Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua – yakni Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB)-Organisasi Papua Merdeka (OPM) – sebagai kelompok teroris menyusul insiden yang menewaskan pejabat intelijen di Papua. Mengapa siasat penetapan ini menjadi penting?
Bila ditanyai soal kelompok atau organisasi teroris, hampir semua individu sepakat apabila kelompok-kelompok tersebut perlu dibasmi karena dianggap telah menggunakan kekerasan sebagai jawaban untuk mencapai tujuan atau ideologi tertentu. Bisa dibilang, tidak sedikit korban jiwa akhirnya jatuh ke tangan kelompok-kelompok teroris akibat serangan-serangan teror mereka.
Menariknya lagi, kelompok-kelompok teroris seperti Al-Qaeda dan Daesh – atau juga dikenal sebagai Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) – memiliki pengikut dan kekuatan yang tidak kecil. Bahkan, kelompok-kelompok ini memiliki jaringan internasional yang menghubungkan mereka dengan kelompok-kelompok yang bergerak di banyak kawasan, seperti kelompok Abu Sayyaf yang bergerak di kawasan Asia Tenggara.
Mungkin, kelompok-kelompok ini tidak hanya menyebarkan teror, melainkan juga telah meresahkan kekuatan-kekuatan tradisional yang dikenal sebagai negara. Kelompok Abu Sayyaf, misalnya, kerap menculik dan menyandera nelayan-nelayan yang berasal dari Indonesia – khususnya mereka yang melaut di selatan Filipina.
Baca Juga: Perlukah KKB Papua Dicap ‘Teroris’?
Belum lagi, pemerintah Indonesia juga harus menghadapi jaringan-jaringan teroris di lingkup domestik. Beberapa peristiwa bom seperti di Surabaya (2018) dan Makassar (2021), misalnya, disebut disebabkan oleh aktivitas kelompok-kelompok seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Baru-baru ini, pemerintah Indonesia akhirnya menambahkan satu kelompok lagi yang dimasukkan dalam daftar kelompok teroris, yakni Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) atau yang biasa dikenal sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua.
Keputusan yang diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD ini bisa jadi beralasan. Pasalnya, ahli terorisme Sidney Jones sendiri telah lama mempertanyakan sikap pemerintah yang cenderung membedakan antara KKB Papua dengan kelompok-kelompok teroris lain seperti JAD.
Pasalnya, menurut Jones, baik kelompok separatis Papua maupun kelompok jihadis sama-sama melakukan kejahatan yang menebarkan teror pada kelompok masyarakat tertentu atau secara luas. Bahkan, pertanyaan serupa sempat datang dari kelompok-kelompok jihadis.
Namun, kebijakan ini telah berubah di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Apalagi, beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia telah mengirimkan 400 lebih pasukan ke Papua guna menjalankan operasi terhadap KKB Papua.
Meski kebijakan ini mendapatkan sejumlah sambutan positif, tidak sedikit unsur masyarakat yang mengkritik kebijakan ini. Beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di isu hak asasi manusia (HAM) khawatir akan terjadinya pelanggaran HAM yang lebih banyak di pulau paling timur Indonesia ini.
Bila kebijakan ini menuai pro dan kontra, mengapa pemerintahan Jokowi tetap yakin untuk memberlakukannya? Apakah mungkin ada alasan strategis di balik penetapan KKB Papua sebagai teroris ini?
Belajar dari Turki?
Kebijakan untuk menetapkan KKB Papua sebagai kelompok teroris ini bisa jadi memiliki konsekuensi strategis. Di tengah persaingan geopolitik antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, bisa saja pemerintah Indonesia merasa penetapan ini adalah solusi yang tepat.
Mungkin, konsekuensi strategis yang ingin dicapai oleh pemerintahan Jokowi ini sejalan seperti apa yang dilakukan oleh pemerintah Turki. Pasalnya, bila mengacu pada tulisan André Barrinha dalam tulisannya yang berjudul The Political Importance of Labelling, pemerintah Turki ingin mencapai tujuan politik tertentu dalam kebijakannya yang memberikan status teroris pada kelompok separatis yang dikenal sebagai Partai Pekerja Kurdistan (PKK).
Baca Juga: Ilusi Benny Wenda ‘Bius’ Mahfud?https://platform.twitter.com/embed-holdback-prod/Tweet.html?creatorScreenName=pinterpolitik&dnt=false&embedId=twitter-widget-1&features=eyJ0ZndfZXhwZXJpbWVudHNfY29va2llX2V4cGlyYXRpb24iOnsiYnVja2V0IjoxMjA5NjAwLCJ2ZXJzaW9uIjpudWxsfSwidGZ3X2hvcml6b25fdHdlZXRfZW1iZWRfOTU1NSI6eyJidWNrZXQiOiJodGUiLCJ2ZXJzaW9uIjpudWxsfSwidGZ3X3NwYWNlX2NhcmQiOnsiYnVja2V0Ijoib2ZmIiwidmVyc2lvbiI6bnVsbH0sInRmd190ZWFtX2hvbGRiYWNrXzExOTI5Ijp7ImJ1Y2tldCI6ImhvbGRiYWNrX3Byb2QiLCJ2ZXJzaW9uIjo4fX0%3D&frame=false&hideCard=false&hideThread=false&id=1390642261768118272&lang=id&origin=https%3A%2F%2Fwww.pinterpolitik.com%2Fin-depth%2Fsiasat-jokowi-tetapkan-teroris-papua&sessionId=206ff7f66325877da1573c22d2f190453cad02c1&siteScreenName=pinterpolitik&theme=light&widgetsVersion=2582c61%3A1645036219416&width=550px
Barrinha pun menggunakan konsep struktur diskursif (discursive structure) yang diperkenalkan oleh Ole Wæver, seorang profesor Hubungan Internasional yang berasal dari kelompok sekolah pemikiran Kopenhagen. Setidaknya, Barrinha menyebutkan bahwa pelabelan teroris seperi yang dilakukan oleh pemerintah Turki terhadap kelompok PKK memiliki konsekuensi politik tertentu akibat suatu proses yang disebut sebagai sekuritisasi (securitization) – upaya memunculkan ancaman keamanan baru.
Pasalnya, label “teroris” sendiri memiliki konotasi buruk secara diskursif. Label ini setidaknya memberikan makna bahwa kelompok tersebut merupakan kelompok yang melakukan kekerasan tanpa legitimasi yang jelas (illegitimate violence). Label ini juga menggambarkan sebagai bentuk politik radikal yang paling ekstrem.
Penerapan status teroris terhadap PKK oleh pemerintah Turki, misalnya, akhirnya menciptakan struktur politik tertentu – yang mana dapat berujung pada normalisasi atas pelabelan tersebut beserta dengan kebijakan yang dirasa perlu. Seiring berjalannya waktu, pelabelan ini dianggap semakin wajar sehingga kebijakan-kebijakan yang awalnya terasa ‘khusus’ menjadi umum di mata masyarakat.
Tentunya, pelabelan teroris terhadap PKK ini juga memiliki konsekuensi politik internasional. Bukan tidak mungkin, struktur politik yang berubah tidak hanya berlingkup di politik domestik, melainkan politik internasional.
Hal ini terlihat dari bagaimana pemerintah AS – baik pemerintahan Donald Trump maupun penerusnya, Joe Biden – yang mulai mendapatkan tekanan dari pemerintahan Recep Tayyip Erdoğan di Turki terkait sikap negara Paman Sam terhadap PKK yang dianggap sebagai kelompok teror. Setidaknya, Erdoğan kini memiliki legitimasi yang jelas guna menuntut pemerintahan Biden untuk menyatakan sikap keras terhadap kelompok separatis Kurdi tersebut.
Bila Turki akhirnya dapat merubah struktur politik melalui diskursus dan pelabelan teroris terhadap PKK, lantas, bagaimana dengan pemerintahan Jokowi terhadap KKB Papua? Mungkinkah pemerintah Indonesia melakukan langkah sekuritisasi serupa? Kemudian, mengapa langkah ini bisa menjadi penting?
Dalih Hindari Biden?
Bukan tidak mungkin, Jokowi memiliki alasan strategis yang penting dengan menetapkan status teroris pada KKB Papua. Apalagi, dengan kembalinya dominasi AS di panggung politik internasional di bawah pemerintahan Biden, isu-isu Papua dapat menjadi penghambat bagi kepentingan Jokowi untuk mengimbangkan kekuatan AS dan Tiongkok.
Asumsi ini sejalan dengan apa yang pernah dijelaskan oleh John J. Mearsheimer dari University of Chicago, AS, dalam tulisannya yang berjudul Bound to Fail. Dalam tulisan tersebut, profesor politik tersebut menyebutkan bahwa AS telah lama membangun tatanan dunia liberal (liberal international order) yang berusaha menyosialisasikan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM kepada negara-negara lain.
Bukan tidak mungkin, Indonesia menjadi negara yang tidak luput dari perhatian Biden yang ingin mengembalikan prinsip-prinsip HAM dan demokrasi setelah sebelumnya dinilai absen di bawah pemerintahan Trump. Apalagi, bila mengacu pada laporan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) AS, isu-isu pelanggaran HAM di Indonesia – termasuk Papua dan Papua Barat – menjadi perhatian yang perlu disorot.
Baca Juga: Tiongkok vs Australia di Papua?
Maka dari itu, menjadi langkah yang taktis apabila pemerintahan Jokowi merubah struktur diskursif soal isu HAM yang membayangi persoalan Papua. Dengan begitu, pemerintah Indonesia bisa merasa memiliki legitimasi atas tindakan yang kerap menjadi persoalan HAM bagi AS.
Konsekuensi politik internasional ini juga bisa sejalan dengan strategi ala Turki terhadap PKK. Jika melihat kembali dari peran PKK dalam hubungannya dengan AS, negara Paman Sam justru menjadi salah satu negara yang berkontribusi pada kehadiran PKK di Irak dan Turki – mengingat organisasi itu menjadi pion penting dalam mengalahkan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Daesh, khususnya pada era pemerintahan Barack Obama.
Namun, dengan runtuhnya Daesh di Irak dan Suriah, PKK mulai kehilangan posisi strategis sehingga pemerintahan Erdoğan bisa kembali mendorong AS agar menindaklanjuti “ancaman” PKK ini. Uniknya, Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Anthony Blinken sepakat untuk menyatakan PKK sebagai ancaman.
Hal ini juga bisa jadi berlaku bagi gerakan kemerdekaan Papua. Pasalnya, gerakan ini mulai mendapatkan momentum politik dengan internasionalisasi isu Papua di lingkup politik internasional.
Internasionalisasi isu ini dikatakan semakin bergejolak di tengah bangkitnya kekuatan Republik Rakyat Tiongkok – khususnya pengaruhnya di kawasan Pasifik Selatan. Bukan jadi rahasia umum lagi bahwa negara-negara kawasan tersebut – seperti Vanuatu – menjadi sangat aktif dalam menyuarakan gerakan kemerdekaan Papua di panggung dan forum internasional.
Keberanian negara-negara kepulauan di Pasifik Selatan ini ditengarai terjadi akibat semakin lepasnya pengaruh Australia dan Selandia Baru dengan kehadiran Tiongkok. Apalagi, bila mengacu pada tulisan Marinus Mesak A. Yaung, Yanyan M. Yani, dan Windy Dermawan yang berjudul Chinese Involvement in Vanuatu and Solomon Island Foreign Policy Against the Papua Issue, isu Papua ini bisa menjadi pion penting dalam kebijakan luar negeri Tiongkok terhadap Indonesia.
Pion ini pun dinilai bisa berguna bagi Tiongkok apabila negara yang dipimpin oleh Xi Jinping itu merasa perlu untuk meminta akses lebih terhadap sumber daya alam Papua kepada Indonesia. Pasalnya, hingga kini, negara-negara Barat seperti AS dan Australia masih menjadi kekuatan asing yang dominan dalam menguasai sumber daya Papua.
Internasionalisasi isu Papua ini pun juga mulai mengarah ke Tiongkok. Upaya bandwagoning (mencari dukungan) dari sejumlah aktor gerakan Papua – seperti Benny Wenda yang mulai berusaha menarik perhatian dan mencari bantuan dari Partai Komunis Tiongkok.
Terlepas dari dinamika politik luar negeri yang memengaruhi isu Papua, kebijakan penetapan KKB Papua sebagai teroris tetaplah menjadi sebuah gambit bagi pemerintahan Jokowi. Pasalnya, semua ini kembali lagi pada respons apa yang akan dimunculkan oleh pemerintahan Biden di AS – menyusul banyaknya lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) HAM yang akhirnya berkoar menolak kebijakan Jokowi. Mari kita amati saja bagaimana kelanjutannya. (A43)
Baca Juga: Manuver Tiongkok di Balik Vanuatu?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.