HomeCelotehSBY Tetap Ungguli Jokowi?

SBY Tetap Ungguli Jokowi?

Banyak pihak akhir-akhir ini membandingkan kondisi demokrasi Indonesia di bawah pemerintahan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Apakah demokrasi era SBY lebih baik?


PinterPolitik.com

Akhir-akhir ini, tengah ramai dibahas oleh sebagian masyarakat soal pernyataan-pernyataan yang beberapa waktu lalu dikeluarkan oleh pejabat-pejabat pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung, misalnya, menyebutkan bahwa pemerintah membutuhkan kritik bak jamu yang sehat meskipun rasanya tidak nyaman.

Selain Pak Pramono, Presiden Jokowi sendiri juga sempat menyebutkan bahwa kritik dan masukan juga punya peran krusial untuk peningkatan pelayanan publik. Bukan nggak mungkin, pernyataan-pernyataan ini memang penting agar masyarakat tetap memberikan kritik kepada pemerintah.

Meski begitu, pernyataan-pernyataan dari Pak Pramono dan Pak Jokowi ini malah menimbulkan polemik dan perdebatan lho di masyarakat. Di media sosial (medsos), misalnya, malah muncul tuh meme-meme yang mengatakan bahwa para pengkritik malah dilaporkan atau diserang buzzer (baca: pegiat medsos) bila mengutarakan pendapat.

Di sisi lain, sejumlah tokoh besar pun ikut berkomentar lho. Mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK), misalnya, malah bertanya balik dan mempertanyakan bagaimana caranya mengkritik bila ujung-ujungnya dilaporkan ke pihak berwajib.

Tidak hanya Pak JK, pakar hukum tata negara Refly Harun juga bilang kalau situasi politik di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)dinilai jauh lebih stabil dan tenang dibandingkan di bawah pemerintahan Jokowi. Bahkan, Pak Refly menilai akan adanya kecenderungan otoritarian.

Hmm, sedih juga ya Pak Jokowi pasti. Soalnya nih, kita sendiri pasti nggak suka lah ya kalau dibanding-bandingkan – apalagi kalau dibandingkan dengan mantan… presiden lainnya. Hehe.

Baca Juga: Demokrasi Indonesia Pasca-SBY (Bagian I)

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?
Jokowi Mahfud MD UU ITE

Ya, terlepas dari itu, mungkin data memang menunjukkan bahwa situasi demokrasi bisa jadi lebih baik di era pemerintahan SBY dibandingkan era Jokowi. Kalau kata Pak SBY sih, kritik itu bagaikan pengawal bagi beliau ketika dulu menjabat.

Selain itu, bila diperhatikan pada data Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia pun menurun secara kontinu lho di era pemerintahan Jokowi. Padahal nih, di pemerintahan SBY, skor indeks tersebut terus meningkat.

Dari tahun 2006 ke tahun 2015, misalnya, skor indeks demokrasi Indonesia naik dari 6,41 menjadi 7,03. Sementara, dari tahun 2015 ke tahun 2020, skor ini terus menurun hingga menyentuh angka 6,30. Skor ini bahkan paling rendah dalam 14 tahun terakhir lho.

Waduh, kalau dilihat dari skor indeks itu, apa berarti pemerintahan SBY ungguli pemerintahan Jokowi soal demokrasi? Bisa iya bisa nggak dong. Kan, ada faktor medsos yang kini impact-nya sangat luas.

Mungkin, ini nih saatnya Pak Jokowi meninggalkan legacy demokratis yang baik bagi masyarakat Indonesia di masa mendatang. Semoga aja wacana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kemarin disebut oleh Pak Presiden bisa menghilangkan pasal-pasal yang disebut karet ya, gengs. (A43)

Baca Juga: Saatnya Jokowi Tiru SBY?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?