Meski PDIP telah memiliki golden ticket tanpa harus berkoalisi dengan partai lain untuk mengusung calon pada Pilpres 2024, keuntungan itu tidak sejalan dengan tindakan PDIP yang saat ini masih urung memperkenalkan capres mereka. Mungkinkah ini strategi laten PDIP pada tiap pilpres?
Gelanggang perpolitikan nasional mulai bergemuruh, partai politik seketika ramai untuk saling lempar wacana koalisi jelang Pilpres 2024. Seakan ingin hadir lebih dulu di medan perang, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), melalui kader internalnya, mengusulkan agar partai segera mengumumkan poros koalisi calon presiden.
Mardani Ali Sera, Ketua DPP PKS, menyarankan agar partainya segera mengumumkan koalisi dan sosok calon presiden yang diusung pada Pilpres 2024. Dia menilai pengumuman koalisi dan capres akan menciptakan kepastian dinamika politik di tengah situasi pandemi COVID-19.
Perhitungan Mardani tentunya dapat kita baca sebagai hitungan taktis, yaitu tentang mekanisme pencalonan yang harus dipenuhi oleh partai-partai politik. Seperti yang kita ketahui, saat ini mayoritas partai politik harus membentuk koalisi untuk memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen.
Merujuk pada ambang batas pencalonan presiden, PKS harus berkoalisi dengan lebih dari dua partai agar bisa mencalonkan presiden. Karena hal itu, Mardani meyakini bahwa dinamika politik akan berubah jika poros koalisi dan calon presiden segera diumumkan.
Di sudut lain, Partai Golkar menyambut hangat usulan PKS untuk membentuk koalisi sejak dini. Melalui Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Wakil Ketua Umum Partai Golkar, dikatakan bahwa usul koalisi Pilpres 2024 dibentuk sejak dini sangat baik dilakukan dalam rangka merancang pembangunan pemerintahan lima tahun ke depan, agar utuh dan mendalam.
Berbeda dengan PKS dan Golkar, politisi PDIP Andreas Hugo Pareira merespons isu koalisi untuk calon presiden diumumkan sejak dini bukan sebuah langkah yang bijak. Hal ini diungkapkan dengan alasan bahwa, isu koalisi hanya akan menimbulkan pro dan kontra.
Lebih lanjut, Andreas mengatakan, pro dan kontra yang mungkin terjadi, justru akan merugikan karena mengganggu kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diusung oleh PDIP. Hiruk pikuk tahun politik jelang 2024 diyakini menyita perhatian pemerintah dalam bekerja.
Satu hal yang menarik dari pernyataan Andreas adalah, partai politik lain menurutnya masih menunggu siapa yang akan diusung oleh PDIP dalam Pilpres 2024. Alasan itulah mengapa muncul dorongan untuk diumumkan calon presiden untuk membuka kotak pandora PDIP.
Akhirnya, kita dibuat penasaran dengan langkah PDIP, yang terkesan menahan diri ikut-ikutan merespons siapa yang akan diusung. Lantas, seperti apa strategi yang ingin dimainkan oleh PDIP?
Baca juga: Mengapa PDIP Takut Megawati Sakit?
Meraba Hitung-hitungan PDIP
Menjawab pertanyaan hitung-hitungan politik partai, mungkin kita akan mulai dari sebuah pernyataan umum tentang hubungan antara politik dan matematika. Penilaian bahwa terdapat hubungan yang erat antara politik yang basisnya ilmu sosial dengan ilmu matematika yang basisnya ilmu eksak, akan menemukan titik temu jika merujuk pada tujuan dalam penggunannya.
Dalam politik, kecenderungan untuk mendapatkan hitungan yang presisi atas sebuah tindakan, menjadi suatu yang sangat diharapkan oleh politisi ataupun partai politik. Tentunya, hal ini berkaitan dengan upaya untuk mereduksi kalkulasi subjektif aktor politik yang sifatnya lebih emosional dalam membaca fenomena politik.
Steven J. Brams dalam tulisannya Game Theory in Mathematics, mengatakan terdapat teori permainan dalam cabang matematika terapan yang menyediakan alat untuk menganalisis sebuah situasi, di mana pihak yang disebut pemain atau aktor, akan membuat keputusan yang saling bergantung antara satu dengan lainnya.
Saling ketergantungan ini menyebabkan setiap pemain mempertimbangkan kemungkinan keputusan, atau strategi pemain lain, dalam merumuskan strategi. John von Neumann dan Oskar Morgenstern, dalam bukunya The Theory of Games and Economic Behavior, mengatakan matematika yang dikembangkan untuk ilmu fisika, yang menggambarkan cara kerja dari alam yang tidak tertarik, adalah model yang buruk untuk ekonomi.
Mereka mengamati bahwa ekonomi sangat mirip dengan permainan, di mana para pemain saling mengantisipasi gerakan satu sama lain, dan oleh karena itu membutuhkan jenis matematika baru, yang mereka sebut teori permainan.
Konsep ketergantungan ini, yang menjawab fenomena PKS yang disinggung di atas. PKS mulai melemparkan wacana koalisi dan muncul dorongan untuk diumumkan calon presiden. PDIP tentunya menghindari hal tersebut karena mempertimbangkan dirinya untuk tidak terjebak ke dalam teori permainan partai lain.
Jika menelisik kalkulasi koalisi, maka PDIP dibanding partai lain terlihat percaya diri. Hal ini disebabkan oleh angka ambang batas pencalonan presiden yang ditetapkan, yakni 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu legislatif sebelumnya. Pada Pileg 2019, PDIP meraih 128 kursi dari total 575 kursi anggota DPR. Persentase kursi DPR yang dimiliki PDIP sebesar 22,26 persen. Artinya, PDIP bisa mencalonkan presiden tanpa koalisi.
PDIP juga terkesan untuk menghindari agar tidak dibaca strateginya oleh partai lain. Hal ini terlihat dari argumentasi bahwa bukan saatnya mengumumkan calon, karena akan mengganggu kinerja Presiden Jokowi. Ini adalah argumentasi pengalihan yang ditampilkan di panggung depan, sedangkan pada panggung belakang, PDIP sedang menghitung kemungkinan-kemungkinan lain yang akan muncul, termasuk efek kejut yang akan dilakukan oleh partai lain.
Untuk menentukan sikap, PDIP terlihat mempertimbangkan aspek-aspek strategis. Seolah menanti probabilitas jelang pilpres, PDIP lebih memilih untuk melakukan tindakan wait and see. Yaitu sebuah strategi politik untuk menunggu sambil melihat dan mengamati perkembangan politik yang terjadi, kemudian baru menentukan sikap atau keputusan. Lantas, kenapa PDIP seolah menggunakan strategi wait and see? Apakah terjadi dilema dalam tubuh PDIP?
Baca juga: Kenapa PDIP Ngotot Usung Puan?
Dilema PDIP?
Meski saat ini PDIP telah memiliki golden ticket untuk mengusung capres tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Tapi keuntungan itu tidak sejalan dengan tindakan PDIP yang saat ini masih urung memperkenalkan capres mereka sedini mungkin.
Fenomena ini sebenarnya berangkat dari perilaku para pelaku trading saham. Wait and see adalah tindakan menunggu, mengamati, dan menganalisis pergerakan saham tertentu, hingga tiba pada momentum yang tepat untuk membeli saham. Sebuah fenomena yang mengandaikan seseorang untuk menunggu peluang-peluang agar tindakannya terukur, dan terhindar dari kerugian yang besar.
Fenomena wait and see, dianggap menjawab atas sikap PDIP yang dirasa hingga saat ini belum secara terbuka mendeklarasikan tokoh yang mereka usung menjadi calon presiden dan calon wakil presiden pada Pilpres 2024.
Pangi Syarwi Chaniago, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, memahami mengapa deklarasi tidak dilakukan saat ini oleh PDIP. Menurutnya, PDIP memiliki kebiasaan untuk selalu menggunakan penghujung waktu sebagai momentum mengumumkan siapa tokoh yang mereka usung.
Menurut Pangi, PDIP selalu bermain injury time atau last minute. Gerakan politik PDIP menjadi sulit dibaca, dan lebih leluasa membaca kondisi politik, karena partai-partai lain telah menentukan sikap.
Baca juga: Kok Bisa Ganjar Didukung?
Selain itu, terdapat jawaban lain, yang melihat PDIP belum berani mengumumkan capres dikarenakan belum berani mengambil risiko karena muncul konflik internal dalam tubuh partai. Yaitu, faktor terdapat dua tokoh internal yang digadang-gadang maju pada pilpres mendatang, yaitu Puan Maharani dan Ganjar Pranowo.
Ali Rif’an, Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia (ASI), menyebut kader PDIP yang cukup kuat hingga sekarang adalah Ganjar Pranowo dan Puan Maharani. Dan Ganjar saat ini memiliki popularitas yang tinggi pada berbagai lembaga survei.
Tapi, PDIP akan sulit melepas tiket Pilpres 2024 kepada figur yang di luar garis keturunan Soekarno. Hal ini sudah lumrah kita ketahui, di mana PDIP sejauh ini kokoh berdiri dikarenakan menjadikan Soekarno dan ajarannya sebagai komoditas politik bagi pemilihnya.
Sedangkan di lain sisi, jika tetap memaksakan untuk mengusung Puan, maka akan muncul risiko lain. Sejauh ini PDIP mentransformasikan kekuatan elektoral dan karisma personal Puan belum maksimal. Alih-alih meningkatkan elektabilitas, promosi Puan justru memunculkan kritik di mana-mana tentang pencitraannya.
Kalkulasi terhadap belahan internal yang rentan mengakibatkan konflik dalam tubuh partai, tampaknya merupakan dilema yang cukup sulit dipilih oleh PDIP. Sebagai partai yang telah berkuasa selama dua periode, PDIP tentunya akan lebih hati-hati dalam menentukan pilihan.
Dari sini, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa terdapat dua jawaban yang muncul untuk memahami kenapa PDIP selalu bermain di ujung, khususnya jelang Pilpres 2024. Pertama, merujuk dari sikap PDIP yang selama ini selalu mengambil keputusan di akhir untuk meminimalisir konflik. Kedua, mungkin terdapat faktor belahan internal yang membuat PDIP lebih hati-hati karena tidak ingin keputusannya berpengaruh negatif pada pemilu dan Pilpres 2024 mendatang. (I76)
Baca juga: Telisik Balik Tahun: 2021