Dalam banyak kesempatan Presiden Jokowi kerap menunjukkan diri mengendarai motor. Ada motor listrik, motor custom, hingga motor gede alias moge. Terbaru, Presiden Jokowi direncanakan melakukan parade bersama 20 pembalap MotoGP untuk menyambut MotoGP Mandalika 2022. Pertanyaannya, mengapa Presiden Jokowi kerap menunjukkan gestur mengendarai motor?
“We don’t really talk politics so much when we’re on the motorcycle,” – Joni Ernst, politisi Amerika Serikat
“Ngeng, ngeng”, suara laju motor Kawasaki W175 custom Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika menjajal Sirkuit Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 12 November 2021. Jika melihat gestur politik Presiden Jokowi sejak awal menjabat, mengendarai motor sekiranya menjadi ciri yang tak terlepaskan.
Tidak hanya menunjukkan berbagai motor custom buatan anak bangsa, dalam berbagai kunjungan kerjanya, seperti di Papua dan Kalimantan, tampak mantan Wali Kota Solo ini menunggangi kuda besi dengan wajah sumringah.
Pada 8 April 2018, sebuah fenomena menarik terjadi saat Presiden Jokowi blusukan dengan sepeda motor di Sukabumi, Jawa Barat. Ini menarik bukan karena tengah mengendarai motor Chopper Royal Enfield 350 cc, melainkan sebuah tangkapan kamera ketika seorang pemuda bertelanjang dada berlari mendekati Presiden Jokowi.
Pemuda itu bernama Ariyanto. “Lagi duduk, lagi nunggu Jokowi. Ketika pas lewat, (saya) kejar, tapi enggak kepegang,” ungkapnya. Pemuda berusia 19 tahun itu ingin bersalaman dan memeluk Presiden Jokowi, sosok yang selama ini hanya dilihatnya di televisi.
Yang terbaru, dalam rangka menyambut MotoGP Mandalika 2022, Presiden Jokowi akan melakukan parade bersama dengan 20 pembalap MotoGP. Ya, mungkin ini kali pertama sebuah event MotoGP dimulai dengan parade motor pucuk tertinggi pemimpin negara.
Atas berbagai gestur mengendarai motor yang diperlihatkan, sekiranya muncul satu pertanyaan menarik. Mengapa Presiden Jokowi kerap menampilkan diri menunggangi kuda besi? Apakah ini sekadar hobi atau memiliki intrik politik tertentu?
Untuk Milenial atau Kegagahan?
Pertama-tama kita perlu memahami gestur menampilkan motor bukan khas dilakukan oleh Presiden Jokowi. Politisi di berbagai penjuru dunia juga kerap melakukan gestur ini dengan pesan yang berbeda.
Di Amerika Serikat (AS), misalnya, berbagai politisi Partai Republik lumrah menampilkan gestur mengendarai motor pada tahun 2010-an. Mengutip Time, gestur tersebut merupakan simbol konservatisme, khususnya metafora untuk menampilkan kebebasan dan individualisme yang didukung Partai Republik.
Seperti kutipan pernyataan Joni Ernst di awal tulisan. Politisi Partai Republik yang sekarang menjadi Senator untuk Iowa ini menyebut, “kita tidak banyak membahas politik ketika sedang mengendarai motor”. Itu adalah ungkapan kebebasan. Melepaskan diri dari kerangkeng politik.
Namun tentunya, beda AS beda lagi Indonesia. Pesan yang ditampilkan Presiden Jokowi dengan mengendarai motor sekiranya bukanlah nilai-nilai kebebasan maupun individualisme. Pada April 2018, pakar komunikasi politik dari Universitas Jayabaya, Lely Arrianie mengatakan gestur ini bisa dibaca untuk menggaet generasi milenial.
Lebih lanjut, menampilkan diri menggunakan motor, dinilai Lely Arrianie sebagai pesan politik kepada pemilih, khususnya generasi milenial bahwa mantan Wali Kota Solo ini tidak berubah.
Pandangan senada juga diungkapkan oleh Direktur Populi Centre, Usep S. Ahyar pada 21 Agustus 2018. Menurutnya, aksi Presiden Jokowi dan sembilan Sekretaris Jenderal partai politik Koalisi Indonesia Kerja (KIK) mengendarai motor gede (moge) ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan bentuk konstruksi simbol politik.
Ini bermakna bahwa terdapat seorang pemimpin yang menunjukkan kedekatan dan keberpihakan kepada anak-anak muda atau kelompok milenial. “Moge ini sebenarnya simbol anak muda, simbol ini dikonstruksi oleh mereka untuk menunjukkan kreativitas, energik, pemimpin kita pro anak muda, dan tak kolot,” ungkap Usep.
Lantas, apakah mengendarai motor semata-mata adalah cara Presiden Jokowi untuk mendekati kelompok milenial? Jika motifnya adalah elektoral atau suara pemilih, bukankah di periode kedua motif itu tidak berlaku?
Jawaban atas pertanyaan tersebut mungkin dapat ditarik dari tulisan Matthew W. Rofe dan Hilary P. M. Winchester yang berjudul Masculine Scripting and the Mythology of Motorcycling. Menurut mereka, secara meyakinkan, motor dan tentunya mengendarai motor telah melahirkan stigma maskulinitas yang telah ternaturalisasi.
Telah tercipta mitos yang kuat, bahwa mengendarai motor, khususnya moge adalah bentuk dari maskulinitas, atau yang akrab kita sebut dengan “kegagahan”. Yang menarik, persepsi kegagahan ini tidak hanya berlaku pada laki-laki, melainkan juga pada perempuan. Mitos ini semakin diperkuat dengan berbagai iklan serta film yang menampilan laki-laki berotot mengendarai motor-motor besar.
Dengan demikian, mungkin dapat dikatakan bahwa Presiden Jokowi tengah menampilkan dirinya sebagai individu yang gagah. Lantas, jika benar demikian, mengapa itu dilakukan?
Tutupi Kekurangan?
Komentar Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute, Hanta Yuda pada Juni 2013 sekiranya dapat menjadi basis argumentasi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ungkapnya, Jokowi merupakan antitesa dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Tentu bukan tanpa alasan kuat, tidak seperti SBY yang merupakan petinggi militer, Presiden Jokowi tidak menampilkan gestur garang, gagah, ataupun mimik muka tegas. Selain itu, gaya komunikasi yang digunakan juga sangat kontras. Dibanding Prabowo Subianto, misalnya, gaya komunikasi Presiden Jokowi sangat lembut, tidak tegas, tidak berapi-api, dan terkesan lemah.
Pada 15 November 2018, pakar komunikasi politik dari UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto pernah menjelaskan perbedaan gaya komunikasi keduanya. Menurutnya, berbeda dengan Prabowo yang menggunakan dynamic style, gaya komunikasi Presiden Jokowi merupakan egalitarian style. Ini terlihat dari pidato-pidatonya yang tidak pernah menggunakan kata-kata yang tinggi dan susah dimengerti oleh publik.
Lanjutnya, Presiden Jokowi bukan seorang orator yang handal, namun merupakan seorang komunikator yang sangat baik. Mantan Wali Kota Solo ini mampu mengelola power di sekitarnya tanpa menggunakan bahasa-bahasa yang terlalu tinggi atau power berlebihan.
Dengan demikian, mungkin dapat dikatakan, gestur mengendarai motor yang kerap ditampilkan Presiden Jokowi memiliki dua motif. Pertama, seperti pernyataan berbagai pihak, itu untuk menggaet pemilih milenial. Kedua, ini mungkin sebagai cara untuk menutupi kekurangan Presiden Jokowi pada aspek kegagahan.
Karena bukan merupakan orator handal seperti Soekarno, ataupun memiliki mimik muka tegas seperti Prabowo, menggunakan simbol mengendarai motor ditujukan untuk menampilkan kesan tegas dan gagah.
Jika analisis ini tepat, maka ini adalah afirmasi atas tulisan Kimly Ngoun yang berjudul What Southeast Asian Leaders Can Learn from Jokowi. Menurutnya, Presiden Jokowi memiliki kemampuan memainkan dan mengonstruksi simbol politik mumpuni, yang membuatnya berbeda dari pemimpin di Asia Tenggara lainnya.
Keberhasilan gestur mengendarai motor ini dapat kita lihat pada tingginya likes dan komentar pada akun Instagram Presiden Jokowi (@jokowi). Per 12 Maret, foto ketika menjajal Sirkuit Mandalika telah mendapatkan 957 ribu likes, dan dikomentari sebanyak 19,6 ribu kali. Membandingkan dengan unggahan lainnya, foto tersebut mendapatkan respons yang jauh lebih tinggi.
Pada unggahan foto ketika Presiden Jokowi bersama Perdana Menteri Malaysia, Dato’ Sri Ismail Sabri bin Yaakob di Istana Bogor pada 10 November 2021, misalnya, hanya mendapatkan 234 ribu likes dan 842 komentar.
Well, sebagai penutup, analisis Kimly Ngoun sekiranya tepat. Presiden Jokowi adalah politisi yang piawai memainkan dan mengonstruksi simbol politik. (R53)