Meskipun publik deras menolak, wacana presiden tiga periode nyatanya terus mencuat. Siapa yang berkepentingan di balik wacana ini?
“The world itself is the will to power – and nothing else!” – Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman
Ada rangkaian puzzle menarik yang dapat dilihat dari wacana presiden tiga periode di bawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi). Uniknya, rangkaiannya dapat kita kategorikan ke dalam tiga kotak. Pertama, penolakan. Kedua, political branding. Ketiga, penjajakan.
Kategori pertama dapat kita lihat pada respons keras Presiden Jokowi ketika menanggapi wacana tiga periode pada 2 Desember 2019. “Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja,” begitu tegasnya.
Partai Nasdem yang saat itu ikut menggulirkan wacana langsung menepis bahwa wacana bukan dari mereka selepas pernyataan keras tersebut.
Lalu kategori kedua terlihat pada respons Presiden Jokowi pada 15 Maret. Uniknya, tidak hanya merespons jauh lebih cepat, respons kali ini jauh lebih lunak dan tersusun rapi. Berbeda dengan wacana pada 2019, di mana respons keluar setelah hampir satu bulan, respons kali ini hanya berselang dua hari.
Skema kategori kedua sebagai political branding telah dibahas pada artikel PinterPolitik sebelumnya, Isu Tiga Periode, Rebranding Politik Jokowi?.
Kategori ketiga yang menarik. Pasalnya, menimbang pada penolakan pada dua kasus sebelumnya, serta derasnya penolakan publik, bagaimana mungkin isu ini tetap mencuat? Tidak hanya itu, berbagai lembaga survei bahkan tetap menyertakan nama Jokowi sebagai kandidat capres.
Salah satu yang paling vokal adalah Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari. Dalam berbagai kesempatan, Qodari terlihat mengenakan kaos Jokowi-Prabowo 2024. “Yes, yes, yes. Salam 3 periode,” begitu tegasnya pada awal Maret kemarin.
Menariknya lagi, Presiden Jokowi belum terlihat mengeluarkan penolakan.
Pertanyaannya tentu satu. Dengan tiga periode harus melalui jalur amendemen, serta derasnya penolakan atas wacana ini, kenapa wacana ini tetap bergulir? Mungkinkah ada pihak yang mendorongnya? Jika “iya”, mengapa itu dilakukan?
Wacana Serius?
Setidaknya ada tiga variabel yang dapat dilihat sebagai indikasi wacana tiga periode bukan isapan jempol semata. Pertama, isunya terus keluar secara berkala. Ketika mulai redup, terdapat pihak yang kembali mengangkatnya, baik dengan dukungan maupun penolakan.
Kedua, berbagai lembaga survei kompak memasukkan nama Jokowi sebagai kandidat capres. Ada pula yang menanyakan respons publik soal wacana tiga periode. Uniknya, ada hasil survei yang menyebutkan masyarakat masih menginginkan Jokowi menjadi Presiden di 2024.
Fred Barnes dalam tulisannya The Myth of Political Consultants, mengutip pernyataan Arthur Schlesinger Jr. yang menyebutkan,“Television and polling have bred a new profession of electronic manipulators.” Televisi dan lembaga survei telah melahirkan profesi baru, yakni manipulator elektronik. Elegannya, mereka berguna untuk mengondisikan persepsi publik.
Di Indonesia, fenomena ini dipaparkan oleh Marcus Mietzner dalam tulisannya Political Opinion Polling in Post-Authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?.
Menurut Mietzner, sejak Pemilu 2004, telah dilahirkan “jenis baru” lembaga survei politik karena tenaga pendorong utamanya tidak lagi kuriositas atau keingintahuan akademik, melainkan memiliki motif komersial. Lembaga survei menjadi tidak keberatan untuk ikut dalam mengorganisir kampanye bagi parpol dan kontestan pemilu.
Baca Juga: Menebak Indo Barometer Survei Jokowi
Contoh paling gamblangnya adalah pengakuan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 21 Oktober 2013 yang menyebutkan pihaknya menjadi konsultan politik Partai Golkar di Pemilu 2014. Selain Golkar, peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby juga mengungkapkan pihaknya mempunyai sejumlah klien lain pada Pemilu 2014.
Pada 15 Januari 2020, ada pula pengakuan lugas Pemilik LSI, Denny JA yang menyebut dirinya telah menjadi konsultan politik yang memenangkan presiden tiga kali berturut-turut.
Singkatnya, bertolak dari electronic manipulators, rentetan survei terkait tiga periode dapat dibaca sebagai usaha pengondisian persepsi publik atas wacana tersebut.
Ketiga, Ketua DPR Puan Maharani secara terbuka meminta wacana tiga periode dikaji di Komisi II DPR. “Ya itu masih wacana tentu itu harus dikaji kembali secara baik, jangan sampai kita mundur ke belakang. Jadi ini akan jadi wacana yang akan kita bicarakan di Komisi II, gimana UU dan lainnya,” begitu ungkapnya pada 25 November 2019.
Selaku Ketua DPR dan petinggi di PDIP yang notabene merupakan partai dominan saat ini, pernyataan semacam itu sekiranya memiliki indikasi tertentu.
Lantas, jika benar wacana tiga periode adalah wacana serius, siapa kira-kira pihak di belakangnya?
Minim Pilihan?
Untuk menjawabnya cukup mudah. Mereka adalah pihak yang kepentingannya akan terjaga apabila Jokowi kembali menjabat RI-1. Ada dua pihak yang dapat diperhitungkan.
Pertama, tentunya adalah PDIP. Dengan kondisi saat ini, yakni belum adanya kader yang menyamai elektabilitas Jokowi, sekiranya ada kekhawatiran terkait terancamnya posisi mereka sebagai partai penguasa. Kejatuhan Partai Demokrat jelas ingin dihindari.
Ahli sejarah Richard Hofstadter dalam tulisannya The Paranoid Style in American Politics, menyinggung soal fenomena status anxiety atau kegelisahan status. Menurutnya, fenomena ini muncul ketika status sosial, identitas, dan rasa terlibat suatu kelompok dinilai tengah terancam.
Status anxiety kemudian mengakibatkan gaya politik yang panas, penuh curiga, agresif, dan hiperbolik. Ini mungkin seperti perkataan nasihat, hasrat kekuasaan sering kali membutakan kita.
Situasi PDIP menjadi semakin rumit karena sosok potensial, seperti Ganjar Pranowo justru mendapatkan ganjalan dari internal partai sendiri. Keinginan untuk mencalonkan Puan Maharani membuat pilihan mereka menjadi minim. Jika demikian situasinya, besar kemungkinan status anxiety tengah menghinggapi PDIP.
Kedua, sepertinya tidak hanya PDIP, melainkan juga kelompok pengusaha yang mungkin nyaman dengan pemerintahan Jokowi. Pasalnya, telah lama pemerintahan mantan Wali Kota Solo ini dikenal begitu pragmatis dan fokus pada ekonomi.
Disahkannya UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di tengah gelombang penolakan menjadi indikasi kuat akan hal ini. Seperti yang diketahui, UU itu memang dimaksudkan untuk beramah-tamah dengan pengusaha.
Menariknya, pada 7 Juni, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) juga mengaitkan wacana tiga periode dengan pengesahan Omnibus Law.
Seperti kasus Omnibus Law yang tiba-tiba sudah disahkan, AHY mengingatkan, jangan sampai kecolongan. Jangan sampai wacana ini tiba-tiba diketuk palu. Lanjutnya, “Jangan gitu-gitu banget lah kalau ingin berkuasa, ya. Maksud saya, harus ingat sejarahnya, mengapa era Reformasi ini muncul.”
Baca Juga: Di Balik Wacana Jokowi Tiga Periode
Namun, jika benar terdapat kelompok kapital di balik wacana tiga periode, persoalan ini benar-benar harus diawasi secara serius. Pasalnya, seperti penekanan Ronald Edsforth dalam tulisannya On the Definition of Capitalism and Its Implications for the Current Global Political-Economic Crisis, logika para kapitalis adalah amoral atau tanpa moral.
Artinya, mereka, para kapitalis, tidak akan memikirkan darah dan keringat para reformis. Mereka hanya memikirkan bagaimana mendapatkan keuntungan. Penghakiman moral tidak berlaku untuk mereka.
Well, pada kesimpulannya, jika wacana tiga periode adalah wacana serius, PDIP dan/atau kelompok penguasa kapital yang tampaknya berdiri di belakang.
Terlepas dari siapa pun di baliknya, kita hanya dapat melihat, apakah wacana ini akan menguap, atau justru menjadi kenyataan. Mari menanti. (R53)