HomeNalar PolitikMacron, Jokowi dan Kejatuhan Peradaban Barat

Macron, Jokowi dan Kejatuhan Peradaban Barat

Seri Pemikiran Kishore Mahbubani #20

Presiden Prancis Emmanuel Macron kini jadi sosok yang disorot seluruh dunia, terutama oleh negara-negara Islam. Pasalnya pernyataannya terkait Islam dianggap menyinggung dan kurang pantas. Ini kemudian melahirkan gejolak antara negara-negara Islam dengan Prancis dan kemudian negara-negara Eropa lain. Nyatanya, fenomena ini bisa dilihat dari sudut pandang benturan antara sekularisme melawan agama – sebuah pertentangan yang melibatkan sejarah panjang tentang konflik dan perang, serta akan menentukan masa depan peradaban Barat.


PinterPolitik.com

“The confidence that the West would remain a dominant force in the 21st century, as it has for the past four or five centuries, is giving way to a sense of foreboding that forces like the emergence of fundamentalist Islam, the rise of East Asia and the collapse of Russia and Eastern Europe could pose real threats to the West”.

::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat Singapura::

Jika berkaca pada sejarah, maka tahun 1851 bisa disebut sebagai waktu paling awal ketika istilah sekularisme pertama kali digunakan. Adalah penulis asal Inggris George Holyoake yang pertama kali dianggap “menemukan” istilah ini untuk menggambarkan pandangannya yang mempromosikan sebuah social order atau tatanan sosial yang terpisah dari agama, tanpa secara aktif menolak atau mengkritik keyakinan agama tersebut.

Dalam bukunya yang berjudul English Secularism: A Confession of Belief, Holyoake yang adalah seorang agnostik menyebutkan bahwa sekularisme bukanlah sebuah pandangan yang melawan agama – pada saat itu agama Kristen – melainkan sebuah pemikiran yang independen. Pengetahuan dalam sekularisme berbeda dari agama yang bicara tentang hal-hal yang transendental atau tak terjamah akal manusia.

Menurutnya, sekularisme menitikberatkan pengetahuan dan moralitas pada hal-hal yang ditemui dalam kehidupan, yang berhubungan dengan gerak hidup yang nyata, dan diuji lewat pengalaman-pengalaman kehidupan itu sendiri. Intinya sekularisme ada di kutub yang berbeda dibandingkan agama.

Pandangan ini kemudian diadopsi dalam sistem tata kelola negara. Maka lahirlah secular state atau negara-negara sekuler. Ini adalah bentuk negara yang memisahkan antara persoalan agama dengan pemerintahan.

Kini, perdebatan tentang negara sekuler ini sedang hangat-hangatnya karena kasus yang menimpa Presiden Prancis Emmanuel Macron. Ini terkait pernyataan Macron yang menyebut agama Islam tengah mengalami krisis di seluruh dunia. Pernyataan tersebut disampaikannya sebagai kelanjutan dari rentetan kejadian di Prancis beberapa minggu terakhir.

Semuanya bermula pada 16 Oktober 2020 ketika seorang guru sejarah di Prancis, Samuel Paty dipenggal oleh seorang pemuda pendatang dari Chechnya, Abdoullakh Abouyezidovitch. Pemicunya adalah karena guru sejarah tersebut membahas tentang kartun Nabi Muhammad SAW di dalam kelas yang kemudian menuai kontroversi.

Di awal, dia disebut memang sudah mengizinkan sejumlah pelajar muslim untuk keluar kelas jika tidak sepakat dengan materi yang dia bahas. Namun, pembelajaran itu lantas diceritakan oleh sejumlah murid tersebut kepada orang tua mereka. Peristiwa itu lantas ramai diceritakan di media sosial.

Singkat cerita, kejadian ini berujung pada Abouyezidovitch yang merencanakan dan kemudian melakukan pembunuhan tersebut.

Pasca kejadian tersebut, Macron kemudian mengeluarkan pernyataan yang menyebut Islam adalah “agama yang mengalami krisis di seluruh dunia”. Ia juga menyebutkan bahawa ada ancaman yang besar yang saat ini terjadi pada sekularisme Prancis dari kelompok-kelompok radikalis dan ekstremis.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Sontak pernyataan tersebut mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Negara-negara Arab ramai menyerukan boikot terhadap produk-produk asal Prancis. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menanggapi secara keras pernyataan tersebut dan mengaitkannya dengan sejarah masa lalu Eropa. Pemerintah Indonesia lewat Kementerian Luar Negeri juga telah mengeluarkan kecaman serupa.

Lalu, apa yang bisa dilihat dari persitiwa yang sebetulnya menggambarkan benturan kembali antara agama dan sekularisme ini? Seperti apa fenomena ini dilihat dalam kacamata akademisi dan mantan diplomat Singapura, Kishore Mahbubani?

Sick Consciousness of Secularism

“Sekularisme adalah pengikat persatuan Prancis. Jangan biarkan kita masuk ke dalam perangkap yang disiapkan oleh kelompok ekstremis, yang bertujuan melakukan stigmatisasi terhadap seluruh Muslim”. Demikian bunyi pernyataan lanjutan Macron. Prancis memang menjadi salah satu negara sekuler dan hal ini digariskan dalam konstitusi resmi negara tersebut.

“France is an indivisible, secular, democratic and social Republic, guaranteeing that all citizens regardless of their origin, race or religion are treated as equals before the law and respecting all religious beliefs”. Demikian tertulis dalam the Constitution of 1958 yang menjadi pegangan utama negara tersebut.

Namun, memang tidak dijelaskan konteks sekuler yang dimaksud apakah menempatkan Prancis sebagai negara yang hard secularism atau soft secularism – sebuah klasifikasi yang dibuat oleh Barry A. Kosmin dari Institute for the Study of Secularism in Society and Culture.

Perbedaannya adalah hard secularism membatasi proporsi agama semaksimal mungkin, sementara soft secularism masih cenderung lebih menekankan toleransi dan kebebasan yang lebih besar terkait porsi agama tersebut.

Terkait benturannya dengan agama, dalam konteks konflik di banyak kesempatan, agama memang selalu “dicap” sebagai sumber konflik. Bahkan sejarah konflik dan bahkan perang sangat sering berkaitan erat dengan agama. Sebut saja Perang 30 Tahun alias Thirty Years War antara Katolik vs Protestan, atau Perang Salib alias Crusades yang oleh banyak sejarawan disebut terjadi antara Kristen vs Islam.

Hal inilah yang kemudian membuat sekularisme tampil sebagai antitesis dari konflik terkait agama tersebut dan membuatnya bisa lebih diterima. Sekularisme akhirnya menjadi penanda kejayaan peradaban Barat – sekalipun tidak juga menjamin berakhirnya konflik dan perang. Bahkan, seiring perjalanan waktu sekularisme itu juga mendapatkan bentuk ekstremnya sendiri.

Ini salah satunya ditulis oleh Soumaya Ghannoushi – seorang peneliti sejarah bidang kajian School of Oriental and African Studies. Ia menyebutkan bahwa pada titik tertentu, sekularisme justru melahirkan pembelahan baru di masyarakat, yakni antara kelompok sekuler vs beragama, rasionalitas vs takhayul/transendensi, kemajuan vs kemunduran, publik vs privat, dan lain sebagainya. Ujung-ujungnya, sekularisme menjadi sumber konflik dan kekacauan itu sendiri.

Ghannoushi menyebutkan bahwa para Jacobin – yang melakukan reign of terror di Prancis – kemudian para pendukung fasisme, Nazi dan para pengikut Stalin bukanlah teolog atau imam-imam agama. Ia menyebut mereka sebagai para fanatik sekularis yang memuja reason grand temple alias rasionalitas atas segala sesuatu, dan mengorbankan ratusan ribu orang untuk kemajuan atau progress.

Istilah yang digunakan oleh Ghannoushi adalah the sick consciousness of secularism alias kesadaran sakit sekularisme untuk menyebut semua fenomena yang diakibatkan oleh sekularisme itu sendiri.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Pendapat Ghannoushi ini pada akhirnya menjadi senada dengan kritik yang datang ke Macron dari pemimpin Turki, Erdogan, yang menyebutkan bahwa Islamofobia masih sangat kuat hidup di Eropa. Hal itu bisa terjadi karena pembelahan yang dilakukan oleh sekularisme itu sendiri masih terus terjadi hingga saat ini.

Apa yang terjadi pada Prancis ini sebetulnya juga bisa dilihat dari konteks guncangan terhadap peradaban barat itu sendiri. Bagaimanapun juga sekularisme dengan reason-nya menjadi salah satu penggerak utama peradaban Barat.

Dengan munculnya gejolak yang mempertanyakan ulang paham tersebut, maka secara tidak langsung hal ini berarti mempertanyakan ulang peradaban Barat itu sendiri. Selama ini Barat mendominasi politik global. Sangat mungkin gejolak tentangan terhadap sekularisme ini akan berpengaruh pada dominasi Barat secara keseluruhan.

Kishore Mahbubani dalam salah satu tulisannya pernah menyebutkan bahwa peradaban Barat menyimpan persoalan dalam dominasinya sendiri. Dengan gejolak terhadap kelompok agama – dalam hal ini Islam – dan juga dengan kebangkitan peradaban Timur lewat Tiongkok, ada kemungkinan hal ini menjadi persoalan pelik yang mengancam peradaban Barat itu sendiri.

Mahbubani juga menyebutkan bahwa salah satu alasan peradaban Barat  – seperti yang terjadi pada Amerika Serikat – mengalami kemunduran adalah karena terlalu seringnya mereka ikut campur dalam urusan politik identitas, katakanlah terhadap dunia Islam di Timur Tengah dan sejenisnya. Bukan tidak mungkin, dalam konteks persoalan yang terjadi di Prancis, ujung masalahnya juga akan menjadi gerbang besar makin mundurnya peradaban Barat itu sendiri.

Tantangan Bagi Jokowi

Jika demikian, lalu seperti apa fenomena ini dilihat dalam konteks Indonesia di era pemerintahan Presiden Joko Widodo?

Well, apa yang terjadi di Prancis sebetulnya menunjukkan perlu adanya manajemen konflik dan tata kelola perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat. Indonesia memang bukan sebuah teokrasi atau negara agama, namun bukan pula sepenuhnya negara sekuler ekstrem.

Pada titik tertentu agama memang masih memainkan tempat yang dominan dalam pengambilan dan pembuatan kebijakan negara, sekalipun ada garis batas yang sangat jelas antara agama dan negara.

Walaupun demikian, jangan sampai pada titik tertentu Indonesia juga akhirnya terjebak dalam sick consciousness of secularism yang berorientasi sepenuhnya pada progres dan melupakan jati diri dan nilai-nilai penting yang sudah digariskan oleh sejarah. Jika itu yang terjadi, maka Presiden Jokowi juga akan menghadapi kesulitannya sendiri.

Selain itu, Indonesia juga perlu ikut dalam gelombang kemajuan peradaban Timur yang sedang bangkit. Jangan sampai kita tertinggal dan pada akhirnya tak jelas berada di mana. Apalagi, politik identitas dengan agama di dalamnya juga cukup keras terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Menarik untuk ditunggu akan seperti apa Presiden Jokowi mengelola persoalan-persoalan seperti ini. (S13)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.