Seorang dokter asal Amerika Serikat (AS), Faheem Younus, disebut menjadi selebriti Twitter (selebtwit) di Indonesia. Selain membagikan tips-tips kesehatan melalui kicauannya, Faheem juga menyebutkan bahwa Indonesia tengah berada dalam situasi krisis Covid-19. Mungkinkah kepakaran Faheem ini bayangi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)?
“I’m about to lose my mind. You’ve been gone for so long. I’m runnin’ out of time. I need a doctor. Call me a doctor” – Skylar Grey, “I Need a Doctor” (2011)
Kutipan di awal tulisan ini merupakan potongan lirik dari sebuah lagu yang populer pada awal dekade 2010-an. Lagu dari produser sekaligus penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS), Dr. Dre, tersebut setidaknya menggambarkan situasi di mana penyanyi rap lainnya, Eminem, membutuhkan bantuan dari Dr. Dre.
Saking putus asanya, Eminem pun meminta agar Dre memperbaiki industri musik hip-hop yang menurutnya telah semakin ke sini terus berubah seiring perkembangan zaman. Bagaimana tidak? Skema hip-hop bisa dibilang mulai berubah di tahun 2000-an hingga 2010-an.
Meski Dr. Dre di dunia nyata bukan dokter sesungguhnya, situasi putus asa yang dirasakan oleh Eminem ini mungkin juga bisa digunakan untuk menggambarkan keputusasaan yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Pasalnya, pandemi Covid-19 di Indonesia dikabarkan semakin parah dengan lonjakan jumlah kasus positif yang signifikan setiap harinya.
Bahkan, per 7 Juli 2021, penambahan kasus harian di Indonesia menjadi yang tertinggi ketiga di dunia – setelah Brasil dan India. Berita kematian dan panic buying atas sejumlah kebutuhan seperti tabung oksigen dan obat-obatan banyak mengisi lini berita dari hari ke hari.
Bukan tidak mungkin, sosok yang dibutuhkan oleh Indonesia di saat-saat genting seperti ini adalah sosok tenaga kesehatan (nakes) seperti dokter yang kuat dan berani untuk berada di garda terdepan dalam melawan Covid-19. Seperti kutipan lirik di atas, Indonesia kini bisa saja sedang sangat membutuhkan dokter.
Baca Juga: Jokowi Lockdown, Saran yang Sia-sia?
Menariknya, akhir-akhir ini, dunia maya Indonesia kedatangan sosok dokter yang berasal dari Amerika Serikat (AS). Dokter tersebut bernama Faheem Younus. Beliau adalah dokter yang secara aktif memimpin program-program di University of Maryland Upper Chesapeake Health (UM UCH).
Apa yang membuat dr Younus ini unik adalah cuitan-cuitannya yang diberikan dalam Bahasa Indonesia di Twitter. Cuitan itu banyak berisikan tips-tips kesehatan dalam menghalau Covid-19.
Uniknya lagi, dr Younus ini juga beberapa kali melontarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah Indonesia, seperti soal desinfeksi jalanan dan ruang terbuka. Sontak, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) malah kembali mempertanyakan dasar akademis dari opini dr Faheem Younus.
Terlepas dari benar atau tidaknya opini dr Younus, bukan tidak mungkin cuitan-cuitan dokter asal AS ini tetap mendapatkan perhatian besar dari sebagian besar warganet Indonesia. Sejumlah pertanyaan pun kemudian muncul.
Mengapa sosok dokter asal University of Maryland, AS, ini dapat menarik perhatian banyak masyarakat – bahkan sampai menjadi semacam selebtwit – di Indonesia? Lantas, apa dampak yang timbul bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia?
Karena Dokter Bule?
Kemunculan dr. Younus di jejaring maya Indonesia ini bukan tidak mungkin berkaitan dengan unsur kebudayaan yang ada di masyarakat. Pasalnya, tips-tips kesehatan yang biasa dibagikan oleh dr. Younus ini juga beberapa kali diungkapkan oleh ahli-ahli di Indonesia.
Sejumlah ahli sebenarnya mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia kerap terperangkap dalam suatu rasa rendah diri (inferiority complex) terhadap hal dan sosok yang berbau asing. Sebuah tulisan di Berkeley Center turut menggambarkan inferiority complex tersebut.
Dalam tulisan tersebut, disebutkan bahwa banyak warga kulit putih (bule) yang tinggal di Indonesia dianggap memiliki status sosial lebih tinggi. Bahkan, bule kerap dianggap bak selebriti.
Inferiority complex seperti ini sebenarnya juga terjadi di banyak negara. Fenomena seperti ini – bila mengacu pada studi kolonialisme – banyak terjadi di negara-negara bekas jajahan akibat warisan kolonialisme yang membekas di masyarakat dunia ketiga.
Baca Juga: Titah dr. Tirta Soal Covid-19
Di Australia, fenomena seperti ini biasa disebut sebagai cultural cringe. Istilah ini pertama kali dimunculkan oleh A.A. Phillips dalam tulisannya yang berjudul The Cultural Cringe pada tahun 1950. Phillips menyebutkan bahwa cringe ini terjadi karena banyak benda atau hal lain yang berlabel “Australia” dianggap lebih buruk dibandingkan produk-produk asing yang diimpor.
Bukan tidak mungkin, fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia. Pasalnya, tidak sedikit masyarakat Indonesia selalu menganggap produk dan hal-hal lainnya yang berasal dari luar negeri sepenuhnya lebih unggul dari mereka yang berasal dari dalam negeri.
Mungkin, fenomena cringe ini bisa dilihat dari bagaimana banyaknya pesan berantai di aplikasi-aplikasi percakapan yang justru lebih menggunakan nama-nama ahli dari luar negeri. Bahkan, sejumlah warga bisa saja percaya pada sosok dokter yang ternyata hanya diperankan oleh aktor video syur.
Selain disebut cultural cringe, fenomena ini juga bisa disebut sebagai cultural imperialism – di mana satu budaya luar dianggap lebih superior dibandingkan budaya sendiri secara sukarela. Bahkan, anggapan seperti ini bisa saja muncul dan terinternalisasi di alam bawah sadar (subconsciously).
Terlepas dari ada atau tidaknya pengaruh inferiority complex pada fenomena dr. Younus, kehadiran dokter asal AS di jejaring maya Indonesia ini bisa saja membawa dampak pada masyarakat. Apalagi, dokter dari UM UCH itu juga beberapa kali menyebutkan situasi krisis di Indonesia serta mengkritik sejumlah langkah pemerintah.
Mungkinkah dr. Younus ini menjadi suara baru yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia? Lantas, apakah suara baru ini bisa berdampak pada pemerintahan Jokowi?
“Bayangi” Pemerintahan Jokowi?
Kemunculan dr. Younus ini bukan tidak mungkin bisa memengaruhi sikap masyarakat Indonesia. Pasalnya, pengetahuan (knowledge) yang dimilikinya bisa membuatnya memiliki kekuatan (power) pada tingkat tertentu.
Bila meminjam pemikiran Michel Foucault mengenai power dan knowledge, apa yang dilakukan oleh dr. Younus ini menjadi masuk akal. Dokter asal AS tersebut merupakan ahli di bidang penyakit menular dan penyakit dalam. Menurut Foucault, dinamika knowledge dan power ini dapat membangun sebuah kebenaran (truth) yang diyakini secara luas.
Secara pengalaman, dr. Younus merupakan lulusan sejumlah universitas ternama, seperti King Edward Medical University (1995), Monmouth Medical Center (1999), dan fellowship di Stony Brook University Medical Center. Selain itu, Wakil Presiden (VP) UM UCH itu juga disertifikasi sebagai ahli penyakit menular oleh American Board of Internal Medicine.
Baca Juga: Di Balik dr Tirta Kritik Keras Pemerintah
Foucault sendiri juga mencontohkan ahli kesehatan dan dokter yang memiliki knowledge dan power. Tidak mengherankan apabila terdapat sejumlah dokter yang akhirnya menjadi sumber informasi bagi masyarakat di tengah pandemi Covid-19, seperti dr. Anthony Fauci di AS dan dr. Zhang Wenhong alias Papa Zhang di Tiongkok.
Menariknya, bukan tidak mungkin dengan knowledge dan power ini memberikan kapabilitas bagi dr. Younus untuk melakukan apa yang disebut sebagai social engineering (rekayasa social). Mengacu pada tulisan John J. Mearsheimer yang berjudul Bound to Fail, sejumlah negara besar memiliki kemampuan untuk melancarkan social engineering.
Di luar negara, social engineering juga bisa dilakukan oleh sejumlah aktor lain, seperti media dan akademisi. Upaya seperti ini biasa dilakukan untuk membentuk perilaku dan sikap yang diinginkan dari suatu populasi.
Cuitan dr. Younus soal krisis Covid-19 yang terjadi di Indonesia, misalnya, bisa saja secara tidak langsung mempengaruhi sikap masyarakat Indonesia. Bukan tidak mungkin, perasaan akan adanya krisis semakin tumbuh di masyarakat.
Padahal, selama ini, pemerintahan Jokowi berusaha agar rasa panik tidak tumbuh di masyarakat. Sejak awal pandemi, beberapa pihak menilai pemerintah seperti berupaya meminggirkan para ahli dan mengabaikan pendapat para pakar – seperti soal desakan kebijakan karantina wilayah (lockdown).
Upaya meminggirkan para ahli ini juga bisa jadi mempengaruhi suatu fenomena yang disebut oleh Tom Nichols sebagai kematian kepakaran (death of expertise) dalam bukunya yang dengan judul yang sama, The Death of Expertise. Pada intinya, kematian kepakaran ini terjadi ketika masyarakat semakin tidak mengindahkan pendapat para ahli yang biasanya dinilai memiliki otoritas di bidangnya masing-masing.
Bukan tidak mungkin, dengan didukung oleh elemen cultural cringe, dr. Younus mengisi kekosongan yang diakibatkan oleh kematian kepakaran di masyarakat Indonesia. Bukan tidak mungkin, dokter asal AS tersebut muncul sebagai sosok yang didengarkan oleh publik – di tengah sejumlah upaya pemerintah yang dinilai meminggirkan para ahli kesehatan.
Tentu, tidak ada yang tahu persis bagaimana dampak kemunculan dr. Younus di ruang dunia maya Indonesia ke depannya. Hal yang mungkin perlu dipahami saat ini adalah dr. Younus kini bisa saja mengisi peran pemberi petunjuk kesehatan di Indonesia seperti yang dilakukan oleh dr. Fauci di AS dan Papa Zhang di Tiongkok. (A43)
Baca Juga: Mencari Zhang Indonesia Hadapi Corona
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.