HomeNalar PolitikPDIP, Ganjalan Pilpres Tiga Poros?

PDIP, Ganjalan Pilpres Tiga Poros?

Pilpres yang diikuti oleh dua pasangan calon dikhawatirkan akan memunculkan polarisasi. Untuk menghindari hal tersebut, Waketum PPP Arsul Sani mendorong agar Pilpres 2024 memiliki lebih dari dua pasangan. Namun, seberapa besar kemungkinan poros ketiga dapat terwujud?


PinterPolitik.com

Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menyebutkan bahwa memiliki calon presiden (capres) lebih dari dua pasangan merupakan gol Pemilu 2024. Melihat kondisi pemilu sebelumnya, Indonesia memang memiliki dua pasangan kandidat secara berturut-turut sejak Pilpres 2014. Menurutnya pasangan capres lebih dari dua memberikan keuntungan.

Arsul mengatakan dibutuhkannya lebih dari dua pasangan kandidat untuk menghindari polarisasi atau pembelahan di masyarakat. Tren polarisasi muncul sejak Pilpres 2014, di mana hanya ada dua kandidat kuat yakni Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Terlebih lagi, muncul label kampret dan cebong pada pendukung kedua kandidat menunjukkan polarisasi pada pilpres berikutnya.

Dengan adanya tiga atau lebih pasangan calon kandidat pilpres, tentu pemilih juga dihadapkan terhadap lebih banyak pilihan dalam. Disebutkan oleh Arsul, kalaupun pembelahan tetap terjadi, maka pembelahan akan jauh lebih minimal dibandingkan pilpres sebelumnya.

Baca Juga: Yenny Wahid, Kunci Poros Islam?

Terkait Pilpres 2024, beberapa partai politik pun sudah melakukan safari, misalnya PKS yang melakukan kunjungan dengan PPP, Partai Demokrat, PDIP, dan Partai Nasdem. Ada juga Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.

Sudah berlangsungnya safari politik baik dari individu maupun parpol sebagai manuver pemilu memunculkan beberapa pertanyaan. Mungkinkah poros ketiga ini terwujud di Pilpres 2024? Jika hal itu terwujud, siapa saja yang akan berpasangan dalam Pilpres 2024 nanti?

Menerka Capres Tiga Poros

Sudah banyak spekulasi terkait pasangan calon presiden untuk Pilpres 2024. Beberapa diantaranya terlihat pada berbagai pertemuan yang dilaksanakan oleh aktor politik dan partai politik itu sendiri.

Alhasil ada beberapa nama yang diduga kuat maju menjadi capres. Bertolak dari presidential threshold (PT) 20 persen. Ada tiga poros koalisi yang mungkin terbentuk.

Pertama, poros PDIP dengan Partai Gerindra. Poros ini dinilai akan mengusung pasangan Prabowo Subianto bersama Ketua DPR Puan Maharani. Keduanya lahir dari hubungan yang kembali baik antara PDIP dan Gerindra.

Menimbang Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pun sulit memperoleh restu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk maju. Maka dari itu pasangan Prabowo-Puan sepertinya yang akan terwujud. 

Selain itu, hubungan dekat Megawati dan Prabowo dapat menjadi salah satu faktor dukungan Megawati atas Prabowo yang dipasangkan dengan putrinya, Puan. Hal tersebut dapat dilihat dari masuknya Prabowo dalam kabinet dan pernyataan Mega di Kongres V PDIP pada 2019 yang menyebut Prabowo perlu mendekati dirinya.

Baca juga :  Connie: From Russia with Love

PDIP sendiri juga sudah memberikan lampu hijau kepada Gerindra untuk berkoalisi. Ini didukung oleh pernyataan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang menyebutkan PDIP membuka diri berkoalisi dengan Partai Gerindra.

Kedua, poros Partai Golkar dan Partai Nasdem. Sinyalnya makin keras setelah kedua partai tidak diundang oleh PDIP ketika mengumpulkan para petinggi partai pendukung Jokowi. Nama Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dinilai kuat akan diusung.

Ketiga, ada poros yang mungkin diisi oleh gabungan partai Islam plus Partai Demokrat. Ini sejalan dengan pernyataan Hasto yang secara gamblang menyebutkan PDIP menolak berkoalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. Ia beralasan karena kedua partai dinilai memiliki ideologi yang berbeda dengan PDIP.

Baca Juga: Safari Airlangga Sinyal Tiga Poros di 2024?

Poros ketiga ini kemungkinan mengusung AHY dan Anies Baswedan yang telah lama terlihat didukung oleh partai Islam, khususnya PKS. Poros ini juga memanfaatkan momentum masuknya Prabowo ke kabinet.

Pasalnya, para pendukung Prabowo dinilai akan beralih ke partai Islam, seperti PKS yang memang konsisten menjadi oposisi pemerintah.

Jika dilihat dari jumlah suara nasional, pasangan Puan-Prabowo telah memenuhi ambang batas presiden. PDIP merupakan partai terkuat di DPR dengan perolah suara 19,33 persen. Gerindra sendiri berada pada posisi ketiga dengan 12, 57 persen.

Pencalonan Airlangga juga dapat dilakukan. Golkar memiliki suara 12,31 persen, dan Nasdem 9,05 persen. Gabungan keduanya telah melampaui PT 20 persen.

Nah, poros ketiga yang menuai tantangan hebat. PKS memperoleh suara 8,21 persen dan Demokrat 7,77 persen. Gabungan keduanya baru mencapai 15,98 persen. Jika PPP bergabung, PT 20 persen memang akan terwujud.

Akan tetapi, melihat pada kasus-kasus yang ada, partai menengah biasanya tidak berani mengambil risiko untuk melawan partai-partai besar. Ini bertolak dari kalkulasi matematis bahwa terdapat perbedan logistik yang besar.

Pilpres dan Pemilu 2024 juga akan dilaksanakan secara serentak. Praktis, logistik yang terbatas harus dibagi ke dalam dua konsentrasi. Apalagi, dengan adanya narasi kenaikan PT, mudah menyimpulkan partai besar tidak begitu menginginkan partai menengah mengusung calonnya sendiri.

Menuju Dominant Party System?

Partai dengan kekuatan kecil sulit untuk mengusung capres dan lebih memilih untuk menjadi partai pendukung. Ambang batas dan logistik menjadi tantangannya.

Dalam tulisan Suparto yang berjudul Presidential Threshold Between the Threshold of Candidacy and Threshold of Electability mengatakan bahwa presidential threshold hanya permainan politik dari partai besar.

Partai yang memperoleh suara besar ingin memperkuat posisinya dalam mengusung kandidat pemilu dan memangkas jumlah lawan politik di elektoral. Presidential threshold seolah-olah menjadi kualifikasi untuk maju sebagai capres sehingga masyarakat diberikan pilihan kandidat yang terbatas dan tidak sejalan dengan nilai demokrasi.

Baca juga :  PTUN Say No To PDIP

Presidential threshold memang menjadi permasalahan setiap lima tahun. Pemilihan angka 20 persen juga tidak disampaikan ke publik terkait metodologi pemilihan angkanya sehingga pembahasannya menjadi kurang transparan. PT 20 persententu merugikan partai menengah dan kecil.

Beberapa partai meminta agar batas minimum diturunkan angkanya, bahkan PAN menginginkan agar sistem tersebut dihapuskan. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi UU Pemilu soal ambang batas presiden. MK menilai tidak adak kerugian konstitusional dalam pasal tersebut.

Partai kecil harus bergantung pada partai besar, dan partai besar menjadi penentu siapa saja yang dapat berkontenstasi pada pilpres. Ini menunjukkan gejala dominant party system. Indonesia memang menganut sistem multi-partai, namun tidak bisa dipungkiri bahwa partai besar, seperti PDIP memiliki pengaruh yang besar dalam pemilu.

Partai dominan merupakan bagian dari dominant party system. Tulisan Kenneth F. Greene yang berjudul Dominant Party Strategy and Democratization mengatakan bahwa dalam sistem multi-partai, partai yang dominan memiliki kapabilitas dalam mengatur persaingan elektoral. Presidential threshold dapat menjadi instrument politik partai besar untuk membatasi persaingan elektoral.

Dilihat dari angka perolehan suara nasional, PDIP memiliki posisi paling aman sebagai partai yang memiliki persentase terbesar. Jika PDIP dipasangkan dengan PPP sekalipun, sebagai partai dengan suara terkecil yang lolos parlemen, keduanya tetap memenuhi persyaratan 20 persen. Hal ini menunjukkan dominasi PDIP pada pemilu dan kapabilitasnya untuk mengarahkan pemilu.

Presidential threshold dapat menguntungkan PDIP untuk menekan jumlah lawan politiknya pada pemilu. Tingginya angka ambang batas presiden secara otomatis dapat menyingkirkan tokoh politik potensial. Selain itu, berkoalisi akan menjadi manuver PDIP untuk mempersempit kans partai lain untuk mengusung pasangan calon.

Baca Juga: Ganjar Redup Tanpa PDIP?

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan PDIP menginginkan Pilpres 2024 hanya diikuti dua pasangan calon agar tidak berlangsung sebanyak dua putaran. Dua pasangan calon tentu mempermudah PDIP untuk memetakan peta politik dan memperbesar kemungkinan menang.

Ketua DPP PDIP Bidang Pemenangan Pemilu (Bappilu) Bambang Wuryanto mengatakan jika semua orang bisa maju di pilpres, maka kondisi bisa gaduh. Kandidat yang diusung partai juga dinilai tidak akan berkompeten.

Pada kesimpulannya, PDIP dengan partai yang memperoleh suara nasional terbesar dapat menjadi kunci penentu Pilpres 2024. Melalui presidential threshold dan berkoalisi, PDIP dapat mewujudkan tujuan politisnya agar pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon. (R66)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Ivermectin, Kebijakan Buru-Buru Erick?

Obat ivermectin yang diperkenalkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir menjadi polemik di masyarakat. Obat ini sendiri masih dalam tahap uji klinis, namun sudah digunakan...

Jokowi di Simpang Infrastruktur dan Pandemi

Masih berjalannya proyek infrastruktur di saat pandemi menjadi polemik di tengah masyarakat. Besarnya anggaran yang digelontorkan untuk pembangunan infrastruktur dianggap menjadi sikap pemerintah yang...

Mungkinkah Dialog Papua Terwujud?

Presiden Jokowi memberikan arahan kepada Menko Polhukam Mahfud MD untuk mewujudkan dialog dengan Papua sebagai upaya pemerintah menggunakan pendekatan damai. Di sisi lain, pemerintah...