HomeNalar PolitikJakarta Tidak Didesain Jadi Ibu Kota?

Jakarta Tidak Didesain Jadi Ibu Kota?

Pemindahan ibu kota sampai saat ini masih menjadi polemik yang berkelanjutan. Fokus perdebatan kebanyakan bertumpu pada Kalimantan, terkait kelayakan dan sebagainya. Tapi, narasi baru perdebatan terlihat digeser oleh Ridwan Kamil, setelah berkomentar tentang Jakarta sebenarnya belum pernah didesain untuk menjadi ibu kota. Lantas, benarkah komentar Ridwan Kamil tersebut?


PinterPolitik.com

Pada tanggal 18 Januari 2022 disahkan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (UU IKN). Peristiwa ini resmi menandai bahwa Indonesia mempunyai Ibu kota baru. Seperti yang telah diketahui, penyebutan yang dipakai adalah IKN Nusantara, yang jika disingkat Ibu Kota Nusantara dapat pula disebut IKN.

Sejauh ini banyak kritik yang bermunculan terkait IKN. Mulai dari kritik yang pada akhirnya bersinggungan dengan sentimen kesukuan yang dialami oleh Edy Mulyadi, hingga kritik para tokoh-tokoh nasional yang juga jadi sorotan banyak media.

Sebut saja tokoh yang lantang mengkritik proyek IKN adalah ekonom Faisal Basri. Ia mengatakan  proyek IKN yang digagas oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dipertanyakan komitmennya terhadap konsep pembangunan ibu kota hijau. Faisal melihat, pada kenyataannya IKN di Kalimantan dikelilingi oleh tambang, kilang minyak, dan kebun sawit.

Faisal sebenarnya bukannya tidak setuju dengan pemindahan ibu kota negara, melainkan hanya  mengingatkan kondisi perekonomian sedang tidak mendukung untuk melakukan mega proyek tersebut.

Sebenarnya proses pemindahan IKN tidak langsung dilakukan setelah pengesahan UU IKN. DKI Jakarta akan tetap menyandang status ibu kota negara hingga presiden menerbitkan keputusan presiden tentang perpindahan ibu kota negara.

Nah, bicara soal Jakarta, muncul narasi menarik yang keluar dari Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK). Ketika melakukan media visit ke PinterPolitik pada 26 Januari, RK mengatakan bahwa Jakarta tak dipersiapkan atau tak didesain menjadi ibu kota negara. Komentar ini didasarkan pada kajian sejarah yang menyebutkan bahwa pada zaman pemerintah kolonial, terdapat tiga lokasi yang sempat disurvei untuk dijadikan ibu kota negara, yaitu Bandung, Malang, dan Surabaya.

Lantas, seperti apa cerita sejarah, di mana Jakarta dikatakan  tidak didesain menjadi ibu kota negara?

Baca juga: Mungkinkah Ridwan Kamil Pimpin IKN?

Sejarah Upaya Pemindahan Ibu Kota

Argumentasi Ridwan Kamil dapat ditafsirkan sebagai bentuk positioning dirinya dalam perdebatan IKN yang muncul di masyarakat. Selain itu, bisa dilihat adanya pergeseran objek perdebatan, di mana RK tidak membahas Kalimantan melainkan Jakarta.

Jika merunut dari sejarah awal Jakarta, kota ini mulanya bernama Batavia yang di era kolonial Belanda dibangun oleh Gubernur Hindia Belanda saat itu Jan Pieterszoon Coen, masa jabatan 1619-1623. Coen menjadikan Batavia sebagai pusat administrasi dan perdagangan.

Anatomi kota Batavia didesain menurut pola kota Belanda, yaitu adanya sejumlah kanal, jalan raya, dan berbagai gedung megah. Hal ini yang kemudian menjadikan Batavia kota yang eksotis, di mana kota ini punya daya tarik sebagai kota modern di zamannya, sehingga dikenal juga dengan julukan Koningin van den Oost atau Ratu dari Timur.

Baca juga :  Anies Di-summon PKS!

Nur Janti dalam tulisannya Rencana Ibu kota Pindah Ke Surabaya, mengatakan bahwa terkait pemindahan ibu kota dari Batavia ke daerah lain, muncul pada era Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels masa jabatan 1762-1818. Pada masanya Daendels ingin memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia ke Surabaya.

Kemudian, Janti mengutip sejarawan Achmad Sunjayadi, mengatakan dua faktor yang membuat Daendels ingin memindahkan pusat pemerintahan ke Surabaya. Pertama, alasan kesehatan karena di Batavia banyak sumber penyakit. Kedua, alasan pertahanan karena di Surabaya terdapat benteng dan pelabuhan. Namun rencana itu gagal di tengah jalan.

Selain ke Surabaya, Belanda juga pernah punya rencana untuk memindahkan ibu kota ke Bandung. Hal ini dikarenakan penelitian tentang Batavia yang lagi-lagi dianggap tidak layak menjadi pusat pemerintahan Belanda kala itu.

Budi Setiyono dalam tulisannya Kembali ke Jakarta, mengatakan ide pemindahan ibu kota dari Batavia berawal dari penelitian Hendrik Freek Tillema, seorang ahli kesehatan dari Belanda. Hendrik saat itu menyatakan Batavia sebagai wilayah yang tak layak sebagai pusat pemerintahan.

Argumentasi Hendrik berdasarkan sebuah fakta bahwa Jakarta sebagai salah satu kota pelabuhan. Bagi Hendrik, kota pelabuhan pada umumnya berhawa panas, tidak sehat, serta mudah terjangkit wabah.

Lantas Hendrik mengusulkan Bandung sebagai ibu kota Hindia Belanda, yang kemudian mulai dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum yang menjabat pada 1916-1921. Proyek pemindahan ibu kota ini dikerjakan pada tahun 1920.

Senada dengan hal ini, Ridwan Kamil, mengatakan pemindahan ibu kota ke Bandung terbukti ditandai dengan mulai berpindahnya kantor pemerintahan hingga markas militer. Salah satu contohnya adalah banyaknya  pelatihan militer di wilayah Bandung dan Cimahi. Kemudian PT KAI sampai sekarang kantor pusatnya di Bandung, dan yang terakhir adanya museum geologi sebagai tanda bahwa Kementerian ESDM berpusat di sana. 

Namun keinginan pindah ke Bandung pun akhirnya pupus setelah kedatangan bala tentara Jepang di Indonesia. Pada awal kemunculannya, Jepang mengganti nama Batavia menjadi jakarta, hal ini sesuai dengan keinginan para kaum nasionalis pada saat itu.

Jakarta saat pendudukan Jepang dibentuk dengan istilah daerah khusus kota besar atau Tokobetsu Shi. Di era inilah Jakarta mulai sirna keanggunan, kebersihan,  dan keteraturannya.

Sekelumit kisah singkat Jakarta menggambarkan bahwa argumen yang dikatakan oleh Ridwan Kamil bahwa secara historis Jakarta tidak pernah didesain menjadi ibu kota rupanya linear dengan fakta sejarah. Jakarta lahir sebagai kota yang dominan, sehingga pusat kepentingan manusia, seperti ekonomi dan politik berada padanya.

Baca juga :  Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Lantas, apakah dominasi yang akhirnya dimiliki oleh Jakarta ini punya dampak sebagai ibu kota negara?

Baca juga: Perlukah Khawatir Tentang Keamanan IKN?

Meraba Dominasi Jakarta

Narasi bahwa Jakarta dalam sejarahnya belum pernah didesain sebagai ibu kota negara pada akhirnya memunculkan Jakarta sebagai kota yang belum mapan secara mendasar untuk mewakili distribusi berbagai aspek kehidupan masyarakat yang diperolehnya.

Dampaknya, Jakarta mengambil semua peran dari berbagai aspek, diantaranya sebagai kota bisnis, kota pemerintahan, hingga kota pendidikan. Dampak dari roda pemerintahan dan ekonomi yang terlalu bertumpu di Jakarta, menjadikan segala bentuk gejolak di Jakarta bisa berisiko melumpuhkan aktivitas keduanya dengan mudah.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Jakarta telah menyedot jutaan orang dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal. Hasilnya, Jakarta yang pada era kolonial dirancang hanya untuk 600 ribu jiwa, hari ini dipadati sebanyak 10 juta penduduk.

Kepadatan penduduk membuat Jakarta tak lagi ramah. Polusi, kemacetan, banjir, hingga kemiskinan jadi persoalan yang tak hanya mengancam warganya, namun juga menguras keuangan pemerintah provinsi dan pusat.

Pada tahun 2017, misalnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas saat itu, Bambang Brodjonegoro bahkan menyebut kemacetan di Jakarta mengakibatkan kerugian Rp67,5 triliun.

Baca juga: Menyoal Pesawat Elon Musk di IKN

Hal ini sejalan dengan gagasan filsuf Henri Lefebvre, yang mengatakan bahwa ruang adalah produk politik dan instrumen bagi perubahan sosial ekonomi, sehingga ruang itu tidak netral dan pasif. Ruang sebagai produk politik mengakibatkan praktik tata ruang tidak pernah bebas dari keberpihakan aktor yang membuat regulasi tata ruang.

Keberpihakan atau ketidaknetralan aktor-aktor dalam menjalankan kuasanya tercermin dari kebijakan yang dibuat oleh regulator (pemerintah). Praktik penataan ruang meliputi kegiatan produksi dan reproduksi ruang yang ke semuanya haruslah direncanakan atau didesain sedemikian rupa.

Pada intinya, “proses spasialisasi” dalam istilah Lefebvre itu merupakan paduan dari praktik pembangunan tata kota yang terkait dengan rutinitas individu untuk penciptaan sistematis zona dan wilayah. Praktik tata ruang tersebut dari waktu ke waktu diwujudkan dalam lingkungan dan lanskap yang tertata atau direncanakan.

Pada akhirnya, narasi bahwa Jakarta belum pernah didesain menjadi ibu kota harus menjadi bagian dari kekayaan perdebatan tentang IKN yang saat ini sedang ramai dibicarakan. Tidak hanya bertumpu pada Kalimantan sebagai calon ibu kota baru, melainkan juga perdebatan fenomena yang melingkupi Jakarta, haruslah hadir dalam dialektika perpindahan ibu kota negara baru. (I76)

Baca juga: IKN Nusantara, Simbol Romantisisme Sejarah?


spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...