen lebih baik dikurangi daripada ditambah. Menurut Marzuki, Pimpinan DPR dengan tiga orang Pimpinan saja sebetulnya sudah cukup.
“Apa sih fungsi Pimpinan? Pimpinan hanya mengoordinasikan, kok. Enggak perlu banyak-banyak. Kalau bisa disedikitkan. Kalau perlu Pimpinan DPR tiga orang sudah cukup,” ucap politisi Partai Demokrat itu. Ia juga prihatin dengan munculnya wacana tersebut, mengingat penambahan Pimpinan berarti akan ada penambahan jumlah anggaran negara yang dialokasikan untuk perangkat jabatan tersebut.
“Ini menambah beban negara, lho. APBN kita ini diperlukan untuk pembangunan infrastruktur dan sebagainya. Kok ini menambah-nambah jabatan, menambah beban APBN. Mereka ini harus berpikir panjang, lah. Anggaran negara kita semakin dikuras. Ya kalau saya bilang tamak, ambisi jabatan saja,” tutur Marzuki.
TDK ada yg lbh memalukan melebihi usul penambahan kursi PIMPINAN DPR/MPR & DPD. Pameran kedunguan & penghinaan thd NALAR & RAKYAT
— MUHAMMAD AS HIKAM (@mashikam) May 24, 2017
Selain itu, menurut Marzuki, Pimpinan DPR juga hanya bertugas untuk mengkoordinasikan para anggota DPR dan tak melakukan pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan tetap dilakukan melalui forum sidang paripurna. Begitu pula untuk Pimpinan MPR. Marzuki melihat, fungsi MPR saat ini cenderung tak terlihat. Pimpinan MPR lebih banyak hadir pada acara seremonial kenegeraan hingga rapat tahunan saja.
Adapun untuk penambahan Pimpinan DPD menjadi lima orang, menurut dia juga tak memiliki alasan yang mendasar. Jika penambahan tersebut didasari oleh alasan keterwakilan, maka seharusnya Pimpinan DPD berjumlah 34 orang sesuai dengan jumlah provinsi yang ada di Indonesia.
“Kalau bicara soliditas, semua provinsi harus terwakili jadi Pimpinan. Jadi, enggak masuk akal dan enggak logis cara berpikirnya,” ujar Marzuki.
Marzuki juga mengatakan, Pimpinan parlemen tak memiliki banyak fungsi. Koordinasi lebih mengedepankan peran fraksi sedangkan pengambilan keputusan secara spesifik dilakukan oleh komisi-komisi di DPR. Dalam setiap komisi, tidak ada satu pun partai yang tak terwakilkan.
Ketimbang memikirkan soal kursi Pimpinan, Marzuki menyarankan agar parlemen lebih fokus kepada memperjuangkan aspirasi masyarakat hingga betul-betul sampai ke Pemerintah. Di samping itu, DPR juga perlu mengawasi produk-produk legislatifnya apakah sudah diimplementasikan dengan baik atau belum. Menurut Marzuki, ribut-ribut kursi Pimpinan hanya akan membuat citra parlemen semakin merosot dan terus memburuk.
Wacana yang Menuai Kritik
Selain Marzuki, beberapa pihak lain juga mengkritik wacana penambahan Pimpinan tersebut. Salah satunya datang dari peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, yang menilai usulan penambahan jumlah kursi Pimpinan yang muncul dalam proses pembahasan revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD atau UU MD3 adalah sesuatu yang sangat tidak diperlukan.
“Bagaimana bisa DPR membuang-buang waktu begitu lama hanya demi menemukan isu soal penambahan kursi Pimpinan dalam RUU MD3? Padahal begitu banyak beban legislasi yang ditargetkan untuk setahun ini,” kata Lucius, seperti dikutip dari vivanews.co.id.
Hal ini juga diperparah jika menilik kinerja legislasi DPR. Lucius menyebutkan bahwa DPR baru menyelesaikan 2 dari 50 RUU. Ia sulit memahami niat DPR untuk mengusulkan penambahan kursi Pimpinan yang artinya bahwa peraturan itu hanya terkait dengan kepentingan anggota DPR saja. Selain itu, DPR belakangan juga lebih sibuk mengurusi hal-hal yang tidak begitu penting, misalnya terkait Hak Angket KPK.
Kritik juga datang dari Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK) yang menyebut penambahan Pimpinan DPR, MPR dan DPD sebagai pemborosan. Daripada menggemukkan unsur Pimpinan, JK menyarankan agar MPR misalnya, sebaiknya lebih disederhanakan, tetapi dengan sistem kerja yang lebih baik, sehingga mewakili seluruh fraksi yang ada.
“Mungkin harus jangan terlalu besarlah walaupun ini kembali ke DPR karena DPR-lah yang membuat undang-undangnya. Tapi kita harapkan bahwa ini sistem yang sederhana, sistem yang baik,” kata JK. Dalam pertimbangan JK, satu orang ketua dan 10 orang wakil justru akan mengubah MPR menjadi semacam forum dan bukan lagi lembaga tinggi negara.
Ditambah lagi, lanjutnya, dari sisi anggaran penambahan Pimpinan akan membuat pengeluaran pemerintah akan semakin besar karena harus mengeluarkan biaya tambahan untuk pengadaan rumah dan mobil dinas, serta tunjangan dan biaya perjalanan dinas.
Lalu, seberapa besar anggaran yang akan dihabiskan jika kursi Pimpinan lembaga-lembaga tersebut ditambah?
Tambah Kursi, Tambah Anggaran
Penambahan Pimpinan DPR, MPR dan DPD akan mendatangkan beban baru bagi anggaran dan pengeluaran negara. Seperti dikutip dari kontan.co.id, Direktur Eksekutif Indonesia Budgeting Center, Roy Salam, memaparkan data terkait gaji dan fasilitas Pimpinan MPR, DPR dan DPD yang harus ditanggung APBN jika jadi ditambah.
Menurut Roy, gaji seorang wakil ketua Alat Kelengkapan Dewan (AKD), termasuk Pimpinan DPR, mencapai Rp 59,04 juta per bulan. Itu merupakan take home pay Wakil Ketua DPR, MPR, dan DPD – di luar fasilitas-fasilitas dan tunjangan lain yang didapatkan. Jika Pimpinan MPR bertambah enam orang, maka per bulannya negara harus menganggarkan tambahan anggaran Rp 354,26 juta, dan per tahunnya harus menganggarkan Rp 4,25 miliar.
Jika Pimpinan DPR bertambah dua orang, maka per bulannya negara harus menganggarkan tambahan Rp 118,08 juta, dan per tahunnya Rp 1,42 miliar. Angka sama untuk penambahan dua pimpinan DPD. Maka per tahunnya, negara harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp, 7,79 miliar untuk gaji 11 Pimpinan MPR, Rp 4,96 miliar untuk tujuh Pimpinan DPR, dan Rp 3,54 miliar untuk lima Pimpinan DPD. Totalnya, negara harus merogoh kocek Rp 16,29 miliar hanya untuk gaji Pimpinan MPR, DPR, dan DPD per tahun. Padahal, negara juga masih harus membayar gaji 560 anggota DPR dan 132 anggota DPD lain, dan juga masih banyak program MPR, DPR, dan DPD yang harus ditanggung negara.
Gaji tersebut di luar dari fasilitas tambahan yang diterima Pimpinan MPR, DPR, dan DPD berupa mobil dinas dan sopir beserta pengawalannya. Selain itu, rumah dinas, ruang kerja beserta fasilitasnya, staf khusus, serta tenaga ahli yang juga harus digaji oleh negara. Berikut ini rincian anggaran yang harus dikeluarkan negara untuk penambahan Pimpinan DPR, MPR dan DPD.
Selain itu, mobil dinas yang digunakan Pimpinan DPR standarnya sama seperti yang digunakan para menteri, yakni Toyota Crown Royal Saloon. Harga mobil tersebut sekitar Rp 1,3 miliar. Jika ada enam Pimpinan baru MPR, dua Pimpinan baru DPR, dan dua Pimpinan baru DPD, maka negara harus menyediakan anggaran sekitar Rp 13 miliar hanya untuk kendaraan dinas kesepuluh pimpinan baru tersebut.
Demokrasi Boros Duit?
Dengan anggaran yang demikian besar, jelaslah mengapa Marzuki Alie menyebut DPR tamak, mengingat DPR-lah yang menggodok revisi UU tersebut. Selain itu, tidak ada jaminan kerja DPR, MPR dan DPD dapat menjadi lebih baik jika jumlah pimpinannya ditambah. Ada kecenderungan wacana ini digulirkan untuk mengakomodir kepentingan paratai-partai yang saat ini tidak ada di jajaran pimpinan DPR.
Beberapa partai, Fraksi PKS misalnya, menyebut penambahan jumlah Pimpinan akan membuat kondisi politik menjadi lebih tenang. Apakah benar demikian? Agaknya pandangan tersebut masih meragukan, mengingat ribut-ribut akan terus terjadi selama perbenturan kepentingan juga tetap terjadi, tidak peduli partai A atau B ada dalam pimpinan DPR atau tidak.
Wacana revisi UU MD3 dan penambahan jumlah Pimpinan ini lebih terlihat sisi politiknya dari pada esensi kepentingan rakyat yang ingin diperjuangkan. Padahal DPR adalah lembaga yang seharusnya mewakili kepentingan rakyat dan mengerjakan hal-hal untuk kepentingan rakyat tersebut. Ketimbang ribut-ribut membahas revisi UU MD3, adalah lebih berguna jika DPR mempercepat kerja legislasi yang terus-menerus tertunda.
Demokrasi memang menghabiskan banyak uang, tetapi apakah harus benar-benar boros? Jika dengan berhemat pun demokrasi tetap bisa berjalan dengan baik, mengapa harus boros. Di tengah kerja DPR yang makin lama makin tidak menentu, mulai dari Hak Angket untuk KPK, kerja legislasi yang tidak karuan, dan lain sebagainya, usulan penambahan pimpinan ini seolah menampar rakyat.
Dari uang rakyatlah para politisi ini digaji. Jika mereka saja tidak pernah memikirkan kepentingan rakyat, masih bisakah kita berharap akan adanya demokrasi yang sehat dan tidak korupsi? Jangan-jangan, memang seperti kata Marzuki Alie: DPR benar-benar tamak? (S13)