HomeNalar PolitikJangan Takut Lawan Intoleransi

Jangan Takut Lawan Intoleransi

Hari Kebangkitan Nasional tahun ini diperingati dengan kekhawatiran semakin memudarnya nilai-nilai persatuan dan toleransi keberagaman dalam masyarakat. Ada apa dengan masyarakat Indonesia saat ini?


PinterPolitik.com

“Inilah yang harus kita bangkitkan, disiplin nasional, etos kerja nasional kita yang harus kita ubah, mindset kita, pola pikir kita, harus kita ubah semuanya.”

[dropcap size=big]P[/dropcap]ernyataan yang diiringi nada tinggi suara Presiden Joko Widodo ini, mengawali dibukanya Rapat Koordinator Nasional (Rakornas) Pengawasan Intern Pemerintah tahun 2017 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/5) lalu. Ucapan ini seakan ditujukan untuk menampar seluruh rakyat Indonesia yang saat ini mudah sekali ‘panas’.

“Urusan demo, fitnah, hujat menghujat, dan negatif thinking. Suudzon terhadap yang lain. Fitnah, kabar bohong. Apakah ini yang mau diteruskan?” tanyanya, prihatin. Akibat berkutat dengan hal yang tidak produktif, lanjutnya, Indonesia tertinggal dari negara lain. “Yang lain sudah bicara space age, bagaimana mengelola luar angkasa agar berguna bagi manusia. Kita masih berkutat untuk hal yang tidak produktif,” kata Jokowi, kesal.

Pernyataan Jokowi untuk membangkitkan kembali jiwa disiplin dan pola pikir yang lebih produktif, seiring dengan pidato Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno dalam peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 20 Mei 1964 di Senayan, Jakarta. Saat itu, isu perpecahan berbau Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) yang memicu ujaran kebencian di ruang-ruang publik juga tengah marak di Indonesia.

Dalam pidatonya, proklamator yang kerap disebut Bung Karno ini, juga menyinggung soal upaya adu domba dan pemecahbelahan sebagai senjata yang paling ampuh untuk menguasai suatu bangsa. “Imperialisme memecah belah kita, kita diadu domba satu sama lain. Dan ini salah satu senjata yang immateriil,” tuturnya, seperti dikutip dari kumpulan naskah pidato berjudul “Bung Karno: Setialah Kepada Sumbermu”.

Saat itu, Bung Karno menegaskan bahwa persatuan dan kesatuan merupakan satu-satunya cara agar bangsa Indonesia lepas dari penghinaan serta penindasan bangsa lain. Baginya, demokrasi merupakan dasar dan jalan bagi sebuah bangsa untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya. “Jadi saudara-saudara, marilah benar-benar suci bersatu, marilah sama-sama mengutamakan Negara, marilah bekerja konstruktif dalam arti benar-benar melaksanakan pembangunan nasional,” tegasnya.

Menurunnya Toleransi

“Tidak ada orang yang lahir untuk membenci sesama karena perbedaan warna kulit atau agama.” ~ Nelson Mandela

“Stop, sudah hentikan sekarang saling menjelekkan. Kita harus maju ke era yang produktif, ke era yang lebih optimistis,” kembali Jokowi mengingatkan masyarakat ketika berada di Base Ops Pangkalan Udara TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu (20/5), sebelum bertolak ke Riyadh, Arab Saudi.

Baca juga :  Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Seruan yang konteksnya dapat dikaitkan dengan semangat 109 tahun Harkitnas ini, mengajak mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengusung satu semangat, persatuan bangsa. “Setiap tahun kita melakukan selebrasi momentum Hari Kebangkitan Nasional dengan ajakan mari kita bangkit. Seharusnya saat ini bukan bangkit lagi, melainkan ’terbang’,” ujar budayawan Radhar Panca Dahana di Jakarta.

Menurutnya, bangsa Indonesia harus ‘terbang’ karena saat ini berada dalam kondisi kritis, bahkan disorientasi, akibat menguatnya isu SARA. Padahal, persoalan perbedaan di bangsa ini sudah selesai sejak dulu. Ia melihat, perbedaan dijadikan senjata memecah belah persatuan bangsa. “Masyarakat seperti dikendalikan oleh kepentingan tertentu. Mereka mengalami kesadaran palsu. Padahal, ada kepentingan bersama,” jelas Radhar.

Permasalahan Bangsa

Kondisi kritis ini juga terbaca melalui survei yang dilakukan beberapa lembaga, salah satunya Populi Center. Survei ini menunjukkan, sekitar 71 persen warga Jakarta menilai intoleransi sudah dalam taraf mengkhawatirkan. Menurut penelitinya, Usep S. Ahyar, salah satu penyumbang mencuatnya intoleransi ialah masa kampanye Pilgub DKI yang terlalu panjang, namun minim kontribusi pendidikan politik. “Yang ada malah masyarakat makin intoleran dengan isu SARA yang mengkhawatirkan,” katanya, Kamis (23/3).

Jangan Takut Lawan Intoleransi

Sementara itu, peneliti Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan temuan itu menunjukkan adanya pergeseran sosial di Jakarta. Warga DKI khususnya, mulai tidak sadar dengan keberagaman yang ada. Fenomena ini terjadi sejak rezim orde baru runtuh. “Warga mestinya sadar keberagaman adalah keniscayaan. Makanya kenapa ada Bhinneka Tunggal Ika,” ucap Bonar.

Rasa prihatin juga datang dari putri Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid atau Yenny Wahid. Menurutnya, sifat ajaran Gus Dur saat ini banyak disalahpahami, karena dianggap hanya pembela kelompok minoritas. Padahal Gus Dur membela kelompok lemah dan dilemahkan, baik minoritas maupun mayoritas. “Zaman Soeharto yang dilemahkan kaum mayoritas, era reformasi dilemahkan minoritas agama. Kalau minoritas melakukan intimidasi, pasti akan dibela korbannya,” ujarnya.

Menghalau Mental Bigot

“Kepada seluruh rakyat Indonesia, jangan mudah tergoda isu SARA yang memperlemah bangsa dan negara kita. Jangan takut melawan tindakan intoleransi dan kekerasan atas nama apapun.”

Ajakan ini disampaikan Jokowi saat berpidato di peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA), April lalu. “Seperti yang pernah disampaikan Bung Karno, yaitu jadikanlah prinsip live and let live, serta unity and diversity, sebagai kekuatan pemersatu yang akan membawa ke persahabatan dan diskusi yang bebas. Di mana masing-masing dapat hidup dengan kehidupannya sendiri secara harmoni dan perdamaian,” jelasnya.

Baca juga :  Hasan Nasbi-Qodari 24 Jubir Satset

Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, di mata pengamat politik Adi Prayitno dari Universitas Islam Negeri (UIMN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, menjadi sangat menarik. “Hari Kebangkitan Nasional  tahun ini terasa spesial, setidaknya karena ada dua hal penting. Yaitu munculnya populisme kanan yang cukup ekstrim, mencuat pula mental bigot, seperti saling hujat, saling benci, dan saling menegasi,” katanya.

Odi ergo sum, aku membenci maka aku ada.” Moto ini merupakan kutipan satir yang digunakan oleh Umberto Eco dalam novelnya, The Prague Cemetery. Kalimat ini pula yang menurut Stephen Eric Bronner, dalam buku The Bigot: Why Prejudice Persist, menggambarkan bagaimana kebencian memunculkan bentuk bigotry, yaitu rasisme, religisme, ageism, dan lainnya yang memiliki daya rusak tinggi, berdasarkan prasangka.

Lahirnya mental bigot dan intoleransi, menurut Kathlyn Gay dalam makalah Bigotry and Intolerance: The Ultimate Teen Guide, biasanya berawal dari sikap pribadi orang tersebut. Orang dengan harga diri rendah dan merasa terancam oleh perbedaan, atau yang membutuhkan rasa aman dan penerimaan kelompok, kemungkinan akan sulit menghargai perbedaan, baik dari warna kulit, agama, jenis kelamin, dan lainnya.

Gay menegaskan bahwa untuk mengatasi bigotry, tidak dapat dilakukan sendiri. Individu, kelompok masyarakat, atau institusi pemerintahan, harus ikut serta. “Perlu pendidikan tentang keberagaman dan saling menghargai. Selain itu, juga perlu diperbanyak dan diperluas kampanye dan sosialisasi melalui berbagai media untuk membantu menghentikan bigotry, intoleransi, dan rasisme,” tulisnya.

Hal senada juga dikatakan Adi, menurutnya untuk menghalau mental negatif tersebut, harus dilakukan secara menyeluruh, dalam konteks pembangunan nasional. Namun Yenny Wahid yakin, Indonesia memiliki modal besar dalam mengelola kebhinekaan. “Tradisi toleransi yang sudah dipraktekkan berabad lalu di bumi Nusantara adalah pertahanan kita. Saya selamanya percaya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang toleran dan mengasihi sesama. Tradisi itu harus kita kuatkan kembali,” pungkasnya.

(Berbagai sumber/R24)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...